Opini
Turki, Gaza, dan Politik Topeng Damaskus

Di tengah reruntuhan Gaza yang membara, di mana anak-anak menatap langit yang sama sekali tak ramah dan warga menahan lapar di antara puing-puing rumah mereka, muncul retorika megah dari Ankara. Hakan Fidan berbicara lantang terhadap Israel di parlemen: genosida, pelanggaran HAM, perang yang mengancam kawasan regional. Kata-kata itu terdengar heroik, bak teriakan seorang penyelamat di depan dunia yang acuh. Tapi, saya bertanya pada diri sendiri—apakah ini tentang Gaza, atau tentang Damaskus?
Kita semua tahu tragedi Gaza bukan drama instan. Dua tahun lebih blokade, kelaparan, dan serangan zionis tak henti-henti. Ribuan nyawa hilang, rumah-rumah hancur, harapan menguap seperti embun pagi. Dan di sinilah Turki menempatkan dirinya sebagai pahlawan moral. Memutus perdagangan, menutup pelabuhan, melarang pesawat Israel melewati udara mereka. Tindakan nyata? Relatif terbatas. Tapi citra heroik itu—ah, itu mahal harganya. Dunia menatap, tepuk tangan, dan Turki tersenyum di balik layar diplomasi.
Jika kita menelisik lebih dalam, pernyataan Fidan tentang Suriah membuka tabir motif tersembunyi. “Türkiye will not allow Syria’s ancient and valuable communities to be exploited,” (Turki tak akan membiarkan komunitas bersejarah di Suriah dieksplotasi) katanya. Sekilas terdengar mulia, seperti melindungi warga dari agresi. Tapi jika kita mengaitkan ini dengan serangan baru-baru ini ke Damaskus oleh zionis, dan rencana David’s Corridor yang ingin membelah wilayah strategis, retorika itu menjadi jelas: Turki ingin memastikan posisinya di Suriah, bukan semata-mata menolong Gaza.
Yang menarik, dan cukup membingungkan bagi pengamat internasional maupun pembaca yang kritis, adalah timing atau keterlambatan Turki dalam menanggapi tragedi Gaza. Hampir dua tahun Gaza dibombardir tanpa respons keras dari Ankara. Ribuan warga menderita kelaparan, rumah-rumah hancur, blokade berlanjut. Baru ketika Damaskus ikut dibombardir dan ancaman terhadap posisi strategis Turki muncul, retorika Turki meningkat drastis. Kata-kata heroik tentang genosida dan pelanggaran HAM menggelegar, seolah Turki baru menemukan urgensi moralnya. Keterlambatan ini menimbulkan kesan bahwa perhatian Turki terhadap Gaza bukan prioritas murni kemanusiaan, melainkan reaksi yang dipicu oleh kepentingan geopolitik Suriah.
Ironisnya, Gaza menjadi tameng moral. Solidaritas Palestina diangkat tinggi-tinggi, diperdengarkan di parlemen dunia, dan diekspos di media internasional. Tetapi di balik layar, tujuan Turki lebih pragmatis: menekan Israel dari Damaskus, menjaga pengaruh geopolitik, dan memperkuat citra diri sebagai aktor regional. Apakah ini jahat? Saya rasa ya—secara etika, menggunakan penderitaan orang lain sebagai alat untuk kepentingan sendiri adalah manipulatif. Tapi secara politik, cerdik.
Ada sesuatu yang getir dalam strategi ini. Turki tidak pernah berkata langsung: “Kami ingin memperkuat posisi kami di Damaskus dan menyingkirkan Israel.” Kalau itu terjadi, respons dunia tentu akan berbeda: kecaman, sanksi, dan reputasi sebagai agresor. Jadi, jalan yang dipilih: gunakan isu Gaza, lontarkan kata-kata moral, dapatkan simpati, dan tetap bergerak di jalur geopolitik sendiri. Elegan? Ya. Etis? Itu cerita lain.
Kita bisa melihat ini sebagai pelajaran pahit tentang politik modern. Seorang aktor bisa tampil sebagai penyelamat, sementara niat sebenarnya tersembunyi di balik bayangan strategis. Gaza, dalam konteks ini, menjadi “alat” untuk membangun legitimasi. Solidaritas moral dipasarkan. Penderitaan manusia dijadikan komoditas retorika. Dan dunia—kita yang menyimak dari jauh—seringkali tak menyadari permainan ini.
Ironi semakin tajam ketika Ankara mengklaim menentang displacement rakyat Gaza. Tentu terdengar mulia. Tapi realitas di lapangan, bantuan terbatas dan blokade tetap berjalan. Ada kontradiksi halus: berbicara heroik, bertindak simbolik. Seolah berkata, “Kami membela kalian,” tapi di saat yang sama, tujuan strategisnya tetap tidak tergoyahkan: Suriah. Analogi sehari-hari? Seperti tetangga yang menolong rumah Anda yang kebakaran hanya agar ia bisa menaruh papan reklame besar di depan rumah itu.
Dan kita tidak bisa mengabaikan konteks domestik. Retorika pro-Palestina menyatukan opini publik di Turki, dari nasionalis hingga Islamis. Pemerintah Erdoğan mendapat legitimasi tambahan, citra moral meningkat, sementara risiko konfrontasi militer dengan Israel diminimalkan. Strategi pintar, bukan? Tapi di mata etika kemanusiaan, tetap mengandung sisi manipulatif.
Bahkan klaim Fidan tentang perlawanan Palestina yang “mengubah tatanan dunia” bisa dibaca ganda. Di satu sisi, semangat perlawanan memang inspiratif. Di sisi lain, pernyataan itu mengemas kepentingan geopolitik Turki sebagai perjuangan global. Gaza dan Palestina menjadi simbol, bukan tujuan utama. Ironi ini manis-getir: solidaritas moral, tapi motivasi politis yang terselubung.
Kita juga perlu menilik dampak tindakan Turki terhadap regional. Pemutusan perdagangan, pelarangan kapal dan pesawat, tentu mengganggu jalur ekonomi zionis. Tapi apakah ini menyelamatkan warga Gaza secara langsung? Tidak. Itu adalah langkah simbolik yang lebih menekankan posisi diplomatik Ankara, sekaligus memberi tekanan politik terhadap Israel tanpa harus menghadapi risiko militer. Strategi ini efektif secara politik, tetapi tetap meninggalkan rasa pahit bagi mereka yang benar-benar menderita.
Apa yang kita lihat di sini adalah sebuah permainan diplomasi yang cermat: retorika moral digabungkan dengan strategi geopolitik tersembunyi. Turki menempatkan dirinya sebagai pembela Gaza, sambil diam-diam memperkuat pengaruhnya di Suriah. Analogi lokal? Seperti orang yang memegang payung saat hujan untuk orang lain, tampak peduli, tapi sebenarnya melindungi dirinya sendiri dari basah.
Dan tentu saja, ini bukan semata-mata tentang Turki. Fenomena ini mencerminkan realitas politik global: agenda moral sering dibungkus rapi, penderitaan orang lain dijadikan bahan legitimasi, dan simpati internasional bisa dibeli melalui retorika yang menawan. Gaza menjadi panggung simbolik, Damaskus menjadi tujuan nyata, dan dunia menonton, kadang terpesona oleh kata-kata, lupa pada fakta lapangan.
Kesadaran ini penting bagi kita sebagai pengamat. Kita diajak untuk membaca antara baris retorika, melihat di balik kata-kata heroik, dan menilai motivasi yang terselubung. Turki memang memainkan peran strategis dengan cerdik: mendapatkan simpati, menjaga pengaruh regional, dan memposisikan diri sebagai aktor penting. Tapi Gaza, sekali lagi, menjadi alat dalam permainan itu—bukan tujuan akhir yang nyata.
Dan di sinilah kita berhenti sejenak untuk merenung. Apakah heroisme moral bisa terpisah dari kepentingan politik? Apakah retorika solidaritas bisa murni tanpa agenda tersembunyi? Turki mungkin tampak sebagai pahlawan, tapi kita yang memperhatikan lebih seksama akan melihat bayangan tujuan tersembunyi: bukan Gaza, bukan hanya Palestina, tapi Damaskus. Cara mereka? Mengangkat isu penderitaan sebagai tameng moral, retorika sebagai alat legitimasi, dan diplomasi sebagai medan pergerakan. Efektif, elegan, tapi—dari sisi kemanusiaan—menyisakan rasa pahit yang tak mudah hilang.
Dalam perspektif ini, kita bisa belajar sesuatu tentang realitas geopolitik: bahwa moralitas bisa menjadi mata uang, penderitaan bisa menjadi komoditas diplomatik, dan heroisme bisa dibeli dengan retorika yang cermat. Gaza tetap terbakar, Damaskus tetap menjadi panggung strategi, dan Turki menari di antara bayangan-bayangan itu. Dunia menyimak, dan kita, pembaca yang cermat, diajak untuk menilai bukan hanya kata-kata heroik, tetapi motif yang tersembunyi, strategi yang terselubung, dan dampak nyata yang sesungguhnya—bagi mereka yang paling menderita.