Opini
Uni Eropa Berjudi dengan Anggaran Militer Triliunan

Eropa telah menghabiskan lebih dari $3,15 triliun untuk pertahanan dalam satu dekade terakhir—jumlah yang mencengangkan dan cukup untuk membangun benteng tak tertembus atau menjamin keamanan benua itu dari ancaman Rusia dan ketidakstabilan regional. Namun seperti dilaporkan oleh Financial Times, hasilnya justru mengecewakan: kesiapan militer rendah, stok senjata menipis, dan kemampuan untuk mendukung sekutu seperti Ukraina sangat terbatas. Uang sebesar itu seolah menguap begitu saja. Ini bukan sekadar persoalan angka, tapi cerminan dari kegagalan sistemik. Apa yang dilakukan Uni Eropa saat ini tak ubahnya sebuah perjudian besar, bertaruh atas nama keamanan, namun mengorbankan perhitungan matang dan kesejahteraan rakyatnya sendiri.
Bayangkan, $3,15 triliun. Jumlah itu bukan hanya deretan angka nol, tapi potensi besar yang bisa mengubah wajah sebuah benua. Adam Tooze, dalam analisisnya untuk Financial Times, membandingkannya dengan investasi energi bersih. Dana sebesar itu bisa mendanai beberapa kali lipat program seperti Inflation Reduction Act di Amerika Serikat—undang-undang yang ditujukan untuk transformasi energi dan penciptaan lapangan kerja hijau. Atau dana sebesar itu bisa digunakan untuk memperbaiki sistem pendidikan dan kesehatan, yang lebih berdampak langsung pada kehidupan warga. Sebagai perbandingan, anggaran tahunan pendidikan dan kesehatan di Indonesia pada 2023 hanya sekitar Rp600 triliun—kurang dari seperlima belas nilai tersebut. Jika anggaran sebesar itu digunakan untuk sektor sipil, publik pasti akan menuntut pertanggungjawaban atas setiap kegagalan. Tapi di bidang pertahanan, kegagalan sering kali justru dihadiahi anggaran yang lebih besar. Bukankah ini ironi yang mengkhawatirkan?
Tooze dengan tajam menunjukkan bahwa persoalannya bukan pada kurangnya dana, melainkan pada inefisiensi struktural. Eropa memiliki lebih banyak personel militer aktif dibandingkan Amerika Serikat, namun kekuatan militer mereka jauh tertinggal. Mengapa? Karena dana yang sangat besar itu tercecer dalam sistem pengadaan yang terfragmentasi. Tiap negara Uni Eropa mengejar agenda nasionalnya masing-masing. Prancis, Jerman, Inggris—semuanya punya kontraktor, kepentingan, dan prioritas yang berbeda-beda. Interoperabilitas, atau kemampuan untuk beroperasi bersama secara militer, hanya menjadi jargon politik, bukan kenyataan strategis. Di Indonesia, kita bisa melihat kemiripan dalam proyek infrastruktur besar yang tersendat oleh ego sektoral atau rivalitas antar-daerah. Tapi di Eropa, taruhannya jauh lebih besar: keamanan kawasan dan stabilitas global.
Yang lebih menggelisahkan, dana triliunan dolar itu tampak lenyap dalam lubang hitam birokrasi dan kepentingan industri pertahanan. “Hanya yang sangat naif yang mengira pengeluaran militer murni soal keamanan nasional,” tulis Tooze. Pernyataan itu tidak berlebihan. Industri pertahanan di Eropa, seperti di banyak bagian dunia, merupakan kekuatan ekonomi-politik tersendiri. Inggris dengan jet tempurnya, Jerman dengan tank, dan Prancis dengan kapal selam—semuanya memiliki lobi kuat yang memastikan proyek-proyek mahal tetap mengalir, bahkan ketika efektivitasnya dipertanyakan. Pertanyaannya, apakah ini benar-benar soal keamanan, atau justru arena permainan besar yang diatur oleh logika keuntungan dan kekuasaan?
Apa yang sedang dilakukan oleh Eropa dalam hal ini, secara objektif, bisa dilihat sebagai langkah yang penuh risiko. Ibarat pemain yang terlalu percaya diri di meja judi, mereka terus memasang taruhan, mengabaikan tanda-tanda bahwa keberuntungan tak selalu berpihak. Menghabiskan lebih banyak anggaran demi “kesiapan militer” tanpa sistem yang solid hanyalah menambah tumpukan senjata yang belum tentu bisa digunakan saat dibutuhkan. Apalagi, dalam kondisi ekonomi yang sedang lesu dan beban hidup masyarakat yang meningkat, pengeluaran besar itu bisa menjadi bumerang sosial dan politik.
Adam Tooze menyampaikan solusi yang tampak sederhana tapi mendesak: skala, koordinasi, dan strategi jangka panjang. Tanpa ketiga unsur ini, tambahan dana hanya akan memperbesar kebocoran dan pemborosan. Bayangkan jika Indonesia, dengan anggaran pertahanan Rp137 triliun pada 2024, menggunakannya seluruhnya untuk membeli alutsista tanpa memperhitungkan kebutuhan dan kemampuan operasional. Kapal-kapal canggih akan teronggok di pelabuhan, pesawat tempur tak bisa mengudara karena kekurangan suku cadang. Hal serupa tengah terjadi di Eropa, hanya dalam skala yang jauh lebih masif. Mereka punya kapal selam, tank, dan jet tempur, tapi tanpa sistem yang terintegrasi, semua itu tak lebih dari barang mahal yang tak bisa digunakan secara efektif.
Akan lebih bijak jika para pemimpin Uni Eropa menahan emosi, mengambil jarak dari tekanan geopolitik yang menggelegak, dan mulai berpikir lebih jernih dan logis. Meningkatkan pertahanan sah-sah saja, tapi harus dilakukan dengan perhitungan rasional dan keberanian untuk menolak tekanan industri atau politik dalam negeri yang ingin memperbesar anggaran hanya demi proyek semu. Publik Eropa juga berhak atas transparansi: ke mana uang mereka pergi, untuk siapa, dan apa hasilnya. Jika tidak, perjudian ini hanya akan memperbesar risiko kegagalan yang bukan saja bersifat militer, tetapi juga menyentuh sendi-sendi sosial dan ekonomi warga biasa.
Yang sebenarnya dipertaruhkan bukan hanya soal kekuatan militer atau keamanan regional. Yang jauh lebih penting adalah kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi mereka. Ketika rakyat melihat triliunan euro dihamburkan tanpa hasil nyata, sementara harga kebutuhan pokok naik dan pekerjaan semakin sulit didapat, maka gelombang ketidakpuasan akan terus membesar. Jika ketidakadilan anggaran seperti ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin Eropa menghadapi lonjakan populisme, krisis kepercayaan, dan instabilitas politik.
Apa yang terjadi di Eropa hari ini menjadi cermin bagi kita semua. Dengan sumber daya dan kapasitas yang begitu besar, mereka seharusnya bisa menjadi contoh dalam mengelola keseimbangan antara keamanan dan kesejahteraan. Tapi justru sebaliknya, mereka terjebak dalam sistem yang seperti kata Tooze, “bukan rusak, tapi memang dirancang seperti itu.” Industri pertahanan meraup untung, para politisi memperoleh keuntungan elektoral, sementara warga biasa dan sekutu seperti Ukraina justru menanggung bebannya. Di Indonesia, kita punya pelajaran serupa: proyek-proyek prestisius sering kali menyedot anggaran besar, tapi gagal menjawab kebutuhan mendasar rakyat.
Akhirnya, ini bukan semata tentang Eropa. Ini tentang bagaimana dunia, termasuk kita di Indonesia, menentukan prioritas saat menghadapi krisis. Kita bisa terus menggelontorkan dana ke sektor pertahanan, berharap itu akan membawa keamanan. Tapi tanpa perencanaan yang matang, pendekatan yang rasional, dan keberanian menahan emosi dalam mengambil keputusan, kita hanya sedang berjudi—memasukkan koin demi koin ke mesin slot, berharap keberuntungan datang. Kuantitas tidak akan pernah menjadi kualitas tanpa adanya perubahan mendasar. Pertanyaannya: sampai kapan kita—di Eropa, di Indonesia, dan di seluruh dunia—akan terus berjudi dengan masa depan kita sendiri?