Opini
UEA, Red Line Palestina dan Dagang Ilusi Normalisasi

Langit Timur Tengah selalu penuh tanda tanya, bukan hanya karena riuh dentuman dan asap mesiu, tapi juga karena kabut ilusi politik yang menutup pandangan jernih kita. Ada ironi yang kian terasa getir: negara yang menyebut dirinya “penjaga martabat Arab” justru asyik bermain catur dengan rezim yang merampas tanah tetangga. UEA, dengan segala kekayaannya, seakan berdiri di persimpangan. Bersuara lantang menolak aneksasi Tepi Barat, menyebutnya sebagai red line, tapi kita semua tahu, itu lebih menyerupai bisikan dagang ketimbang ancaman.
Saya teringat pada 2020. Saat itu, dunia Arab tiba-tiba dibuat geger oleh sebuah kesepakatan yang disulap menjadi “perdamaian.” Israel sedang merencanakan aneksasi besar-besaran di Tepi Barat, dan UEA tampil gagah, mengaku berhasil menghentikan langkah itu dengan barter politik: normalisasi. Dunia disuguhi narasi besar: “Kami, UEA, telah menyelamatkan Palestina dari aneksasi.” Indah terdengar, nyaring di headline, tapi kosong di lapangan. Aneksasi memang tak jadi dilakukan secara resmi, namun permukiman ilegal terus tumbuh seperti jamur busuk di musim hujan. Palestina tetap terkepung, hanya label kebijakannya yang diubah.
Sekarang, lima tahun sudah berlalu. Normalisasi berubah menjadi rutinitas: penerbangan langsung, kerja sama ekonomi, hingga proyek teknologi. Tetapi mari kita jujur, apa kabar Palestina? Apa kabar janji besar UEA menghentikan aneksasi? Tak ada yang berubah. Gaza luluh lantak, Tepi Barat semakin terjepit. Justru yang berubah hanyalah legitimasi Israel di panggung diplomasi. Dan UEA, dengan segala klaim “garis merah”-nya, tetap memilih berfoto dengan para pejabat Tel Aviv, seolah sejarah bisa dipoles dengan senyum di karpet merah.
Maka ketika kini UEA kembali mengancam soal rencana aneksasi Israel di Tepi Barat, dengan kembali mengatakan bahwa hal itu adalah red line, saya sulit menahan senyum getir. Ancaman? Tidak. Lebih tepatnya sinyal politik. Sebuah pesan: “Kami masih punya harga, jangan obral langkah sebelum menyiapkan kompensasi.” Ini bukan tentang idealisme, melainkan kalkulasi. Bukan tentang solidaritas, melainkan tawar-menawar. Seperti seorang pedagang pasar yang lihai, UEA tahu kapan harus mengetuk meja, kapan harus menunggu, dan kapan harus mengambil untung.
Pertanyaan besarnya, tawaran apa yang akan datang kali ini? Jika pada 2020 imbalannya adalah normalisasi yang dielu-elukan, maka pada 2025—di tengah perang Gaza yang tak kunjung usai—Israel tak mungkin sekadar mengulang janji basi. UEA tentu mengincar lebih. Bisa jadi, paket ekonomi jumbo. Investasi teknologi tinggi yang menjadikan Abu Dhabi sebagai hub baru AI dan keamanan siber di kawasan. Bisa jadi, proyek militer: akses ke sistem pertahanan canggih, atau jaminan koordinasi keamanan di Laut Merah. Atau bahkan tawaran politik: peran simbolis sebagai mediator regional, sekadar agar UEA tampil “berjasa” meski dunia tahu, itu hanya panggung kosong.
Saya rasa, inilah absurditasnya. Ancaman aneksasi yang seharusnya memantik kemarahan dunia Arab, malah berfungsi sebagai katalis untuk transaksi baru. Palestina dijadikan kartu, sementara meja negosiasi dikuasai oleh mereka yang bahkan tak pernah merasakan pengungsian atau penjajahan. Dan UEA, alih-alih benar-benar menegakkan red line, lebih suka menunggu, menakar, dan akhirnya menukar. Ironi yang pahit, tapi nyata.
Bagi publik Arab, ancaman UEA terdengar seperti drama lama yang diputar ulang. Kita sudah tahu ending-nya: bukan konfrontasi, melainkan kompromi. Bukan putus hubungan, melainkan penyesuaian kesepakatan. Karena di balik retorika, normalisasi bukan sekadar pilihan diplomasi, melainkan infrastruktur ekonomi. Terlalu banyak perusahaan, proyek, dan jaringan bisnis yang kini bergantung pada hubungan itu. Melepasnya berarti mengguncang pondasi sendiri. UEA tentu tak seberani itu.
Sebagai orang Indonesia, saya melihat ini seperti wayang yang dimainkan berulang: tokoh sama, alur sama, hanya bumbu dialog yang berganti. Kita semua tahu dalangnya, kita juga tahu lakonnya. Yang tragis, penonton masih diminta percaya bahwa ini pertunjukan baru. Padahal sejak awal, panggungnya memang didesain untuk menguntungkan Israel, sementara dunia Arab sekadar figuran yang dipanggil masuk untuk menutupi absurditas naskah.
Apakah UEA berani memutus normalisasi? Jawabannya sederhana: tidak. Itu jalan terjal yang tak sesuai dengan karakter mereka yang pragmatis. Jalan sulit tidak pernah menjadi pilihan jika ada jalan pintas yang lebih menguntungkan. Jadi, red line mereka hanyalah garis tipis di padang pasir, bisa hilang seketika ditiup angin politik.
Di titik ini, kita perlu menyadari bahwa “ancaman” UEA hanyalah bagian dari tarian diplomasi. Mereka menari bukan untuk Palestina, melainkan untuk kepentingan diri sendiri. Mereka menunggu Israel menawarkan melodi baru, lalu melangkah sesuai irama itu. Dan kita semua, lagi-lagi, diminta percaya bahwa ini tarian menuju keadilan. Padahal, musiknya selalu sama: kompromi yang menguntungkan pihak penjajah.
Saya tahu, sebagian orang mungkin akan berkata: setidaknya UEA masih berbicara, tidak diam. Tapi apakah berbicara tanpa keberanian bertindak bukan sekadar menambah luka? Apakah ancaman tanpa konsekuensi bukan sekadar ilusi? UEA mungkin merasa langkah ini cerdas, tapi bagi rakyat Palestina, ini hanya menambah daftar panjang janji Arab yang tak pernah ditepati.
Di penghujung analisis ini, saya hanya ingin mengatakan: red line UEA bukanlah garis batas, melainkan garis tawar. Sebuah tanda bahwa mereka lebih menanti tawaran baru ketimbang benar-benar menuntut keadilan. Dan jika sejarah berulang seperti 2020, maka kita tahu ujungnya: Palestina tetap tertinggal, sementara UEA pulang membawa hadiah. Ironi politik yang terus berputar, sementara penderitaan di Gaza dan Tepi Barat tak pernah berhenti.
Sumber: