Connect with us

Opini

Turki-Israel: Musuh di Panggung, Sekutu di Meja

Published

on

Negosiasi antara Turki dan Israel untuk membentuk mekanisme dekonflik di Suriah adalah potret ironis dari dunia geopolitik kontemporer. Dua negara yang kerap saling lempar kecaman di forum internasional kini tengah duduk semeja, membahas cara agar tank dan jet tempur mereka tak saling tabrak di negeri orang—yang sama-sama mereka masuki tanpa undangan resmi. Kabar ini mencuat bukan dari tabloid gosip, melainkan dari media dan sumber-sumber pertahanan resmi. Meski Ankara buru-buru menyangkal kabar soal pembentukan hotline, keengganan mereka membantah negosiasi itu sendiri sudah bicara banyak.

Pertemuan yang berlangsung di Baku sejak April mencerminkan sebuah absurditas: rival yang keras di mimbar global, kini bersikap manis di ruang rapat, seolah dua aktor antagonis yang dipaksa satu panggung oleh sutradara dengan anggaran terbatas. Di Suriah—negeri yang sudah dipaksa bersujud oleh perang berkepanjangan—kedua negara ini menyusun strategi agar saling tidak mengganggu. Bukan demi rakyat Suriah, tentu saja, melainkan demi menjaga kelancaran agenda masing-masing.

Turki, dengan kekuatan militernya yang bercokol di utara dan barat Suriah, punya kepentingan lama: membendung kelompok Kurdi yang dianggap sebagai ancaman keamanan nasional. Israel, yang sejak 1967 menguasai Dataran Tinggi Golan, kini memperluas pengaruh ke wilayah selatan Suriah, berdalih melindungi minoritas Druze dan “mencegah ancaman Iran.” Di atas kertas, ini terdengar masuk akal. Tapi jika kertas itu kita balik, ada peta strategi kawasan yang lebih kelam—dan lebih jujur.

Israel, misalnya, tak ragu meluncurkan ratusan serangan udara ke target-target militer Suriah, termasuk pangkalan T4 dekat Palmyra. Serangan ini terjadi bahkan ketika pangkalan itu juga menjadi incaran Turki. Ini bukan sekadar manuver militer, tapi cerminan dari upaya siapa bisa menancapkan tiang paling kokoh di reruntuhan negara orang lain. Bila perang adalah permainan catur, maka Suriah hanyalah papan yang disediakan secara cuma-cuma.

Sementara itu, muncul sosok Ahmad al-Sharaa—atau yang lebih dikenal dengan Abu Mohammad al-Julani—mantan komandan Al-Qaeda yang kini jadi pemimpin Hay’at Tahrir al-Sham (HTS). Figur ini menarik: pernah jadi musuh, kini justru dijadikan pion oleh banyak pihak. Turki tampak cukup akrab dengannya, barangkali karena HTS bisa dijadikan penyeimbang atas kekuatan Kurdi dan Rusia. Israel sendiri pernah digosipkan mendukung HTS secara tidak langsung, dalam rangka mempercepat kejatuhan Assad. Tapi kini, giliran HTS dianggap “jihadis radikal,” terutama saat Sharaa mulai menunjukkan tanda-tanda tidak bisa dikendalikan.

Inilah politik tingkat tinggi—help your enemies rise, then push them off the cliff when they start thinking for themselves. Aliansi dibangun bukan karena kepercayaan, tapi karena kegunaan. Jika tak lagi berguna, maka akan dibuang tanpa banyak seremoni.

Rakyat Suriah? Mereka tetap di posisi yang sama: di luar ruang perundingan, di dalam puing-puing rumah mereka. Bagi mereka, istilah seperti “mekanisme dekonflik” terdengar seperti lelucon gelap: bagaimana mungkin orang-orang yang tidak pernah diundang ke negerinya justru duduk bicara soal siapa boleh lewat dan siapa harus berhenti? Bagaimana mungkin pelanggar kedaulatan justru mengatur tata tertib?

