Connect with us

Opini

Yaman dan Kitab Perlawanan Modern: Bab yang Ditulis dari Laut Merah

Published

on

Pelabuhan Eilat, satu-satunya jendela rezim zionis ke Laut Merah, akan menutup operasinya mulai Minggu ini. Bukan karena serangan rudal atau invasi darat, tapi karena utang yang menumpuk hingga tak sanggup dibayar. Rekeningnya dibekukan, bukan oleh musuh dari luar, tapi oleh otoritas kota sendiri. Ironis, bukan? Kota yang dulu menjadi simbol modernisasi pinggiran gurun itu kini tercekik oleh kebijakan fiskal dalam negeri, didorong oleh pukulan-pukulan senyap dari laut selatan.

Eilat telah lumpuh sejak November 2023. Bukan karena badai, bukan karena pemogokan buruh, tapi karena sebuah negara kecil dari gurun yang pecah-pecah hingga pantai yang jarang disebut dalam brosur wisata, Yaman menjelma menjadi halaman depan geopolitik Timur Tengah. Ia bukan lagi latar belakang yang dilupakan dunia, bukan catatan kaki dalam dokumen diplomatik PBB yang menumpuk debu. Ia kini menjadi subjek utama dalam wacana strategis. Sebuah negeri yang, meski tubuhnya luka-luka karena agresi Saudi dan sekutunya, tetap menolak tunduk. Bahkan kini, ia memaksa dunia untuk kembali membuka peta dan menandai dengan tinta tebal: Laut Merah bukan wilayah aman bagi penjajah.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Strategi Yaman bukan sekadar tentang mengganggu jalur pelayaran; ini adalah bentuk seni perang dalam versi modern. Bukan frontal, tapi mengiris perlahan. Bukan meledakkan ibu kota, tapi mematikan pelabuhan. Bukan hanya menyasar tentara, tapi memukul neraca. Mereka mengerti satu hal yang banyak negara Arab lain lupa: bahwa kedaulatan tak bisa dirundingkan, dan harga diri tak boleh diserahkan atas nama stabilitas regional.

Sementara itu, di ruang-ruang kantor elit Israel, mungkin ada yang tengah berkeringat dingin melihat grafik penurunan pendapatan Eilat. Bukan karena serangan roket, tapi karena Excel mereka tak lagi bisa menyelamatkan grafik dari garis merah. Mereka paham, ini bukan hanya soal uang, ini soal wajah. Pelabuhan yang tak bisa beroperasi adalah simbol bahwa proyek “Israel kuat tak tergoyahkan” itu perlahan keropos. Retak dari bawah. Bukan karena kekuatan musuh besar, tapi karena ketangguhan musuh yang diremehkan.

Betapa ironis. Negara-negara Arab yang kaya minyak hanya mengerutkan kening sambil meneruskan ekspor mereka ke Barat. Sementara Yaman—yang bahan bakarnya kadang didapat dari pasar gelap—justru menjadi motor perlawanan. Di sinilah kita harus jujur mengakui: kemewahan tidak otomatis melahirkan keberanian. Justru dari reruntuhan dan kesederhanaanlah lahir kekuatan yang lebih jujur dan tak mudah ditundukkan.

Dan Gaza, yang menjadi pusat dari semua ini, kini tahu bahwa mereka tidak sendirian. Solidaritas dari Yaman bukan sekadar jargon. Ia hadir dalam bentuk nyata: serangan, blokade, video peringatan, dan pelabuhan yang kini senyap. Kita yang hidup jauh dari sana bisa saja merasa tak terlibat, tapi setiap kapal yang batal merapat ke Eilat adalah bentuk nyata bahwa penderitaan Gaza didengar, dijawab, dan dibalas dengan tindakan yang berdampak.

Dalam dunia yang sering mengukur kekuatan dari seberapa banyak drone yang bisa diluncurkan atau berapa cepat rudal hipersonik melesat, Yaman menunjukkan bahwa kekuatan sejati berasal dari keyakinan yang teguh dan arah perjuangan yang jelas. Ia tak perlu membuat deklarasi panjang di forum internasional. Ia tak perlu memohon simpati. Ia bergerak. Dan itu cukup.

Bagi kita di Indonesia, negara dengan sejarah panjang melawan penjajahan, cerita ini mestinya menggugah sesuatu. Bukankah kita pernah mengalami bagaimana pelabuhan-pelabuhan dikuasai oleh penjajah demi merampas hasil bumi kita? Bukankah kita juga pernah tahu bagaimana rasanya ketika laut kita diawasi kapal asing? Maka semestinya, kita paling bisa mengerti apa yang sedang diperjuangkan Yaman.

Sayangnya, kita kini hidup di zaman ketika perlawanan sering dikerdilkan menjadi sekadar “masalah luar negeri.” Padahal, setiap bentuk kezaliman yang dibiarkan hari ini akan tumbuh jadi ketidakadilan yang sistemik esok hari. Dan setiap keheningan kita akan dicatat sejarah—entah sebagai keberpihakan pasif atau kegagalan moral.

Eilat yang tutup bukan hanya akhir dari transaksi dagang. Ia adalah awal dari percakapan yang lebih besar: tentang siapa yang berani melawan saat dunia memilih diam, siapa yang tetap berdiri saat peluru sudah habis, dan siapa yang menulis sejarah baru saat yang lain sibuk mencetak ulang masa lalu yang palsu.

Yaman telah menunjukkan bahwa batas geografis bukanlah batas solidaritas. Ia telah mengubah Laut Merah menjadi medan yang membuat zionis harus berpikir dua kali. Dan dalam tiap kapal yang tak berani lewat, dalam tiap dermaga yang kosong, dan dalam tiap grafik yang anjlok, ada suara samar tapi tegas yang bergema: “Kami tak punya banyak, tapi kami tak akan tunduk.”

Bab ini belum selesai. Tapi halaman pertamanya sudah ditulis dengan tinta yang tak mudah luntur—oleh keberanian, oleh strategi, dan oleh keyakinan bahwa kebenaran, meski lemah di mata dunia, akan selalu menemukan jalannya. Dan saat sejarah menoleh ke belakang, mungkin orang-orang akan berkata: Yaman tak hanya menulis bab baru dalam kitab perlawanan, tapi mereka mengajarkan kita semua bagaimana menyusunnya—dengan kepala tegak, tangan terbuka, dan dada yang tak goyah menghadapi arus zaman.

Jika dunia bertanya di mana poros perubahan dimulai, jawaban yang tak terduga mungkin akan datang dari arah yang selama ini kita abaikan: dari negeri yang katanya miskin, tapi tak pernah kehabisan martabat, Yaman!

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Drone Yaman Guncang Bandara Ramon, Israel

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer