Opini
UE Dituding Biayai Ekstremisme, Benarkah?

Perdana Menteri Georgia, Irakli Kobakhidze, menuding Uni Eropa (UE) sebagai pihak yang menghasut dan mendanai ekstremisme di negerinya. Tuduhan ini menciptakan gelombang kejut yang menandai retaknya hubungan antara Tbilisi dan Brussel—yang belakangan memang semakin renggang, terutama karena kekhawatiran Barat atas apa yang mereka sebut sebagai “kemunduran demokrasi” di Georgia. Namun ini bukan sekadar kisah geopolitik di negeri jauh. Bagi kita di Indonesia, tudingan semacam ini bisa menjadi refleksi atas ketegangan antara kedaulatan nasional dan pengaruh asing—sebuah persoalan yang tak asing dalam sejarah politik kita sendiri.
Kobakhidze mengklaim memiliki bukti yang “tak terbantahkan” bahwa aktor-aktor Barat mendukung protes anti-pemerintah di Georgia. Ia menyebut adanya fakta, rekaman video, serta pola pendanaan dari UE yang mengalir ke kelompok yang ia anggap ekstremis. Ketua Parlemen Georgia, Shalva Papuashvili, memperkuat narasi ini dengan menuding bahwa anggaran UE digunakan untuk mendanai ketidakstabilan politik di dalam negeri. Ia bahkan mengirim surat resmi kepada Duta Besar UE untuk Georgia, Pawel Herczynski, yang hingga kini belum memberikan respons publik.
Namun, tuduhan semacam ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik dalam negeri Georgia yang tengah bergolak. Tanpa publikasi bukti yang kredibel dan dapat diverifikasi, klaim tersebut bisa dilihat sebagai upaya untuk membungkam kritik dan mengendalikan narasi publik. Di sinilah letak dilema: apakah tindakan ini merupakan langkah sah untuk menuntut transparansi dari pendanaan asing, atau justru bentuk instrumentalitas politik untuk mempersempit ruang gerak oposisi?
Mari kita bayangkan skenario serupa di Indonesia. Bagaimana jika sebuah undang-undang mewajibkan setiap organisasi non-pemerintah (LSM) yang menerima lebih dari 20% dana dari luar negeri untuk mendaftarkan diri sebagai “agen asing”? Di satu sisi, kita bisa melihatnya sebagai langkah menjaga kedaulatan dan transparansi. Indonesia pernah mengalami tekanan dari luar—baik dari kekuatan kolonial, tekanan IMF pasca-krisis 1998, hingga narasi-narasi asing dalam isu separatisme. Namun, di sisi lain, label “agen asing” bisa menjadi alat yang berbahaya jika digunakan untuk menyerang kelompok-kelompok sipil yang kritis terhadap pemerintah.
Undang-undang “pengaruh asing” di Georgia, yang memicu gelombang protes besar-besaran, mencerminkan ketegangan ini. Regulasi tersebut mewajibkan organisasi yang menerima lebih dari 20% dananya dari luar negeri untuk mendaftarkan diri dan mengungkap sumber dana mereka. Pemerintah menyebutnya sebagai langkah menuju transparansi, namun UE dan kelompok-kelompok HAM menganggapnya sebagai ancaman terhadap kebebasan sipil. Ini menimbulkan ironi besar: banyak negara Barat, seperti Amerika Serikat, memiliki undang-undang serupa—seperti Foreign Agents Registration Act (FARA). Lalu mengapa ketika Georgia menerapkannya, Barat justru mengecam?
Konteks geopolitik Georgia menjelaskan sebagian dari ketegangan ini. Negara kecil di persimpangan pengaruh Rusia dan Barat ini memiliki posisi strategis, namun juga rapuh. Partai Georgian Dream yang kini berkuasa, dipimpin oleh miliarder Bidzina Ivanishvili, memenangkan pemilu Oktober 2024 dengan angka telak. Namun, pihak oposisi yang pro-Barat menuduh adanya kecurangan. Protes pun merebak, didukung oleh pernyataan dari pemimpin-pemimpin Barat seperti Emmanuel Macron, Donald Tusk, dan Friedrich Merz yang mengecam “kemunduran demokrasi”—bahkan pada Hari Kemerdekaan Georgia. Pernyataan itu dijawab dengan keras oleh Papuashvili, yang menyebutnya sebagai “memalukan” dan mencerminkan intervensi terhadap harga diri nasional Georgia.
Bagi Indonesia, nada ini terasa familiar. Kita pernah mendengar kecaman serupa dari luar negeri terkait isu-isu dalam negeri kita—dari Timor Timur hingga Papua, dari HAM hingga kebebasan pers. Bagi banyak orang, kritik semacam itu lebih terasa sebagai campur tangan daripada solidaritas. Maka wajar jika banyak orang di Georgia merasa bahwa tuduhan UE telah melewati batas.
Namun, benarkah tuduhan Kobakhidze terhadap UE dapat dibenarkan? Ia membandingkan gelombang protes di negaranya dengan Maidan 2014 di Ukraina—sebuah insinuasi bahwa Barat sedang mendorong perubahan rezim di Georgia karena pemerintahnya menolak konfrontasi terbuka dengan Rusia. Ini bukan tuduhan ringan. Media Rusia seperti RT menyebutkan bahwa Kobakhidze memiliki bukti berupa video dan data keuangan yang menunjukkan keterlibatan langsung UE. Namun, tanpa verifikasi independen, klaim ini mudah berubah menjadi alat propaganda.
Di sisi lain, memang benar bahwa UE secara terbuka mendanai berbagai organisasi sipil di Georgia, dengan tujuan memperkuat demokrasi dan HAM. Praktik ini juga terjadi di Indonesia. Banyak LSM lingkungan dan HAM menerima bantuan internasional. Tapi praktik semacam ini seringkali menimbulkan kecurigaan ketika narasinya dianggap tidak sejalan dengan agenda nasional. Apakah bantuan itu benar-benar netral, atau memiliki agenda terselubung?
Respon UE terhadap UU “pengaruh asing” di Georgia sangat keras. Mereka membekukan pembicaraan aksesi, memotong bantuan keuangan, dan menyebut UU tersebut sebagai “kemunduran serius” dalam proses demokratisasi. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah tekanan tersebut merupakan bentuk pembelaan atas nilai-nilai demokrasi, atau justru ekspresi frustrasi karena kehilangan pengaruh politik di negara calon anggota?
Georgia sendiri akhirnya memutuskan untuk menunda pembicaraan aksesi hingga 2028. Ini adalah langkah yang mencerminkan pragmatisme, tetapi juga sinyal bahwa hubungan dengan UE berada di titik nadir. Pemerintah Georgia merasa didikte, apalagi setelah sanksi dan retorika keras dari pemimpin Eropa. Mereka pun mengambil tindakan kontroversial—seperti memecat ratusan pegawai negeri yang ikut demonstrasi, dan menggunakan teknologi pengenalan wajah untuk mengidentifikasi peserta protes. Langkah-langkah ini mengundang kekhawatiran tentang arah demokrasi di Georgia, mengingatkan kita pada masa lalu di Indonesia ketika kritik terhadap pemerintah kerap dianggap subversif.
Inilah dilema besar yang tengah dihadapi: apakah kedaulatan harus ditegakkan dengan membungkam suara kritis? Secara prinsip, tidak ada yang salah dengan keinginan untuk mengetahui sumber dana organisasi yang memengaruhi wacana publik dan politik. Tetapi cara implementasi undang-undang, serta penggunaan istilah seperti “agen asing,” bisa menjadi alat represi jika tidak diawasi dengan ketat.
Banyak NGO di Georgia bergantung pada dana asing karena lemahnya ekonomi domestik. Jika mereka dilabeli sebagai agen asing, bukan hanya legitimasi mereka yang akan tergerus, tetapi juga kapasitas mereka untuk berkontribusi pada penguatan sipil dan demokrasi. Di Indonesia, kita bisa berkaca pada organisasi seperti WALHI atau LBH—yang kerap menerima dana dari luar negeri, tetapi memainkan peran penting dalam menegakkan hak-hak rakyat. Apakah kita akan melabeli mereka sebagai ancaman, atau sebagai mitra dalam pembangunan demokrasi?
Kritik terhadap UE juga layak didengar. Narasi mereka tentang demokrasi terkadang tampak selektif. Ketika mereka mendanai NGO di negara lain, tujuannya adalah demokratisasi. Tapi siapa yang menilai apakah dana itu benar-benar digunakan secara netral? Tidak ada badan netral internasional yang secara sistematis mengaudit bagaimana dana semacam itu memengaruhi politik domestik. Di Indonesia, kita mengenal kekhawatiran serupa terkait dana asing untuk isu-isu sensitif seperti Papua atau kebijakan lingkungan di Kalimantan.
Konflik antara Georgia dan UE ini akhirnya menjadi gambaran lebih luas dari pertarungan global: antara kedaulatan dan pengaruh asing, antara transparansi dan kebebasan sipil. Georgia punya hak untuk mengatur aliran dana asing di negaranya, sebagaimana Indonesia juga ingin melindungi kepentingan nasionalnya. Namun, penerapan kebijakan harus mempertimbangkan keseimbangan antara menjaga integritas negara dan menjamin kebebasan berekspresi.
Uni Eropa pun perlu merefleksikan pendekatannya. Jika demokrasi adalah nilai utama, maka mendukungnya tidak bisa dilakukan dengan sanksi yang mengabaikan realitas lokal. Tekanan dari luar yang tak disertai dialog cenderung memperdalam polarisasi dan memberi amunisi bagi narasi anti-Barat. Sebaliknya, membangun ruang komunikasi dan mendengarkan konteks lokal akan jauh lebih efektif dalam mendukung perubahan yang sejati.
Akhirnya, pertanyaan yang menggantung bukan hanya untuk Georgia atau UE, tetapi juga untuk kita semua: bagaimana menjaga kedaulatan tanpa menjadi represif, dan bagaimana membuka diri terhadap dunia tanpa kehilangan kendali atas masa depan kita sendiri? Tanpa dialog yang jujur dan terbuka—baik antara Tbilisi dan Brussel, maupun antara pemerintah dan rakyatnya—kita hanya akan berputar dalam lingkaran kecurigaan dan konflik.
Demokrasi, pada akhirnya, bukan hanya soal siapa yang mendanai siapa, tetapi bagaimana sebuah bangsa mampu mengelola perbedaan dan kritik sebagai bagian dari kehidupan bernegara yang sehat. Georgia, seperti Indonesia, sedang mencari keseimbangan itu di dunia yang semakin kompleks dan penuh tekanan dari berbagai arah.