Connect with us

Opini

Trump Ubah Timur Tengah: Teluk Bersinar, Israel Tersisih?

Published

on

Di tengah gemerlap istana kerajaan Saudi Arabia, Presiden AS Donald Trump mengumumkan sesuatu yang mengguncang: “Saya telah meluncurkan era keemasan Amerika,” katanya, menambahkan bahwa “era keemasan Timur Tengah dapat maju bersama kami.” Pernyataan ini, yang disampaikan pekan lalu, bukan sekadar retorika. Ini adalah deklarasi perubahan arah kebijakan luar negeri AS, yang kini memandang Teluk—Saudi, Qatar, UEA—sebagai mitra utama, menggeser fokus dari sekutu lama seperti Israel. Di balik janji kemakmuran ini, ada kegelisahan: apa artinya perubahan ini bagi stabilitas kawasan yang sudah rapuh? Dunia menyaksikan, dan kita, dari sudut pandang Indonesia yang jauh namun terhubung melalui dinamika energi dan geopolitik, tak bisa mengabaikan getaran perubahan ini.

Laporan dari Al Mayadeen menyoroti pergeseran ini dengan tajam. Trump, dalam kunjungan landmark-nya ke Teluk, tak hanya berbicara soal kesepakatan pertahanan seperti pada 2017, tapi merangkul visi yang lebih luas: kemitraan teknologi dan ekonomi yang menempatkan Teluk sebagai pusat kekuatan baru. Negara-negara Teluk, dengan dana kekayaan negara yang melimpah dan kepemimpinan terpusat, menawarkan daya tarik yang sulit ditolak—keputusan cepat, investasi besar, dan stabilitas politik yang relatif terjamin. Ini bukan lagi soal menjadikan Teluk sebagai pangkalan militer AS, melainkan kolaborator dalam perlombaan global melawan Tiongkok. Bagi AS, ini adalah langkah pragmatis, tapi bagi kawasan, ini seperti melempar batu ke danau yang sudah bergelombang—riaknya tak bisa diabaikan.

Di Indonesia, kita memahami betapa pentingnya stabilitas Timur Tengah. Sebagai negara dengan ketergantungan besar pada impor minyak dan gas, fluktuasi di Teluk langsung terasa di dompet rakyat. Ketika Trump berbicara tentang menjaga pasar energi dan jalur maritim, kita mendengarnya dengan penuh perhatian. Harga minyak yang stabil adalah nafas bagi ekonomi kita, dari biaya BBM di SPBU hingga ongkos angkut beras di pasar. Namun, di balik janji stabilitas ini, ada risiko yang mengintai. Mengapa? Karena perubahan fokus AS ke Teluk, sambil mengesampingkan Israel, bisa memicu ketegangan baru yang justru mengguncang keseimbangan kawasan.

Bayangkan ini: Israel, sekutu setia AS selama puluhan tahun, kini merasa tersisih. Laporan menyebutkan bahwa Trump tidak hanya melewatkan Israel dalam tur Teluk-nya, tapi juga membuat keputusan besar tanpa koordinasi dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Salah satunya adalah pertemuan Trump dengan Ahmad al-Sharaa, pemimpin de facto Suriah yang memiliki sejarah terkait Al-Qaeda, dan pencabutan sanksi AS terhadap Damaskus. Trump menyebut al-Sharaa “orang tangguh dengan masa lalu kuat,” dan ingin “memberi mereka kesempatan dengan kehebatannya.” Bagi Israel, ini seperti tamparan. Netanyahu menyebut al-Sharaa “jihadis” dan memperingatkan normalisasi dengan Suriah sebagai ancaman. Ketegangan ini bukan sekadar drama diplomatik; ini bisa memicu aksi militer Israel di Suriah, yang berpotensi menyulut konflik lebih luas.

Dari Jakarta, kita bisa merasakan betapa rapuhnya situasi ini. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, memiliki sensitivitas tinggi terhadap dinamika Timur Tengah, terutama isu-isu yang menyentuh sentimen keagamaan atau keamanan. Jika Israel meningkatkan serangan di Suriah sebagai respons, atau jika normalisasi dengan al-Sharaa memicu kebangkitan kelompok ekstremis, gelombangnya bisa sampai ke kita—bukan hanya melalui harga minyak, tapi juga melalui narasi radikalisme yang kerap memanfaatkan konflik Timur Tengah untuk merekrut simpati. Kita pernah melihat bagaimana krisis di kawasan itu memengaruhi dinamika lokal, dari protes massa hingga polarisasi sosial.

Namun, mari kita tarik napas sejenak dan refleksikan: apa yang sebenarnya diincar Trump? Laporan menjelaskan bahwa pendekatannya adalah pragmatisme transaksional—mengutamakan keuntungan nyata ketimbang idealisme demokrasi. Teluk, dengan dana kekayaannya, adalah mitra yang menjanjikan hasil cepat: investasi miliaran dolar, proyek teknologi, dan stabilitas energi. Ini berbeda dengan Israel, yang meskipun kuat secara militer dan teknologi, sering kali terjebak dalam isu-isu kompleks seperti konflik Palestina atau ketegangan dengan Iran. Trump tampaknya ingin bermain di lapangan yang lebih sederhana, di mana kesepakatan bisa dicapai tanpa terlalu banyak syarat. Tapi, benarkah sesederhana itu? Bisakah AS benar-benar memperkuat cengkeramannya di Timur Tengah tanpa menjaga keseimbangan dengan Israel?

Pergeseran ini juga menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan kekuatan global. Laporan menyebutkan bahwa Teluk kini dilihat sebagai “medan pertempuran berikutnya” dalam rivalitas dengan Tiongkok. Ini relevan bagi Indonesia, yang terjebak dalam persaingan AS-Tiongkok di Indo-Pasifik. Kita tahu betul bagaimana investasi Tiongkok di infrastruktur kita—dari pelabuhan hingga kereta cepat—membawa manfaat sekaligus ketegangan. Jika AS memperkuat Teluk untuk melawan Tiongkok, apakah ini berarti kawasan kita juga akan terdampak? Mungkin melalui persaingan energi atau teknologi yang semakin sengit? Kita harus bertanya: apakah kita siap menghadapi riak dari permainan besar ini?

Kembali ke Timur Tengah, keputusan Trump untuk mendekati Suriah menambah lapisan kerumitan. Normalisasi dengan al-Sharaa, meskipun bertujuan membuka peluang baru, berisiko memicu ketidakstabilan jika tidak dikelola dengan hati-hati. Laporan menyoroti kekhawatiran Israel bahwa kepemimpinan Suriah yang baru bisa memperkuat kelompok-kelompok ekstremis. Dari perspektif Indonesia, kita paham bahaya ini. Pengalaman kita melawan terorisme pasca-Bali 2002 mengajarkan bahwa ketidakstabilan di Timur Tengah bisa menjadi bahan bakar bagi narasi ekstrem di dalam negeri. Jika Suriah kembali menjadi sarang konflik, dampaknya tak hanya dirasakan di Damaskus, tapi juga di jalan-jalan Jakarta atau Surabaya.

Lalu, ada soal Israel. Itamar Rabinovich, mantan duta besar Israel untuk AS, mengatakan bahwa Trump “kurang tertarik” bekerja dengan Netanyahu, terutama soal perang di Gaza, karena merasa “tak ada gunanya.” Ini mencerminkan pendekatan Trump yang ingin hasil cepat, sementara konflik seperti Gaza terlalu pelik dan berlarut-larut. Tapi, mengesampingkan Israel bukan tanpa konsekuensi. Israel tetap kekuatan militer utama di kawasan, dan ketegangan dengan AS bisa mendorong mereka bertindak sendiri, seperti yang sudah sering terjadi di Suriah atau Lebanon. Ini seperti membiarkan bara api menyala di samping tumpukan kayu kering—bahaya eskalasi selalu ada.

Di Indonesia, kita sering melihat Timur Tengah sebagai cermin emosi kolektif kita, terutama soal Palestina. Ketika Trump mengurangi sentralitas Israel, ada sebagian dari kita yang mungkin merasa ini langkah positif—sebuah sinyal bahwa AS tak lagi “memihak” secara buta. Tapi, realitasnya lebih rumit. Mengabaikan Israel tanpa menyelesaikan isu Palestina bisa membuat proses perdamaian macet, dan ini berdampak pada sentimen di sini, di mana isu Palestina sering memicu demonstrasi besar. Kita harus bertanya: apakah pendekatan Trump ini benar-benar membawa keseimbangan, atau justru menciptakan ketidakpastian baru?

Pada akhirnya, strategi Trump adalah taruhan besar. Dengan memilih Teluk sebagai pusat baru, ia berupaya memperkuat pengaruh AS melalui ekonomi dan teknologi, tapi ia juga mengambil risiko mengguncang keseimbangan kawasan. Dari Indonesia, kita menyaksikan ini dengan campur aduk: harapan akan stabilitas energi, tapi juga kekhawatiran akan konflik yang bisa meluber hingga ke sini. Kita diajak untuk merenung—apakah “era keemasan” yang dijanjikan Trump akan membawa kemakmuran sejati, atau justru menabur benih ketidakstabilan baru? Hanya waktu yang akan menjawab, tapi satu hal pasti: dunia, termasuk kita, tak bisa hanya jadi penonton.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *