Opini
Trump, Iran, dan Harga Gila dari Membela Israel Tanpa Batas

Musim panas 2025, dunia seperti menatap sebungkus permen yang menggoda—manis di lidah, namun berada tepat di ujung jurang. Permen itu bernama “dukungan penuh AS terhadap Israel,” dan jurang itu bernama perang dunia. Amerika Serikat, dengan mulut Presiden Donald Trump sebagai pengeras suaranya, mengancam akan bergabung bersama Israel menyerang Iran. Alasan mereka: membela sekutu. Namun yang dipertaruhkan bukan hanya satu negara, tapi masa depan seluruh umat manusia.
Apakah harga dari “membela Israel” sebanding dengan kemungkinan meletusnya Perang Dunia Ketiga?
Trump, dalam cuitan yang dikutip The Intercept, menulis dengan percaya diri: “Kami menguasai langit Iran sepenuhnya.” Kalimat yang tampaknya heroik itu, jika dicermati, adalah undangan terbuka menuju bencana. Di tengah dunia yang belum pulih dari luka pandemi, krisis iklim, dan instabilitas ekonomi, AS justru membuka pintu konflik baru. Serangan Israel ke fasilitas militer Iran, yang menewaskan ratusan warga sipil, menjadi pemantik. Dan kini, AS—alih-alih menahan diri—tampak siap menyalakan korek terakhir.
AS kerap menjual perang sebagai bentuk “perlindungan” terhadap demokrasi dan perdamaian. Tapi mari kita jujur: apakah membela Israel dalam situasi ini benar-benar menyelamatkan dunia, atau justru membakar seluruhnya?
Iran telah menunjukkan kemampuan balas serang yang nyata. 400 rudal dan ratusan drone mereka meluncur ke wilayah Israel, sebagian menembus sistem Iron Dome. Bukan gertakan, melainkan sinyal bahwa perang ini bukan permainan. Sementara itu, Presiden Trump mempertimbangkan keterlibatan militer langsung. Padahal, setiap langkah militer AS saat ini tak hanya akan memancing Iran, tapi juga membuka peluang intervensi dari Rusia, China, bahkan Korea Utara. Jika itu terjadi, maka perang regional bisa berubah menjadi konflik global yang mengerikan.
Lalu apa motif sebenarnya?
Kita tahu, dalam politik AS, Israel bukan sekadar sekutu. Ia telah menjadi semacam cermin ideologis bagi sebagian elite Washington: simbol ketangguhan, benteng anti-Iran, dan mitra strategis di Timur Tengah. Tapi hingga kapan pembelaan ini layak dilakukan membabi buta? Apakah seluruh dunia harus terbakar hanya demi mempertahankan keunggulan geopolitik satu negara? Kecuali memang hidup dan mati Amerika tergantung pada eksistensi Israel—yang tentu saja bukan realitas objektif.
Kita juga harus bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan jika perang ini meledak?
Bukan rakyat AS, yang akan melihat anak-anak mereka dikirim ke medan perang. Bukan negara-negara berkembang, yang akan menderita akibat kenaikan harga minyak dan pangan. Bukan rakyat Indonesia, yang BBM-nya sudah naik sejak ancaman di Selat Hormuz pertama mencuat. Yang diuntungkan hanyalah kontraktor militer, elit perang, dan politisi yang mencari panggung dalam api.
Serangan Israel ke Iran, yang diberi nama Operation Rising Lion, telah menewaskan 585 orang di Iran, termasuk ratusan warga sipil. Serangan ini bukan tindakan bertahan, melainkan provokasi terang-terangan. Tapi alih-alih menyerukan penghentian agresi, AS justru ikut mendukung, bahkan berpotensi menambah jumlah rudal yang terbang. Sementara itu, di Iran, publik bersatu. Ayatollah Khamenei, dalam pidatonya, menolak tunduk kepada tekanan. “Bangsa Iran bukan bangsa yang mudah menyerah,” katanya. Dan sejarah telah membuktikan: ketika ditekan, bangsa-bangsa seperti Iran tak mundur, melainkan melawan habis-habisan.
Jika ini berlanjut, kita tidak sedang bicara tentang perang terbatas. Rusia telah mengisyaratkan keberpihakan. China, sebagai mitra dagang dan pembeli minyak utama Iran, tak akan tinggal diam. Pakistan gelisah, dan Korea Utara bisa ikut bersuara melalui rudalnya. Ini bukan analisis paranoid, ini skenario logis yang tinggal menunggu pemicu selanjutnya. Perang global bukan lagi teori, tapi bayang-bayang yang semakin nyata.
Dan di tengah semua ini, suara rasional mulai terdengar. Kongres AS, dengan Resolusi War Powers-nya, mencoba menarik rem darurat. Anggota DPR seperti Ro Khanna, Thomas Massie, dan Summer Lee memperingatkan bahwa Trump tidak bisa dibiarkan bertindak sewenang-wenang. Mereka tahu sejarah: invasi Irak 2003 diawali dengan “niat baik”, namun berakhir dengan kehancuran. Triliunan dolar melayang, jutaan nyawa hilang, dan keamanan dunia justru makin rapuh. Kini, narasi yang sama mulai diulang—hanya saja dengan aktor dan latar yang berbeda.
Publik pun mulai muak. Di AS sendiri, basis pendukung Trump dari kalangan MAGA mulai mempertanyakan. Steve Bannon, yang biasanya keras terhadap Iran, memperingatkan bahwa negara dengan 90 juta penduduk dan peradaban kuno bukan musuh yang bisa dianggap remeh. “Ini bukan permainan,” katanya. Di Indonesia, suara keprihatinan juga semakin kencang. Ketika harga beras meroket, ongkos kirim melambung, dan pengangguran meningkat, rakyat bertanya-tanya: untuk apa semua ini?
Jawabannya sederhana: untuk sesuatu yang tidak kita perlukan.
Dunia tidak butuh perang baru. Dunia butuh stabilitas. Apakah dukungan membabi buta terhadap Israel sebanding dengan krisis global yang akan muncul? Apakah menjustifikasi agresi hanya karena pelakunya sekutu, layak dibayar dengan kehidupan anak-anak Gaza, rakyat Iran, dan prajurit AS yang bahkan belum lahir?
Yang kita butuhkan sekarang adalah de-eskalasi, bukan demonstrasi kekuatan. Jika AS benar-benar ingin menunjukkan kepemimpinan global, maka jalan terbaik bukan lewat misil, tapi lewat mediasi. Delegasi Eropa sudah dijadwalkan bertemu Iran di Jenewa. Rusia menawarkan diri sebagai mediator. Bahkan jika tawaran itu sinis atau tak tulus, tetap lebih baik daripada tidak ada upaya damai sama sekali.
Indonesia, sebagai negara yang pernah berperan dalam diplomasi multilateral dan anggota OKI, semestinya tidak diam. Kita punya kapasitas moral untuk mendorong mediasi dan menolak keterlibatan AS dalam perang yang tak perlu. Kita harus bersuara lantang: dunia tak boleh diseret ke neraka hanya demi obsesi geopolitik satu negara terhadap negara lain.
Trump sendiri mengatakan, “Minggu depan akan besar.” Pernyataan yang lebih terdengar seperti ancaman daripada harapan. Apakah yang besar itu akan berupa serangan rudal? Atau—dengan sedikit keberanian politik—diplomasi yang menyelamatkan dunia dari kehancuran?
Kita berdiri di tepi jurang. Permennya mungkin manis—tampil kuat, tampil tegas, tampil sebagai pembela sekutu. Tapi jurang di bawahnya gelap, dalam, dan penuh api. Kecuali AS bersedia berpikir jernih, dan dunia bersatu menolak logika perang, maka kita semua akan terjun ke sana bersama.
Dan ketika itu terjadi, pertanyaan terakhir yang akan tertinggal adalah: apakah semua ini sepadan dengan membela satu negara?
Sumber:
- https://english.almayadeen.net/news/politics/intercept–congress-moves-to-block-trump-from-launching-war
- https://apnews.com/article/israel-iran-missile-attacks-nuclear-news-tehran-trump-06-18-2025-c6c90028dc340e2716724412fcec2cf0
- https://apnews.com/article/trump-iran-nuclear-us-strike-israel-eeaad923bb2df019b05f31f2e11d486c