Opini
Trump Panik, Dunia Terseret: Ketika Harga Minyak Menjadi Hantu Politik

Senin pagi, 23 Juni 2025. Dunia belum benar-benar membuka mata ketika Donald Trump, Presiden Amerika Serikat yang kembali menjabat, memposting pesan yang terdengar seperti teriakan dari ruang kendali yang kehilangan arah:
“EVERYONE, KEEP OIL PRICES DOWN. I’M WATCHING! YOU’RE PLAYING RIGHT INTO THE HANDS OF THE ENEMY. DON’T DO IT!” (Semua Pihak, Jaga Harga Minyak Tetap Rendah. Saya Mengawasi! Kalian Sedang Bermain Di Tangan Musuh. Jangan Lakukan Itu!)
Pesan itu, ditulis penuh huruf kapital dan diwarnai dengan serangkaian tanda seru, menggema di platform Truth Social. Tapi ini bukan pernyataan percaya diri seorang pemimpin dunia. Ini adalah teriakan panik, pesan dari seorang presiden yang baru menyadari bahwa serangan militer yang ia perintahkan semalam telah membuka pintu krisis yang tidak bisa ia tutup sendiri.
Beberapa jam sebelumnya, AS meluncurkan rudal ke beberapa fasilitas nuklir Iran. Gedung Putih mengklaim bahwa serangan itu menghancurkan “situs utama” program nuklir Iran. Namun, laporan dari Badan Energi Atom Internasional menunjukkan sebaliknya—kerusakan hanya bersifat minor di Fordo. Tak ada keberhasilan militer yang bisa dibanggakan. Yang muncul justru efek domino: ketegangan geopolitik, kecemasan pasar, dan—yang paling ditakuti Trump—lonjakan harga minyak.
Brent crude, patokan minyak internasional, melonjak tajam ke $81,40 per barel pada Minggu malam, level tertinggi dalam lima bulan, sebelum turun ke $76,30. Di AS, harga bensin di pompa-pompa mulai naik. Di belahan dunia lain, termasuk Indonesia, kecemasan meningkat: akankah ini seperti tahun 2022, ketika kenaikan harga BBM memicu protes sosial?
Trump tahu, dalam tahun politik seperti sekarang, bensin lebih penting dari bom. Ia menyadari bahwa harga di bawah $3 per galon adalah fondasi elektabilitasnya. Ketika harga naik, rasa aman publik terancam, dan popularitas ikut terguncang. Tak heran jika ia memilih untuk memohon—bukan memerintah.
Dalam kepanikannya, Trump mulai mengambil langkah-langkah yang mencerminkan keputusasaan. Ia menghubungi siapa saja yang bisa menahan harga minyak agar tak meledak: China, OPEC+, bahkan perusahaan minyak domestik. Ia menyerukan “DRILL, BABY, DRILL!” kepada Departemen Energi, seolah AS bisa secara instan menambah produksi minyak dan meredam pasar. Padahal kenyataannya, produksi energi AS dikendalikan oleh korporasi swasta, bukan presiden.
Lalu, dalam manuver yang sangat bertolak belakang dengan retorika anti-Beijing yang ia suarakan bertahun-tahun, Trump justru merayu China. Sekretaris Negara AS, Marco Rubio, dalam wawancaranya di Fox News, mendesak Beijing menekan Iran agar tidak menutup Selat Hormuz. Rubio memperingatkan bahwa penutupan selat akan menjadi “bunuh diri ekonomi” bagi Iran, dan merugikan China yang sangat tergantung pada minyak Teluk.
Tapi tanggapan China justru menampar balik. Global Times menyebut Amerika “mendestabilisasi kawasan,” dan menyerukan gencatan senjata segera. Dunia melihat ironi itu: Trump membakar rumah, lalu meminta tetangga yang tak disukai untuk membawakan air.
Di balik segala kekacauan itu, satu kata mengikat semuanya: ketakutan. Trump tahu bahwa dunia kini berada di ujung tanduk, bukan karena respons Iran, tetapi karena dampak ekonomi dari pilihannya sendiri. Ketika Iran mengisyaratkan kemungkinan menutup Selat Hormuz—jalur penting 20% ekspor minyak dunia—Trump langsung kehilangan keseimbangan narasi. Ia tak lagi bicara soal “menghentikan program nuklir Iran,” melainkan soal harga bensin dan inflasi.
Ancaman itu bukan tanpa dasar. Menurut CNN, jika Selat Hormuz ditutup, harga bensin di AS bisa naik 75 sen per galon—setara Rp11.250 per liter. Di Indonesia, Pertamax bisa tembus Rp20.000 per liter, Pertalite ikut naik, dan APBN pun terancam terbakar. Kenaikan BBM akan menjalar cepat: ongkos logistik melonjak, harga beras merangkak naik, dan kerentanan sosial kembali membayang.
Namun, seperti dikatakan analis energi Vandana Hari, Iran juga akan terluka jika menutup selat itu. Jalur yang sama digunakan Iran untuk mengekspor minyaknya ke China, pembeli terbesar mereka (1,8 juta barel per hari). Penutupan selat akan seperti memotong urat nadi ekonomi sendiri, sebuah langkah yang bahkan para pemimpin paling radikal di Teheran pun akan pikirkan berkali-kali.
Sementara itu, pasar energi menunjukkan kecemasan nyata. Dua kapal tanker—Coswisdom Lake dan South Loyalty—dilaporkan berputar balik di Selat Hormuz, mencerminkan ketakutan operator terhadap potensi serangan. Brent crude dan WTI bergerak liar di pasar. Bahkan dengan jaminan dari cadangan strategis, harga tetap naik-turun, dan ketidakpastian merajalela.
Trump makin kehilangan kendali. OPEC+ tidak menanggapi dengan ramah. Arab Saudi menyatakan “keprihatinan besar,” Qatar memperingatkan “dampak bencana,” dan Rusia, mitra Iran di OPEC+, diam tanpa ekspresi. Dunia energi tidak menjawab seruan Trump. Ia berteriak di tengah badai, tapi angin tak mendengarnya.
Di dalam negeri, para analis mulai meramalkan inflasi dalam 90 hari ke depan. Joe Brusuelas dari RSM memperingatkan bahwa meski harga minyak bisa stabil dalam jangka menengah, guncangan saat ini bisa memicu inflasi cepat, apalagi dengan kebijakan tarif Trump sendiri yang tak kunjung berubah.
Di Indonesia, Menteri Keuangan mulai bicara soal kemungkinan realokasi subsidi energi. Pemerintah mencoba menenangkan publik, tapi tahu bahwa anggaran bisa terguncang. BBM naik, maka harga pangan ikut naik. Dan seperti biasa, rakyat kecil yang paling dulu merasakannya.
Tulisan ini bukan tentang Iran. Bukan pula tentang minyak. Ini tentang seorang pemimpin yang menciptakan krisis dan kemudian terkejut oleh besarnya gelombang yang ia timbulkan sendiri. Dalam waktu kurang dari 24 jam, Trump berubah dari penyerang menjadi pemohon: menyerang Iran dengan rudal, lalu memohon dunia untuk menjaga harga agar tidak melonjak.
Ia memulai dengan keberanian yang dibungkus kesombongan. Tapi saat pasar bergejolak, diplomasi pun berubah menjadi permintaan tolong yang putus asa. Dari seruan kepada China, panggilan ke Saudi, desakan ke perusahaan minyak domestik—semuanya mencerminkan Trump yang panik, bukan Trump yang memimpin.
Dan dunia? Dunia terpaksa ikut menahan napas. Dari supir truk di Texas hingga pengemudi ojek online di Jakarta, dari produsen logistik di Makassar hingga menteri keuangan di Brasilia—semua sedang menunggu apakah harga BBM akan jadi mimpi buruk yang baru. Karena satu keputusan gegabah, satu ledakan rudal, satu momen politik yang keliru, bisa membuat kita semua membayar lebih di pom bensin esok pagi.
Kepanikan Trump adalah cermin dari dunia yang terlalu bergantung pada ego satu orang. Dunia yang bisa terguncang bukan oleh bom, tapi oleh harga bensin. Serangan militer bisa memulai drama, tapi ketakutan akan inflasi yang menentukan akhirnya.
Trump kini mungkin sedang belajar bahwa kekuatan bukan diukur dari seberapa besar rudal yang bisa ditembakkan, tapi seberapa besar krisis yang bisa dihindari. Dan jika ia tak belajar sekarang, maka bukan hanya dirinya yang akan tenggelam. Kita semua mungkin ikut terseret oleh pusaran paniknya.
Sumber:
- https://www.ft.com/content/67430fac-2d47-4b3b-9928-920ec640638a
- https://edition.cnn.com/2025/06/22/business/oil-prices-iran-strikes
- https://www.nbcnews.com/business/markets/oil-prices-after-us-strikes-iran-world-awaits-response-rcna214453
- https://www.cnbc.com/2025/06/23/trump-oil-prices-iran-israel.html
- https://www.bbc.com/news/articles/c056pyv723vo