Connect with us

Opini

Trump Main Api di Iran: Siapa yang Akan Terbakar?

Published

on

Di Gedung Putih, pada malam yang dingin di akhir Juni 2025, Donald Trump berdiri di hadapan bangsa Amerika, mengumumkan serangan militer mengejutkan terhadap tiga fasilitas nuklir Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan. Dengan nada penuh keyakinan, ia menyatakan bahwa operasi tersebut telah “menghancurkan total” ambisi nuklir Iran, menyebutnya sebagai pukulan telak terhadap “pengganggu Timur Tengah.” Namun di balik retorika kemenangan itu, muncul pertanyaan tajam: apakah ini awal dari perdamaian, seperti yang diklaim Trump, atau justru bara baru yang siap membakar kawasan dan mengguncang dunia?

Laporan Associated Press (AP) menyebut langkah ini sebagai “taruhan besar”—sebuah langkah berani yang bertolak belakang dengan janji Trump sendiri untuk menjauhkan Amerika dari “perang-perang bodoh.” Kekhawatiran itu meluas, tak hanya di AS, tapi juga jauh hingga ke Indonesia, di mana stabilitas harga energi dan ekonomi bergantung pada ketenangan di kawasan Teluk Persia. Di tengah ketidakpastian global, langkah ini mengguncang rasa aman kolektif dunia.

Serangan itu dilancarkan pada dini hari 22 Juni 2025. Bom bunker-buster seberat 30.000 pon dijatuhkan dari pesawat B-2, disusul rudal Tomahawk yang diluncurkan dari kapal selam AS. Targetnya jelas: jantung program nuklir Iran. Trump, mengenakan topi khas “Make America Great Again” di Ruang Situasi Gedung Putih, memantau langsung operasi itu bersama tim keamanan nasionalnya. Di layar, kilatan cahaya menyala di Timur Tengah, dan di mulut Trump, kata-kata penuh kemenangan menggema.

Namun euforia itu segera diimbangi oleh kabar lapangan yang tak seindah narasi resmi. Pejabat Iran mengklaim kerusakan di Fordow “minimal,” sementara Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tidak mendeteksi adanya radiasi di luar lokasi—indikasi bahwa material nuklir tidak bocor dan mungkin tetap aman. Ketidakjelasan ini memperkuat dugaan bahwa hasil operasi tak setuntas yang digembar-gemborkan. Seperti yang digarisbawahi AP, ini bukan kemenangan mutlak, melainkan risiko terbuka yang bisa menjalar ke berbagai arah.

Dampaknya tak bisa diabaikan. Di Indonesia, kegelisahan mulai tumbuh. Bayangan akan krisis energi tahun 1970-an membayang, ketika lonjakan harga minyak dunia mengguncang ekonomi nasional. Kini, situasi serupa menghantui: jika eskalasi berlanjut, apakah kita siap menghadapi dampak ekonomi yang menghantam langsung ke dapur rumah tangga—dari harga BBM hingga ongkos produksi?

Ketegangan kian memuncak setelah Trump menyampaikan ancaman pribadi terhadap Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Dalam unggahan media sosialnya, ia menulis, “Kami tahu persis di mana ‘Pemimpin Tertinggi’ bersembunyi. Dia target mudah, tapi aman—untuk saat ini.” Ucapan itu bukan sekadar gertakan, melainkan serangan langsung terhadap simbol eksistensial Republik Islam Iran. Ini memicu respons keras. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, memperingatkan bahwa “semua opsi kini terbuka,” dan beberapa hari kemudian rudal balasan menghantam wilayah Israel, melukai puluhan orang. Bagi banyak pengamat, ini adalah bukti bahwa Iran tak akan tinggal diam.

Efek domino pun mulai dipetakan. Di Jakarta, para analis ekonomi dan energi memperkirakan kemungkinan penutupan Selat Hormuz, jalur laut strategis tempat sekitar 20% pasokan minyak dunia mengalir. Jika jalur itu terganggu, harga energi global bisa melonjak drastis. Indonesia, yang sebagian besar masih bergantung pada impor energi, tentu akan merasakan dampaknya secara langsung. Kenaikan harga minyak akan memukul APBN, memicu inflasi, dan memperburuk daya beli masyarakat. Situasi ini, seperti menyiram bensin ke bara yang sudah menyala.

Wakil Presiden AS, JD Vance, mencoba meredam eskalasi. Dalam wawancara dengan NBC News pada hari yang sama dengan serangan, ia menyatakan bahwa “AS tidak sedang berperang dengan Iran, tetapi hanya menargetkan program nuklirnya.” Namun, pernyataannya terasa hati-hati, bahkan cenderung defensif. Ia tak mendukung klaim Trump soal kehancuran total fasilitas nuklir, melainkan mengatakan serangan itu hanya “secara substansial menunda” program Iran. Ketika ditanya apakah Fordow benar-benar hancur, ia menjawab: “Rusak parah atau hancur—saya tak yakin apa bedanya.”

Pernyataan Vance memperjelas adanya ketidaksinkronan dalam pemerintahan AS. Di satu sisi, Trump tampil dengan narasi bombastis penuh kemenangan. Di sisi lain, wakilnya tampil ragu-ragu dan konservatif. Bagi publik internasional, termasuk di Indonesia yang sudah kenyang dengan janji-janji politik yang sering tak sejalan dengan realitas, ketidaksamaan sikap ini justru menambah kecemasan: bagaimana mungkin publik percaya pada keberhasilan misi, jika pemerintahannya sendiri tak satu suara?

Kritik dari dalam negeri AS pun bermunculan. Sejumlah anggota DPR, seperti Thomas Massie dan Ro Khanna, menilai bahwa serangan tanpa izin Kongres ini inkonstitusional. Beberapa bahkan menyebutnya layak dijadikan dasar pemakzulan. Ironisnya, Trump sebelumnya mengecam para pendahulunya karena terlalu mudah menyeret Amerika ke konflik Timur Tengah. Kini, ia justru mengulang pola yang dulu ia hina—bahkan dengan ancaman yang lebih eksplosif. Bagi Indonesia, ini bukan hal asing. Kita tahu bagaimana keputusan politik yang tergesa bisa membelah opini publik—seperti kontroversi Omnibus Law yang memicu gelombang protes di seluruh penjuru negeri.

Di balik semua ini, risiko strategisnya sangat nyata. Serangan AS dikabarkan terjadi setelah Israel terlebih dahulu melumpuhkan sebagian sistem pertahanan udara Iran. Namun serangan militer tak bisa menghapus pengetahuan. Para ilmuwan Iran tetap ada, data tetap tersimpan, dan tekad mereka justru bisa kian mengeras. Jika Iran merespons dengan mempercepat programnya, atau bahkan menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), dunia akan menghadapi mimpi buruk baru: krisis nuklir yang nyaris tak bisa dikendalikan.

Ancaman Iran terhadap pangkalan militer AS di kawasan juga tak bisa diabaikan. Penutupan Selat Hormuz bukan mustahil terjadi, meski Vance menyebut langkah itu sebagai “bunuh diri ekonomi.” Tetapi logika rasional sering kali tak berlaku dalam konflik eksistensial. Jika Iran merasa kedaulatannya diinjak, ia mungkin akan bertindak nekat. Di sisi lain, negara-negara besar seperti Rusia dan China sudah mengecam serangan AS dan bisa memperkuat posisi Iran, mempersulit jalur diplomasi.

Bagi Indonesia, yang terletak jauh dari medan konflik tapi sangat bergantung pada stabilitas perdagangan dan energi global, risiko ini amat nyata. Seperti halnya dampak dari perang Ukraina yang membuat harga pangan melambung dan pupuk langka, konflik ini bisa menimbulkan efek riak yang menghantam fondasi ekonomi kita. Mulai dari nilai tukar hingga harga minyak goreng, semua bisa terpengaruh.

Laporan AP juga mengungkap bahwa sebenarnya Trump sempat menahan Israel dari menyerang Iran pada April dan Mei 2025. Ia mengklaim sedang menjajaki jalur diplomasi. Tapi nyatanya, tekanan dari internal Partai Republik dan dari Israel sendiri membuatnya beralih ke opsi militer. Ketika serangan diluncurkan dan ancaman terhadap Khamenei diumumkan, pintu diplomasi pun tertutup rapat. Dalam konteks Indonesia, ini mengingatkan kita pada betapa rapuhnya proses negosiasi ketika tekanan politik dalam negeri lebih mendominasi daripada komitmen jangka panjang—seperti yang terjadi dalam tarik ulur kasus Freeport, atau konflik agraria yang kerap tak menemui titik temu.

Kata “taruhan besar” dari AP bukan sekadar retorika. Ini adalah realitas yang kita hadapi bersama. Trump, dengan langkah agresifnya, mungkin ingin tampil sebagai pahlawan di dalam negeri. Namun jika yang terjadi justru perlawanan terbuka dari Iran, meluasnya konflik regional, dan terganggunya stabilitas global, maka ia bukan hanya mempertaruhkan warisan politiknya—tetapi juga masa depan banyak bangsa. Termasuk kita.

Kini dunia menahan napas. Di satu sisi, Vance berbicara soal perdamaian. Di sisi lain, Trump mengancam pemimpin tertinggi sebuah negara. Kontradiksi ini menciptakan ketidakpastian. Dan di tengah ketidakpastian itulah, rakyat biasa menanggung beban paling berat. Di Indonesia, kita mengenal peribahasa: “Main api, akhirnya terbakar.” Pertanyaannya, siapa yang akan paling menderita dari api yang telah dinyalakan ini? Iran? Amerika? Atau kita semua yang hidup dalam dunia yang kini semakin mudah meledak?

Hanya waktu yang bisa menjawab. Tapi satu hal yang pasti: saat pemimpin dunia bermain api, yang terbakar bukan hanya mereka. Kadang, apinya sampai ke dapur kita.

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *