Opini
Trump Menjauh, Israel Gelisah

Ketika Presiden AS Donald Trump melawat ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar tanpa singgah di Tel Aviv, dunia menahan napas. Laporan The Atlantic pada 26 Mei 2025 menangkap atmosfer tersebut: guncangan geopolitik yang membuat Israel gelisah. Sekutu setia AS selama puluhan tahun itu merasa dipinggirkan. Apakah ini pertanda perubahan arah? Bukan sekadar urusan protokol diplomatik, tapi juga persoalan emosi kolektif: ketakutan bahwa aliansi yang dulu kukuh mulai retak.
Trump menyebut lawatannya “baik untuk Israel” karena mendorong normalisasi hubungan Arab-Israel. Namun, dari sudut pandang Tel Aviv, sinyal ini tidak meyakinkan. Pemerintahan Netanyahu, yang selama ini mengandalkan bantuan militer AS sebesar $3,8 miliar per tahun (data hingga 2023), mencemaskan arah baru Washington yang tampak lebih otonom. Terlebih lagi, negosiasi tidak langsung AS dengan Iran terkait program nuklir—seperti dilaporkan The Atlantic—menjadi mimpi buruk tersendiri. Bagi Israel, Iran adalah ancaman eksistensial, apalagi dengan dukungan terhadap kelompok proksi seperti Hizbullah. Potensi pelonggaran sanksi terhadap Teheran memunculkan kekhawatiran: bagaimana jika musuh bebuyutan mereka bangkit kembali?
Kekhawatiran itu kian memuncak saat Trump mengambil langkah berani di Suriah. Pertemuan dengan Ahmad al-Sharaa, pemimpin baru negara itu, dan pencabutan sanksi terhadap Damaskus memicu alarm di Tel Aviv. The Atlantic mencatat bahwa Israel memandang al-Sharaa—yang pernah terkait dengan kelompok al-Qaeda—sebagai figur berbahaya. Sejak 2017, Israel telah melancarkan lebih dari 200 serangan udara ke wilayah Suriah (Reuters), upaya yang menunjukkan betapa seriusnya mereka menjaga kawasan perbatasan Golan. Kini, langkah AS dipersepsikan bukan sebagai dorongan stabilitas, melainkan sebagai tanda ditinggalkannya sekutu di tengah badai. Bukankah seharusnya sekutu melangkah bersama?
Ketegangan juga mencuat di Gaza. Saat Israel meningkatkan serangan militer, Trump justru menyerukan gencatan senjata. Sikap ini, menurut The Atlantic, membuat dukungan militer AS terhadap Israel terasa melemah. Di Indonesia, isu Gaza selalu menggema. Aksi demonstrasi dari Monas hingga depan Kedutaan Besar AS di Jakarta mencerminkan solidaritas kuat terhadap rakyat Palestina. Bagi publik Indonesia, seruan Trump bisa dibaca sebagai langkah kemanusiaan. Namun, di mata Israel, itu bisa berarti pengkhianatan halus. Bagaimana mungkin sekutu utama justru mengubah nada di saat krisis?
Kekecewaan semakin dalam saat AS membebaskan Edan Alexander—warga Israel-Amerika—tanpa melibatkan Tel Aviv. The Atlantic menyebut ini sebagai tamparan diplomatik bagi Netanyahu, yang sudah dikritik keras karena gagal membebaskan tawanan lainnya. Bayangkan jika Indonesia memiliki sekutu yang tiba-tiba mengambil alih isu sensitif seperti tawanan Papua tanpa koordinasi; harga diri nasional tentu akan terusik. Hal yang sama kini dirasakan Israel. Apakah AS menganggap Tel Aviv tak cukup kompeten menangani urusannya sendiri?
Situasi makin kompleks dengan keterlibatan Yaman. Setelah Ansarullah meluncurkan serangan ke bandara di Israel, AS menginisiasi perundingan gencatan senjata—lagi-lagi tanpa melibatkan Tel Aviv. Ini menegaskan persepsi bahwa keamanan Israel bukan lagi prioritas utama Washington. Di Indonesia, dampaknya juga terasa. Lonjakan harga minyak akibat instabilitas kawasan membuat BBM di SPBU Jakarta naik, pengingat bahwa konflik di Timur Tengah berdampak global. Israel merasa diabaikan, seolah stabilitas kawasan lebih penting ketimbang kepentingan sang sekutu lama.
Semua ini, menurut The Atlantic, merupakan bagian dari tren yang lebih besar: AS di bawah Trump perlahan mundur dari peran asertif yang selama ini diandalkan Israel. Di masa pemerintahan Biden, kehadiran militer AS masih cukup kuat—pangkalan tetap berdiri di Suriah, dan dukungan terhadap operasi militer Israel berlangsung konsisten. Kini, dengan pengurangan pasukan AS di Suriah (tren yang disebut Al Jazeera sejak 2024), Tel Aviv harus menyesuaikan diri dengan realitas baru. Bukan kehilangan sekutu, tapi kehilangan rasa aman karena berjalan sendirian di kawasan yang terus berubah. Mungkin ini saatnya beradaptasi.
Di Indonesia, dinamika ini mudah dipahami. Pernyataan Kementerian Luar Negeri RI (Kompas, 2024) yang konsisten menyerukan solusi damai bagi Palestina mencerminkan identitas kita sebagai bangsa penutur perdamaian. Jika Trump mampu mendorong normalisasi tanpa mengabaikan isu Palestina, harapan dialog tetap terbuka. Namun, jika Israel bertindak gegabah—misalnya melancarkan serangan ke Iran—seluruh kawasan bisa runtuh dalam kekacauan. Iran, melalui Hizbullah, dapat membalas. Harga minyak bisa melonjak tajam, seperti yang terjadi pada krisis energi 1973 (World Bank). Dampaknya akan dirasakan hingga ke perekonomian rumah tangga Indonesia.
Semua ini menggugah pertanyaan yang lebih dalam: sampai kapan Israel dapat bertahan dengan pendekatan konfrontatif? Trump tampaknya ingin menciptakan Timur Tengah yang lebih stabil, melalui normalisasi dan intervensi minimal. Di sisi lain, Israel mendambakan jaminan militer seperti di masa Biden. Ketidakharmonisan ini bukan sekadar soal kebijakan, tetapi soal kepercayaan. Di Indonesia, kita mengerti pentingnya menjaga keseimbangan—antara prinsip kemanusiaan dan kepentingan strategis. Bila Israel memutuskan menyerang Iran, visi Trump tentang Timur Tengah yang damai bisa hancur berantakan. Dan dunia—termasuk Indonesia—akan ikut membayar harganya.
Pada akhirnya, saya berpendapat bahwa pendekatan Trump, meski logis untuk kepentingan jangka pendek AS, tetap membutuhkan keseimbangan antara kepentingan baru dan loyalitas terhadap sekutu lamanya. Tanpa koordinasi yang erat, jurang ketegangan bisa berubah menjadi eskalasi terbuka yang merugikan semua pihak. Di Indonesia, kita memahami bahwa perdamaian bukan soal keberanian menyerang, melainkan kebesaran hati untuk mundur selangkah. Pertanyaannya: siapa yang akan lebih dulu mengambil langkah itu demi stabilitas? Atau, akankah kita hanya menjadi saksi ketika kawasan ini kembali terbakar?