Opini
Zionisme Gaya Baru: Perang Intelijen sebagai Instrumen Destabilisasi Kawasan

Ketika Badan Intelijen Nasional Turki (MIT) mengeluarkan peringatan resmi bahwa Israel tengah mengincar Turki sebagai ladang baru perekrutan agen rahasia, publik dunia mungkin mengernyit. Sebagian bertanya: kenapa Turki? Mengapa sekarang? Dan sebagian lagi—yang mungkin terbiasa hidup dalam fatamorgana stabilitas palsu—malah menganggapnya sebagai paranoia intelijen yang kebablasan. Tapi mari kita telusuri lebih dalam. Mungkin, justru di sinilah absurditas realitas itu berada: kita menyangka baik-baik saja, padahal busuknya sudah merayap dari dalam.
MIT menyebut bahwa metode perekrutan agen oleh Israel ini bukanlah hal baru. Mereka menyempurnakannya lewat operasi-operasi senyap di Iran—membunuh tokoh penting, menyusup ke dalam lembaga, menyebar keraguan di tengah masyarakat, lalu pada saat yang tepat, menyalakan api kekacauan. Ya, di dunia yang makin mencintai ketenangan semu dan feed sosial media yang rapih, siapa sangka perang justru datang tanpa dentuman. Tanpa tank. Tanpa peluru. Hanya cukup sejumput agen, secuil disinformasi, dan satu-dua buzzer lokal yang dibayar dalam mata uang ketakutan atau sekadar pundi kecil di rekening offshore.
Turki tentu bukan negara kecil. Tapi kekuatan militer bukanlah jaminan jika yang disasar adalah jantung opini publik dan sistem saraf sosial-politik. Israel, sebagaimana diungkap MIT, sedang bergerak ke arah yang lebih halus—atau lebih licik, tergantung dari sudut mana Anda memandang. Mereka tak lagi selalu mengirim jet tempur, karena mereka tahu: yang lebih efektif adalah menyusup ke dalam kepala rakyat, memecah, lalu membuat negara membusuk dari dalam. Seperti rayap. Sunyi, tapi pasti.
Apa yang terjadi di Iran adalah laboratorium eksperimental dari proyek besar ini. Target: mengacaukan, melemahkan, lalu menjarah. Mulai dari membunuh ilmuwan nuklir, menjatuhkan tokoh publik, hingga menciptakan kerusuhan lewat oposisi yang dilabeli “monarkis”, “pembela HAM”, atau “anak muda pembaharu”. Lucunya, banyak yang terjebak, tak sadar bahwa “perlawanan” yang mereka anggap murni ternyata diskenariokan dari Tel Aviv.
MIT, dalam pernyataannya yang dibocorkan ke media, tak hanya sekadar menyampaikan kekhawatiran. Mereka memberikan peringatan taktis: bahwa strategi zionis ini akan menyasar Turki, dan bahwa pemerintah harus segera membangun ketahanan sosial, memperkuat ekonomi, dan—ini bagian yang paling penting—meningkatkan kesadaran publik terhadap disinformasi. Ya, kesadaran. Sebab tak ada lagi bom waktu yang berdetik keras. Yang ada hanyalah algoritma yang merayap perlahan, mempermainkan emosi, membelah masyarakat menjadi kubu-kubu saling benci, lalu… tinggal tunggu waktu.
Di Indonesia, kita mengenal istilah “adu domba”. Lama-lama terasa kuno, karena kini adu domba itu naik level: pakai teknologi. Namanya perang generasi keempat. Yang dilawan bukan pasukan, tapi persepsi. Musuhnya bukan tentara, tapi opini. Senjatanya bukan rudal, tapi hoaks, filter bubble, meme, dan potongan video tiga detik yang diedit untuk membunuh karakter seseorang. Dan di tengah semua ini, kita—rakyat jelata—berperan sebagai peluru yang saling menembak tanpa sadar.
Iran, dalam laporan yang sama, justru memberikan pelajaran menarik. Mereka tak hanya bertahan, tapi menyerang balik. Iran menyusup ke jantung keamanan zionis, membalikkan misi, menggagalkan 36 percobaan pembunuhan, dan bahkan sempat mencuri data dari brankas intelijen nuklir Israel. Sesuatu yang dalam dunia spionase hanya bisa dilakukan oleh negara yang punya kesabaran, kecerdikan, dan keyakinan politik yang tak mudah dibeli. Iran menunjukkan bahwa ketika sistem pertahanan sosial dan ideologis kuat, negara tak bisa dengan mudah dibobol, meski diterpa badai disinformasi dan agen-agen bayaran.
Sayangnya, tak semua negara punya ketangguhan ideologis macam itu. Banyak yang memilih jalan pintas: berdamai demi tenang, menjual prinsip demi stabilitas palsu, dan—ini yang paling menyedihkan—membiarkan narasi lawan tumbuh di dalam negeri sendiri dengan dalih keterbukaan informasi. Padahal, siapa yang bisa menjamin bahwa “keterbukaan” itu bukan pintu belakang dari proyek penjajahan model baru?
Turki—dan negara lain yang membaca peringatan MIT—harusnya paham bahwa yang sedang mereka hadapi adalah versi mutakhir dari imperialisme. Bukan dengan pasukan, tapi dengan opini. Bukan dengan penjajahan fisik, tapi infiltrasi digital. Tidak ada lagi bendera musuh yang dikibarkan di atas istana, karena istana sudah lama diretas lewat algoritma dan influencer bayaran.
Dan masyarakat? Kita? Sering kali malah menjadi sukarelawan tak sadar dari skema ini. Menyebarkan informasi tanpa verifikasi, memusuhi sesama karena beda pilihan politik, memuja selebriti yang ternyata alat propaganda. Kita menjadi pion yang dengan sukarela menari di papan catur yang dikuasai tangan-tangan tak terlihat.
Peringatan MIT seharusnya membangunkan kita semua dari tidur panjang. Bukan hanya pemerintah Turki, tetapi seluruh dunia Islam dan kawasan Global South yang selama ini menjadi sasaran sistematis dari operasi-operasi gelap zionis. Kita perlu bertanya: siapa yang sedang menulis ulang narasi di negeri kita? Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari kegaduhan politik, dari disinformasi, dari saling curiga antarsesama warga?
Kita hidup di zaman ketika sebuah negara bisa dihancurkan bukan dengan invasi, tapi dengan “trend”. Bisa runtuh hanya karena anak-anak mudanya kehilangan orientasi dan para elitnya mabuk dalam persekongkolan. Ketika aktor asing menjadi penyandang dana dari apa yang disebut “gerakan rakyat”, dan ketika satu tweet bisa memantik kerusuhan lebih cepat dari bom molotov.
Adakah yang lebih menyedihkan dari bangsa yang ikut serta dalam perusakannya sendiri?
Dalam konteks lokal, Indonesia mungkin belum mendapat peringatan terbuka seperti MIT, tapi bukan berarti kita aman. Terlalu banyak celah yang bisa dimanfaatkan. Polarisasi yang tak kunjung usai, pertarungan politik yang dangkal, media sosial yang penuh fitnah, dan aparat yang kadang lebih suka memantau suara sumbang ketimbang memperkuat ketahanan nasional—semuanya adalah bahan bakar empuk bagi operasi intelijen gaya baru.
Jadi pertanyaannya: sampai kapan kita mau diam? Apakah kita akan menunggu peringatan resmi datang ke meja presiden, atau akan mulai dari sekarang—membangun kesadaran kolektif bahwa dunia telah berubah, dan cara menjaganya pun harus berubah?
Zionisme tak lagi datang dalam bentuk pasukan. Ia kini menyelinap dalam opini publik, menyamar sebagai aktivis, menyusup sebagai teman, bahkan kadang hadir sebagai selebriti idola yang mengajarkan “damai” di mulut tapi menikam dari belakang.
Dan jika kita masih tak sadar, mungkin kita memang sudah kalah—tanpa pernah tahu bahwa perang itu sudah dimulai sejak lama.