Opini
Ukraina Dinomorsatukan, Warga Eropa Dapat Remah

Sebuah musim panas yang tidak begitu hangat menyapa pegunungan Rumania, ketika Viktor Orban—perdana menteri yang tak pernah kehabisan bahan bakar populisme—berdiri di hadapan sekelompok mahasiswa dan menyebut Uni Eropa telah menciptakan “anggaran perang.” Bukan anggaran sosial, bukan anggaran pemulihan, bukan pula anggaran yang bisa membuat orang tua di pedesaan Hungaria tersenyum karena rumahnya kembali hangat saat musim dingin. Tapi anggaran perang. Dua triliun euro, katanya, untuk menumbangkan Rusia di tanah Ukraina, bukan untuk menumbuhkan Eropa di tanahnya sendiri.
Ironis? Tentu saja. Tapi mari kita tahan dulu senyum getir itu. Kita korek dulu lapisan realitasnya.
Komisi Eropa, dengan wajah serius dan mata tertuju pada horison geopolitik, memang telah menerbitkan rancangan anggaran tujuh tahunan untuk periode 2028–2034. Nilainya fantastis: sekitar €2 triliun. Dari jumlah itu, sekitar €100 miliar diproyeksikan untuk bantuan ke Ukraina. Bantuan ini bukan sekadar amplop, tapi paket lengkap: dari stabilisasi ekonomi, rekonstruksi pascaperang, hingga mempercepat aksesi Ukraina ke dalam Uni Eropa—meski keanggotaan itu sendiri tampaknya masih lebih jauh daripada mimpi Inggris untuk kembali ke Brussels.
Orban, yang dalam banyak hal adalah semacam ‘bad boy‘ dari klub Eropa, tak segan-segan menuduh elite Brussel hanya memberikan remah-remah untuk petani, dan sisa serpihan anggaran untuk pembangunan. Sementara Ukraina—negeri yang belum resmi jadi anggota, belum sepenuhnya demokratis, dan masih dalam pusaran perang yang entah kapan selesai—disambut dengan gelontoran uang miliaran euro. Ia menyebutnya dengan satir khas Eropa Timur: “logika perang.”
Dan jujur saja, siapa yang bisa sepenuhnya menyalahkannya?
Kita sedang bicara tentang benua yang digempur inflasi, di mana harga mentega dan listrik tak lagi tahu diri, di mana warga Berlin harus menghemat mandi dan petani Belanda dipaksa menghitung ulang biaya pupuk. Sementara itu, angka pengangguran muda di Spanyol tetap membandel di kisaran 30%, dan rumah sakit di Italia harus menunda operasi karena kekurangan dana dan tenaga medis. Tapi entah bagaimana, birokrat di Brussel mampu menemukan ruang untuk menyusun dana raksasa demi negeri yang bahkan belum punya sistem yudisial sekelas Mahkamah Eropa.
Apakah Ukraina penting? Tentu. Tidak ada orang waras yang ingin melihat Kyiv jadi reruntuhan permanen atau biarkan imperialisme Moskow berjalan tanpa perlawanan. Tapi bukankah, dalam pertempuran antara semangat dan sumber daya, kita seharusnya lebih jujur tentang skala prioritas?
Sebab ada sesuatu yang ganjil ketika para pemimpin Eropa mengulang-ulang frasa “solidaritas” sambil mengabaikan sinyal kelelahan dari rakyatnya sendiri. Solidaritas yang mencekik bukanlah empati, itu pengabaian yang dibungkus moralitas. Dan ketika rakyat sendiri mulai bertanya kenapa mereka harus terus membayar lebih banyak pajak demi perang yang tak mereka pahami ujungnya, jawaban yang muncul justru: “demi keamanan bersama.” Padahal keamanan siapa, kalau pemanas di rumah tak bisa menyala dan subsidi pangan dipangkas?
Orban, yang mungkin tidak akan memenangkan lomba moral, tapi cukup piawai membaca gejolak publik, menangkap absurditas itu. Ia bukan tanpa cela, tapi ucapannya di Rumania mencerminkan keresahan yang lebih dalam: bahwa elit UE kini lebih sibuk menyelamatkan citra geopolitik mereka daripada menyelamatkan toko roti kecil yang nyaris gulung tikar di Marseille atau gaji perawat yang tak naik-naik di Athena.
Lucunya, mereka yang mengkritik anggaran ini langsung dicap sebagai agen Moskow atau tukang sabotase solidaritas Eropa. Padahal solidaritas sejati, seharusnya bisa menjelaskan kenapa dana pertanian dikurangi demi tank, kenapa pembangunan kota kecil ditunda demi rekonstruksi Mariupol, dan kenapa kita harus menerima bahwa warga yang kehilangan pekerjaan karena resesi harus mengerti bahwa “itu semua demi Ukraina.”
Seseorang mungkin akan bertanya, bukankah total dana untuk kebutuhan domestik UE lebih besar? Benar. Anggaran pertanian dan kohesi masih memakan ratusan miliar euro. Tapi angka itu tidak berjalan sendirian. Mereka hadir dalam diam, tak sepopuler konferensi perdamaian, tak semewah pidato tentang “perjuangan Ukraina demi nilai-nilai Eropa.” Ukraina, dalam wacana politik, telah berubah menjadi simbol eksistensial—dan itulah masalahnya. Kita tidak lagi membicarakan anggaran, kita membicarakan arah jiwa Eropa.
Kita berbicara tentang benua yang menjadikan bantuan eksternal sebagai identitas politiknya, sambil kehilangan kepekaan terhadap kebutuhan internalnya. Simbolisme menjadi mata uang politik. Dan di sinilah ilusi dimulai: ketika uang publik digunakan atas nama solidaritas, tapi publiknya sendiri mulai kehilangan rasa memiliki atas kebijakan itu.
Anehnya, Jerman pun menolak rancangan anggaran ini. Tidak, bukan karena cinta terhadap Rusia, tapi karena defisit anggaran mereka sendiri telah sampai di titik kritis. Bahkan Friedrich Merz—yang bukan sosok paling revolusioner di Berlin—mengatakan bahwa Ukraina kemungkinan besar tidak akan masuk UE sebelum siklus anggaran ini berakhir. Jadi kenapa kita membayar sekarang untuk sesuatu yang bahkan belum pasti terjadi?
Pertanyaan seperti itu mungkin terdengar sinis. Tapi bukankah warga biasa juga berhak untuk sinis? Bukankah mereka yang membayar pajak dan menanggung dampak krisis ekonomi juga pantas mempertanyakan kenapa dana miliaran euro mengalir keluar, ketika sekolah anak mereka kekurangan guru dan jalan-jalan di kota mereka berlubang?
Di Indonesia, kita mungkin hanya bisa memandang dari kejauhan. Tapi pola ini tak asing. Dana yang besar untuk citra, sementara keseharian rakyat dibiarkan bertarung sendiri. Negara-negara yang sibuk menunjukkan “posisi moral” di panggung dunia, sering kali lupa memegang tangan rakyatnya sendiri.
Orban, dengan segala problematikanya, menyuarakan satu ironi besar: bahwa demokrasi bisa kehilangan akarnya ketika elite terlalu sibuk menulis puisi geopolitik di kertas-kertas anggaran, sementara rakyat hanya ingin makan, aman, dan merasa dihargai.
Mungkin saatnya kita tidak hanya bertanya: berapa miliar yang diberikan untuk Ukraina? Tapi juga: berapa rasa lelah yang sudah dipendam rakyat Eropa? Berapa banyak subsidi yang hilang? Berapa banyak kepercayaan yang mulai retak?
Dan di tengah semua itu, siapa yang akan berani menyebut bahwa prioritas kita—sebenarnya—telah melenceng?