Erdogan memainkan peran utama dalam lakon ini. Di depan publik internasional, ia tampil lantang membela Palestina, menyebut Israel sebagai “penjajah” dan “penutup mata dunia.” Pernyataan-pernyataan yang dikemas apik itu menggema hingga ke pelosok Anatolia, menggetarkan hati rakyat biasa yang mungkin sedang menyeruput teh di kafe desa. Tapi di Baku, tangan Turki tak sekeras kata-katanya. Mereka justru mengirim utusan untuk merundingkan koordinasi dengan Tel Aviv. Seolah berkata, “Kami tetap tidak suka kamu… tapi mari kita sepakati jalur lalu lintas di Suriah agar tidak terjadi kecelakaan kerja.”

Humor hitamnya terasa kental. Bayangkan jika ini dibicarakan di warung kopi Jakarta: “Eh, Erdogan nego sama Israel?” “Lho, bukannya dia pendukung Palestina garis keras?” Reaksi kaget seperti ini memang wajar, karena dunia geopolitik hari ini tidak dirancang untuk logika harian. Ia hanya masuk akal bagi mereka yang menganggap prinsip adalah alat tukar, bukan pedoman tetap.

Bagi Palestina, momen ini seperti tamparan tanpa tangan. Erdogan yang biasa berpidato lantang dan mengibarkan bendera solidaritas, ternyata juga punya agenda yang bisa menuntut kompromi dengan pihak yang selama ini dia kutuk. Apakah ini artinya Erdogan munafik? Belum tentu. Tapi ini pasti mengindikasikan satu hal: bahwa isu Palestina, sepenting dan seagung apa pun, bisa ditaruh di rak belakang ketika kepentingan regional lain mendesak.

Israel, di sisi lain, tak perlu berdalih banyak. Mereka sudah jelas jalurnya: pertahankan dominasi udara, jaga keunggulan intelijen, dan pastikan tidak ada negara tetangga yang cukup kuat untuk menantang. Jika Turki mau diajak bicara soal jalur penerbangan militer, maka itu bonus. Palestina? Mereka tetap akan dibicarakan dalam forum PBB atau dalam khutbah Jumat, tapi tidak masuk prioritas utama dalam peta jalan geopolitik Israel.

Kembali ke Suriah, situasi di sana mungkin adalah yang paling tragis. Negara itu telah menjadi panggung terbuka, tempat para pemain besar beraksi dengan bebas, sambil mengaku sebagai penyelamat. Sharaa dan HTS, misalnya, tidak punya ruang untuk menentang keputusan Turki, karena mereka sangat bergantung pada Ankara untuk logistik dan perlindungan. Israel pun leluasa menjadikan mereka sasaran jika dianggap terlalu aktif atau terlalu mandiri. Satu hari mereka disebut sekutu, esoknya mereka berubah jadi ancaman.

Sementara itu, Azerbaijan—yang jadi tuan rumah negosiasi ini—memainkan peran menarik. Negara ini memiliki hubungan dekat dengan Turki dan kerja sama strategis dengan Israel, menjadikannya lokasi yang “netral tapi menguntungkan.” Tapi jangan dikira Baku melakukan ini demi perdamaian dunia. Seperti pemain catur lain, mereka juga punya motif: membangun pengaruh, mengangkat pamor, dan tentu saja, mempertebal posisi tawar.

Dalam kisah ini, Suriah bukan hanya korban. Ia adalah simbol dari banyak negara lain yang kedaulatannya digerogoti sedikit demi sedikit. Palestina pun demikian. Mereka tidak hanya berhadapan dengan musuh di medan perang, tapi juga dengan pengkhianatan diam-diam dari pihak yang mengaku sebagai saudara.

Dan kita, para pengamat dari kejauhan, mungkin hanya bisa menyaksikan dari layar ponsel, sambil menggeleng pelan dan berkata, “Dunia ini memang panggung besar.” Sebab pada akhirnya, suara paling keras tak selalu datang dari yang paling benar. Terkadang, ia datang dari mikrofon yang dibayar paling mahal.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *