Connect with us

Opini

Tarif sebagai Senjata: Ketika Dunia Dipaksa Memilih antara BRICS dan Amerika

Published

on

Presiden Donald Trump kembali membuat dunia gelisah. Lewat unggahan di Truth Social, ia mengancam akan memberlakukan tarif tambahan sebesar 10% pada negara manapun yang mendukung kebijakan “anti-Amerika” dari kelompok BRICS. Ancaman ini datang di tengah tenggat batas 9 Juli yang kian dekat—tanggal di mana “surat tarif” mulai dikirim ke puluhan, bahkan ratusan negara. Tapi apa sebenarnya yang dianggap “anti-Amerika”? Trump tak menjelaskan. Dan itu justru membuatnya lebih mengkhawatirkan.

BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, memang bukan aliansi militer atau blok ideologis tertutup. Sejak awal ia tumbuh sebagai alternatif dari dominasi global Barat. Tahun ini, BRICS bahkan meluas ke Mesir, Ethiopia, Indonesia, Iran, dan Uni Emirat Arab. Sepuluh negara lain menyandang status mitra, termasuk Nigeria, Thailand, dan Vietnam. Dalam konteks inilah, ancaman Trump terhadap siapa pun yang “berada di pihak BRICS” jadi sangat sensitif.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Indonesia adalah satu dari negara yang kini masuk ke dalam orbit BRICS. Tidak secara ideologis, tapi sebagai bagian dari keinginan merancang ulang sistem global yang lebih adil. Dalam forum-forum internasional, Indonesia konsisten menyerukan multipolaritas—dunia yang tak sepenuhnya bergantung pada satu kutub kekuatan. Kini, dengan ancaman tarif dari AS, muncul pertanyaan: apakah Indonesia akan dipaksa memilih antara masa depan global yang inklusif atau tunduk pada tekanan hegemonik Washington?

Trump menyatakan, mulai 7 Juli, surat-surat tarif akan dikirim pukul 12 siang waktu Timur. Jika tak ada kemajuan dalam negosiasi, maka pada 1 Agustus, tarif akan kembali ke level sebelumnya—yang bisa berarti lonjakan signifikan. Beberapa negara bahkan disebut-sebut akan dikenakan tarif hingga 70%, meski Bessent, Menteri Keuangan AS, buru-buru menyangkal bahwa angka setinggi itu akan berlaku bagi mitra besar. Tapi keraguan dan ketakutan telah terlanjur menyebar.

Brasil, tuan rumah KTT BRICS tahun ini, menyuarakan keprihatinan atas “kenaikan tindakan-tindakan tarif sepihak” yang menjadi karakter kebijakan perdagangan AS. Pernyataan bersama BRICS itu tidak menyebutkan Trump secara eksplisit, namun sangat jelas mengacu pada gaya konfrontatif Washington. Bahkan mereka menyoroti dampak serangan terhadap Iran—anggota BRICS baru—dan menyayangkan tindakan militer terhadap fasilitas nuklir sipil. AS dan zionis dituding berada di balik serangan itu.

Retorika Trump bukan hanya menyerang BRICS sebagai organisasi. Ia memukul negara-negara Global South yang mencoba membentuk pola kerja sama yang lebih setara. Bahkan gagasan mata uang bersama BRICS, yang baru berupa wacana, telah membuat Trump mengancam tarif 100% terhadap anggota yang mendukungnya. Padahal yang sedang diupayakan BRICS kini adalah penggunaan mata uang lokal dalam transaksi lintas negara—sebuah langkah logis di tengah ketidakpastian dolar.

Sikap keras ini tak lahir dalam kevakuman. Trump kini mengonsolidasikan kembali kekuasaan dan memperkuat pijakan politiknya, membawa serta gaya konfrontatif yang dulu menjadi ciri khas kampanye dan kini menjadi kebijakan resmi Gedung Putih, dengan mengandalkan jargon lama: proteksionisme dan supremasi ekonomi AS. Tapi yang berubah adalah dunia. Negara-negara tak lagi sepenuhnya tunduk pada satu pemain. Pasar-pasar baru tumbuh, pusat-pusat keuangan bermunculan di Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Dunia sudah bergeser—dan kebijakan Trump tampaknya belum sanggup membaca arah angin itu.

Dari laporan CNN, disebutkan bahwa sekitar 100 surat tarif akan dikirim ke negara-negara kecil yang dinilai tak signifikan dalam neraca dagang AS. Namun tak sedikit dari negara-negara itu adalah mitra penting secara strategis maupun politik. Bessent menyatakan bahwa banyak negara “tidak pernah menghubungi AS” soal kesepakatan, dan karena itu pantas dikenai tarif. Pernyataan itu menunjukkan cara pandang yang meremehkan: seakan negara-negara lain hanya eksis jika mereka menyambangi Washington.

Indonesia, jika dimasukkan ke daftar “negara pendukung BRICS” yang dimaksud Trump, mungkin tak akan mengalami guncangan ekonomi besar secara langsung. Tapi ancaman itu mengganggu. Ia menempatkan hubungan Indonesia-AS dalam posisi serba tak nyaman. Apalagi, dalam kerja sama teknologi dan militer, AS masih memainkan peran penting. Lalu apakah Indonesia harus mengorbankan aspirasi multilateral hanya demi menghindari hukuman ekonomi?

Ironisnya, data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS menunjukkan bahwa dampak tarif selama masa jabatan pertama Trump tidak signifikan menurunkan defisit perdagangan atau menghidupkan industri dalam negeri. Bahkan, harga-harga naik dan daya saing turun. Walau pejabat Trump menyebut inflasi “belum terjadi”, perusahaan-perusahaan seperti Walmart sudah memperingatkan bahwa harga konsumen akan naik. Tarif memang memungut pendapatan, tapi dengan mengorbankan dompet rakyat sendiri.

Larry Summers, mantan Menteri Keuangan AS, menegaskan bahwa kebijakan seperti ini hanya akan melemahkan posisi AS dalam jangka panjang. Sementara itu, Trump bersikeras bahwa “surat-surat tarif” adalah alat tawar terbaik. Tapi bila setiap negosiasi dimulai dengan todongan pistol ekonomi, apakah itu masih bisa disebut perundingan? Atau hanya pemaksaan? Di tengah ancaman tarif dan retorika keras, suara diplomasi dan rasionalitas terdengar makin sayup.

Di Indonesia, isu ini nyaris tak masuk ke headline. Mungkin karena terasa terlalu jauh. Tapi realitasnya, apa yang diputuskan di Gedung Putih bisa berdampak pada petani kopi di Toraja, pengrajin rotan di Cirebon, hingga eksportir udang di Lampung. Jika tarif diberlakukan, jalur ekspor bisa terganggu. Dan lebih dari itu, arah kebijakan luar negeri Indonesia bisa terombang-ambing di antara kutub yang saling menarik: independensi atau tekanan.

Saat dunia sedang berupaya keluar dari jebakan perang dingin baru, tindakan Trump justru menyalakan percikan. Ketika negara-negara berkembang mencari cara agar lebih didengar dan dihargai dalam sistem global, ia malah menutup pintu. Mungkin sudah saatnya pertanyaan yang lebih jujur diajukan: apakah dunia bisa membangun keteraturan baru yang lebih adil—atau harus terus hidup di bawah bayang-bayang tarif dan sanksi?

Narasi Trump tentang supremasi ekonomi mungkin terdengar kuat di kalangan konstituennya. Tapi dunia tak lagi bisa dipaksa untuk patuh dengan ancaman tarif. Ada harga yang terlalu mahal untuk dibayar, bukan hanya dalam angka, tapi dalam nilai. Nilai kedaulatan. Nilai keadilan. Dan mungkin, nilai masa depan bersama.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer