Opini
Trump, Israel, dan Bayangan Perang Baru: Eskalasi atau Gertakan Strategis?

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tengah mempertimbangkan langkah yang bisa menjadi titik balik sejarah: menyerang fasilitas nuklir Iran bersama Israel. Ketegangan ini memuncak di hari keenam konflik bersenjata antara dua kekuatan regional utama—Israel dan Iran. Di tengah retorika yang membakar dari para pemimpin dunia, dunia menyaksikan potensi pecahnya perang terbuka yang tidak lagi bisa dibendung.
Sejak awal, keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik ini telah dipenuhi ambiguitas. Trump sendiri berada di bawah tekanan yang tidak kecil, baik dari dalam maupun luar negeri. Di satu sisi, ia baru saja menandatangani komunike bersama negara-negara G7 yang menyerukan de-eskalasi dan penyelesaian diplomatik. Namun di sisi lain, pernyataan-pernyataannya di platform media sosial miliknya, Truth Social, justru bernada konfrontatif.
Dalam unggahan terbaru, Trump menyebut Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, sebagai “target mudah” dan mengancam akan menyerangnya secara langsung. “Kami tahu di mana dia bersembunyi,” tulisnya. Meskipun kemudian menyatakan belum akan “menghabisinya,” retorika ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai indikasi Trump tengah mendekati batas yang memisahkan tekanan diplomatik dan provokasi militer. Professor Amnon Aran, pakar hubungan internasional dari City University London, menilai pernyataan Trump sebagai “bahaya diplomatik.”
Iran tentu tidak tinggal diam. Dalam pidato nasional pada 18 Juni, Ayatollah Khamenei menegaskan bahwa Iran “tidak akan pernah menyerah,” baik dalam kondisi perang maupun damai yang dipaksakan. Sikap keras ini diperkuat oleh Duta Besar Iran untuk PBB, Ali Bahreini, yang memperingatkan bahwa jika Amerika Serikat turut terlibat secara langsung, maka “respons Iran akan keras, menyeluruh, dan tidak akan terkendali.”
Tuduhan bahwa Amerika Serikat telah terlibat sejak hari pertama juga mencuat. Hal ini mengacu pada fakta bahwa pasukan AS dilaporkan turut mencegat beberapa rudal balistik yang diluncurkan Iran ke wilayah Israel. Bahreini menyebut ini sebagai bentuk “koalisi agresor” dan menyampaikan bahwa keterlibatan lebih lanjut dari AS hanya akan memperluas cakupan perang.
Dari sisi militer, Iran telah menunjukkan kapasitas responsif yang serius. Ancaman untuk menutup Selat Hormuz—jalur vital perdagangan minyak global—adalah pesan jelas bahwa perang tidak akan terbatas di daratan Iran. Iran juga telah menyiapkan serangkaian rudal jarak jauh dan telah meningkatkan kesiagaan di wilayah-wilayah seperti Irak dan Suriah, tempat pangkalan-pangkalan AS berada.
Sementara itu, Israel bergerak tanpa ragu. Di bawah komando Benjamin Netanyahu, lebih dari 50 jet tempur dilaporkan menggempur sejumlah fasilitas penting Iran, termasuk pusat penelitian nuklir, fasilitas pengayaan uranium, dan bahkan universitas yang diduga memiliki keterkaitan dengan Garda Revolusi. Yang paling kontroversial adalah pernyataan Netanyahu yang secara terbuka menyebut opsi “penghilangan” Ayatollah Khamenei sebagai jalan untuk mengakhiri konflik. Pernyataan ini dianggap sebagai bentuk pembenaran atas serangan yang menyasar figur kepala negara dan melanggar hukum internasional.
Namun, ada kendala serius bagi Israel. Beberapa fasilitas nuklir Iran, seperti Fordow, berada di dalam bunker yang sangat dalam dan hanya dapat dihancurkan dengan senjata “bunker-buster” milik Amerika Serikat. Hal ini berarti Israel tetap membutuhkan dukungan militer aktif dari Washington—baik dalam bentuk persenjataan maupun logistik operasional. Ketergantungan inilah yang membuat sorotan kini tertuju pada keputusan Trump.
Situasi di dalam negeri Amerika Serikat sendiri tidak memberikan ruang yang lapang bagi keputusan agresif. Jajak pendapat terbaru yang dirilis Economist-YouGov menunjukkan mayoritas publik AS menolak intervensi langsung. Hanya 19% pendukung Trump yang menyetujui keterlibatan militer terhadap Iran. Bahkan di kalangan Partai Republik sekalipun, polarisasi cukup tajam. Hal ini menunjukkan bahwa setiap langkah Trump ke arah intervensi militer akan menghadapi resistensi politik yang kuat, terutama menjelang pemilu.
Langkah-langkah militer AS dalam beberapa hari terakhir menunjukkan adanya persiapan. Data pelacakan penerbangan menunjukkan pergerakan tidak biasa dari sekitar 30 pesawat militer, termasuk pesawat pengisi bahan bakar, dari wilayah AS menuju Eropa dan Timur Tengah. Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, mengumumkan penempatan “kapabilitas tambahan” di kawasan, namun menolak menyebutnya sebagai sinyal perang. Analis menyebut ini sebagai bagian dari strategi ambiguitas strategis—upaya untuk menekan Iran dengan kekuatan tanpa benar-benar melepaskan peluru pertama.
Namun, seperti dicatat banyak pakar, ambiguitas dalam konteks konflik sebesar ini justru berbahaya. Kesalahan kalkulasi bisa berujung pada konfrontasi terbuka. Iran telah menyatakan bahwa jika diserang oleh AS secara langsung, mereka tidak akan segan menyerang pangkalan AS di Irak, Suriah, dan bahkan di Teluk. Kelompok-kelompok seperti Hizbullah di Lebanon dan milisi Houthi di Yaman kemungkinan besar juga akan merespons, memperluas medan tempur menjadi konflik regional yang kompleks.
Di balik manuver dan retorika ini, pertanyaan utama tetap menggantung: apakah Trump benar-benar menginginkan perang, ataukah ini hanya upaya menekan Iran menjelang pemilu dengan menampilkan citra kepemimpinan kuat?
Trump sendiri terlihat inkonsisten. Di satu waktu, ia menyebut akan “mengakhiri Iran untuk selamanya,” namun di waktu lain membatalkan pidato penting dan memilih melakukan pembicaraan tertutup dengan Netanyahu. Dalam lingkaran dekatnya, tampak perpecahan. Direktur Intelijen Nasional, Tulsi Gabbard, dalam keterangan di Capitol Hill, menyatakan bahwa “Iran belum mencapai tahap senjata nuklir.” Namun, Trump tetap bersikeras bahwa Iran berada “sangat dekat” untuk membuat senjata pemusnah massal.
Pihak Iran tampaknya telah mengantisipasi segala kemungkinan. Selain meningkatkan kesiapan militer, Iran juga mulai memobilisasi opini publik domestik untuk menghadapi potensi agresi. Kendati beberapa ilmuwan senior dan komandan militer Iran gugur dalam serangan Israel, tidak ada tanda-tanda bahwa pemerintah Iran akan tunduk atau melakukan negosiasi di bawah tekanan. Fatwa Khamenei yang melarang produksi senjata nuklir memang bisa diubah jika situasi ekstrem menuntutnya—hal yang telah diperingatkan oleh banyak analis.
Kini, dunia berada di ujung tanduk. Risiko perang besar semakin dekat, dan kehadiran kekuatan global seperti AS di satu sisi dan Iran yang siap bertahan di sisi lain membuat kemungkinan eskalasi tidak bisa dikesampingkan. Serangan-serangan presisi yang diklaim Israel bisa memicu respons balasan yang tidak terkontrol. Dan jika Washington memutuskan untuk melangkah lebih jauh, bukan tidak mungkin sejarah akan mencatat fase baru dari konflik yang telah berlarut selama dekade.
Satu hal yang pasti: ini bukan sekadar pertarungan antara dua negara. Ini adalah benturan narasi, kepentingan, dan masa depan arsitektur keamanan global. Saat api kian menyala dan retorika tak lagi bisa diredam, dunia menunggu—apakah Trump akan menarik pelatuk, atau memilih kembali ke meja diplomasi yang sudah hampir ditinggalkan semua pihak.
Sumber: