Opini
UEA dan Tragedi Masalit di Sudan

Otoritas penerbangan Sudan mengumumkan pada 7 Agustus bahwa pesawat-pesawat mereka dilarang mendarat di bandara-bandara Emirat, setelah sebuah pesawat milik Uni Emirat Arab yang mengangkut tentara bayaran menjadi sasaran serangan Angkatan Udara Sudan saat hendak mendarat di fasilitas yang dikuasai oleh Pasukan Pendukung Cepat (RSF). Begitu laporan itu dibuka, terasa ada dentuman yang tak hanya berasal dari ranah udara, tapi juga dari ranah nalar. Pesawat pribadi yang berisi tentara bayaran Kolombia, mendarat diam-diam di wilayah konflik, lalu dibombardir di landasan Nyala International Airport. Bukan fiksi politik. Bukan adegan sinematik. Ini adalah kenyataan pahit dari absurditas dunia yang tak lagi segan mempertontonkan betapa murahnya nyawa dan betapa mahalnya pengaruh.
UEA, negara mungil penuh menara dan ilusi kemakmuran yang dipoles dari minyak dan pasar bebas, kini tak sekadar mengekspor barang mewah atau stadion sepak bola. Ia juga, sebagaimana dituduhkan pemerintah Sudan, mengekspor perang. Atau lebih tepatnya, menyewa kematian. Ketika laporan itu menyebut pesawat tersebut membawa “Colombian mercenaries” yang akan bertempur bersama RSF, rasanya seperti membaca naskah film distopia yang tak lulus sensor karena terlalu gila. Tapi di dunia nyata, rupanya gila adalah standar baru.
Pemerintah Port Sudan menyebut mereka punya “bukti tak terbantahkan” bahwa ratusan ribu tentara bayaran non-Afrika didatangkan oleh UEA untuk mendukung RSF. Klaim itu, tentu saja, langsung disapu bersih oleh Abu Dhabi: “false and unfounded,” kata mereka. Satu kalimat pendek yang diucapkan dengan penuh percaya diri, seolah dunia ini masih percaya bahwa diplomasi adalah soal integritas, bukan kepentingan. Padahal, rekam jejak UEA bicara lebih lantang dari pernyataan mereka. Sudan bukanlah permulaan. Ini hanya kelanjutan.
Dari Libya hingga Yaman, dari Somalia sampai ke Tigray, tangan Emirat sudah terbiasa bermain di lumpur konflik. Kadang lewat dukungan dana, kadang lewat pelatihan milisi, kadang juga lewat tentara bayaran bergaji tinggi yang direkrut dari negeri-negeri jauh. Kolombia, misalnya. Negara yang sudah kenyang dengan konflik bersenjata internal dan akhirnya menjadi ladang rekrutmen murah bagi perang-perang orang lain. Apa bedanya dengan outsourcing tenaga kerja? Hanya ini soal peluru, bukan palu. Soal darah, bukan keringat.
Yang menarik, atau barangkali menyedihkan, adalah betapa ringannya dunia menyambut kabar seperti ini. Seolah-olah ada “paket hemat” dalam geopolitik: bayar orang, kirim pesawat, biarkan mereka mati di negeri orang, lalu nyatakan diri tak terlibat. Simpel. Rapi. Dan ya, berdarah.
Tragedi Masalit adalah salah satu luka paling menganga dari perang Sudan yang telah menelan puluhan ribu nyawa dan menggusur jutaan lainnya. Kelompok etnis Masalit di Darfur menjadi korban kekerasan brutal yang diduga kuat dilakukan oleh RSF dan para sekutunya. Sementara dunia sibuk bersidang dan mengeluarkan resolusi, di tanah itu, tubuh-tubuh manusia menjadi bukti bisu dari kebrutalan yang dibiayai entah oleh siapa. Tapi ketika Sudan menggugat UEA ke Mahkamah Internasional atas tuduhan mendukung genosida, kita tahu: arah tudingannya sangat spesifik.
Ironisnya, Mahkamah Internasional menolak gugatan itu. Mungkin karena tak cukup bukti. Atau mungkin karena terlalu banyak kepentingan. Toh, siapa yang ingin membuat ribut dengan mitra dagang yang rajin membeli real estate, pesawat tempur, dan meminjamkan investasi ke seluruh dunia? Dunia ini punya ingatan pendek dan perut panjang. Keadilan kerap bergantung pada siapa yang membayarnya, bukan pada siapa yang menderita.
UEA, dengan senyum modernitasnya dan ambisi globalnya, kini mengukir sejarah sebagai penyokong konflik. Bukan karena mereka haus darah, mungkin. Tapi karena mereka lapar akan pengaruh. Wilayah Laut Merah, jalur pelayaran strategis, dan sumber daya Sudan adalah menu yang terlalu menggoda untuk dilewatkan. Maka, kalau harus menyewa beberapa ratus orang bersenjata dari Amerika Latin untuk membantu paramiliter lokal, mengapa tidak?
Kalau boleh jujur, ini bukan lagi sekadar persoalan Sudan. Ini tentang dunia yang menerima praktik seperti ini sebagai normal baru. Kita sudah terlalu biasa melihat negara-negara kecil-kaya menjadikan negara miskin-berkonflik sebagai arena uji coba ambisi politik. Seperti anak kecil bermain monopoli dengan napalm.
Bagi kita di Indonesia, barangkali berita seperti ini terdengar jauh. Tapi seharusnya tidak. Karena dunia seperti ini, di mana satu negara bisa menyewa tentara dari benua lain untuk membunuh rakyat negara ketiga, adalah dunia yang sama di mana kita juga hidup. Ini bukan hanya cerita tentang Sudan dan UEA. Ini cerita tentang kemanusiaan yang dijual ke pasar terbuka.
Maka ketika UEA melarang penerbangan Sudan masuk ke bandara mereka, itu bukan sekadar pembalasan diplomatik. Itu adalah bentuk keangkuhan: sebuah pesan bahwa mereka bisa bermain api, lalu menuduh korban sebagai provokator. Sebuah pengalihan yang busuk, tapi sayangnya efektif. Dunia lebih cepat percaya kepada yang licin dan kaya, daripada yang babak belur dan terjepit.
Tragedi Masalit tak butuh lebih banyak konferensi. Ia butuh kejujuran. Dan dunia internasional, termasuk kita yang membaca berita ini dari layar datar, harus bertanya: berapa harga satu nyawa Masalit dibanding satu kontrak dagang? Jika jawabannya membuat kita bergidik, mungkin masih ada harapan. Tapi jika kita hanya mengernyit lalu lanjut scroll ke video lucu berikutnya, maka barangkali kita juga sedang menjual kemanusiaan kita sendiri. Tanpa sadar, tanpa suara.
Di tengah pekatnya asap konflik, yang menyesakkan bukan hanya bau mesiu. Tapi bau uang. Dan jika sejarah mencatat tangan UEA di Sudan, biarlah ia juga mencatat bahwa dunia melihat, dan sebagian dari kita tak memilih diam. Meski hanya lewat tulisan seperti ini.