Opini
Tangan Berdarah UEA: Jejak Intervensi dari Sudan ke Timur Tengah

Saat pesawat Emirat yang membawa tentara bayaran Kolombia diserang oleh Angkatan Udara Sudan di landasan pacu bandara Nyala, Darfur, awal Agustus 2025, yang hancur bukan hanya baja dan kaca pesawat. Yang runtuh juga adalah ilusi besar tentang kemanusiaan dan moralitas dalam politik luar negeri modern. Di tengah asap dan reruntuhan, tergurat kisah panjang tentang ambisi tanpa batas yang disamarkan dalam senyum diplomasi. Sudan, yang terjerat perang saudara brutal, kini menjadi panggung terbaru dalam pementasan politik kotor yang dikendalikan oleh negara-negara kaya seperti Uni Emirat Arab (UEA).
Laporan resmi Sudan menyebut pesawat tersebut mengangkut tentara bayaran Kolombia yang disewa UEA untuk memperkuat Rapid Support Forces (RSF)—kelompok paramiliter yang dituding melakukan genosida terhadap etnis Masalit di Darfur. Sebuah tuduhan berat yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Abu Dhabi, dengan respons diplomatik standar: menyangkal, membantah, dan balik menyerang dengan larangan penerbangan terhadap Sudan. Seperti biasa, UEA memilih untuk melawan bukan dengan bukti atau dialog, melainkan dengan kekuatan uang dan pengaruh, memastikan tak ada pihak yang terlalu berani membuka kotak Pandora itu.
Ini bukan insiden isolasi yang tiba-tiba muncul dari langit Sudan. Ini adalah satu fragmen dalam pola intervensi berkelanjutan yang dilakukan UEA di Timur Tengah dan Afrika, dengan jejak darah yang sudah terlanjur membekas dalam sejarah. Dari Yaman yang porak-poranda, Libya yang terpecah, Somalia yang rapuh, hingga Tigray di Ethiopia, UEA dikenal sebagai arsitek bayangan yang memainkan skenario konflik dengan alat-alat kotor: tentara bayaran, milisi bersenjata, dukungan senjata ilegal, dan diplomasi tanpa akhlak.
Mari kita lihat kenyataan pahit itu. Di Yaman, sejak 2015, UEA adalah bagian dari koalisi militer yang membombardir Houthi dengan alasan memulihkan pemerintahan sah. Tapi kenyataannya, mereka menciptakan zona-zona kekuasaan baru dengan membiayai milisi lokal, bahkan menyewa tentara bayaran dari Amerika Latin. Praktik ini bukan sekadar “strategi militer”, tapi perpanjangan tangan dari bisnis senjata dan pengaruh yang mengorbankan jutaan warga sipil. Anak-anak, wanita, dan orang tua jadi korban dari ambisi politik yang disamarkan dengan jargon stabilitas dan kemanusiaan.
Di Libya, UEA tak sungkan mendukung Jenderal Khalifa Haftar dengan bantuan senjata dan dana besar, meski PBB melarang ekspor senjata ke sana. Dengan licik, mereka membiayai perang saudara demi kepentingan geopolitik dan keuntungan ekonomi. Sama halnya dengan Somalia dan Eritrea, dimana Abu Dhabi mengelola pelabuhan dan pangkalan militer strategis, memperkuat posisi mereka dalam permainan kekuatan regional yang kejam dan tanpa belas kasihan.
Apa yang membedakan UEA dari negara-negara lain? Mereka punya uang, dan mereka tahu cara menggunakan uang itu untuk menyewa loyalitas dan membungkam kritik. UEA membungkus intervensi militer mereka dengan kemasan diplomasi modern, pesta investasi, dan gala internasional. Seolah mereka adalah negara masa depan yang damai, padahal di balik layar mereka menumpahkan darah dan air mata. Bukan darah mereka, tentu saja, tapi darah rakyat yang sengsara.
Ironisnya, dunia internasional acap kali menutup mata. Ketika Sudan mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional atas keterlibatan UEA dalam dugaan genosida di Darfur, pengadilan malah menolak kasus tersebut. Apakah karena kurang bukti? Atau lebih tepatnya, karena terlalu banyak kepentingan yang harus dijaga? Abu Dhabi adalah mitra dagang strategis bagi banyak negara kaya dan berpengaruh. Mereka membeli real estate mewah, membeli pengaruh politik, dan menggelontorkan dana besar ke berbagai lembaga internasional. Jadi wajar jika keadilan seringkali menjadi korban dalam pertempuran kepentingan global.
Kritik pedas ini harus dipahami bukan hanya sebagai serangan terhadap satu negara, tapi sebagai panggilan moral bagi komunitas internasional. Sudah terlalu banyak tragedi yang terjadi akibat intervensi negara kaya yang haus kekuasaan dan pengaruh. Jutaan nyawa melayang, jutaan lagi terlantar, tapi mereka yang mengendalikan arus uang dan senjata tetap berjalan dengan santai, tanpa harus mempertanggungjawabkan tindakan mereka.
Bagi rakyat Sudan, terutama etnis Masalit yang menjadi korban kekejaman RSF, kenyataan ini adalah bencana yang terus berulang. Mereka diserang bukan hanya oleh senjata api, tapi juga oleh mekanisme politik global yang membiarkan kekerasan terus berlangsung. Ketika senjata dan tentara bayaran berpindah tangan melalui jalur diplomasi bayangan, keadilan dan kemanusiaan sering kali kehilangan tempatnya.
Kita yang membaca ini dari jauh juga harus sadar bahwa tragedi seperti ini bukanlah cerita terpisah. Globalisasi membuat dunia semakin kecil, tapi juga semakin kompleks dan berbahaya. Ketika sebuah pesawat yang membawa tentara bayaran mendarat di Sudan, ada rantai panjang yang menghubungkan kita semua dalam jaringan konflik yang tak berujung. Ini bukan hanya masalah Sudan atau UEA. Ini adalah masalah kita bersama sebagai bagian dari komunitas dunia yang harus lebih kritis dan lebih berani menuntut keadilan.
Yang paling menyakitkan adalah bahwa UEA, yang mengklaim sebagai negara modern dan progresif, justru menjadi simbol kemunafikan diplomasi global. Mereka berkilau dengan pencakar langit dan festival budaya, tapi menyimpan tangan yang berlumuran darah di balik tirai diplomasi mewah. Mereka tahu bagaimana bermain peran: menjadi mediator di satu sisi, dan penyebab konflik di sisi lain. Permainan politik yang licik dan berdampak tragis bagi jutaan manusia yang tak bersalah.
Jadi, bagaimana kita harus menyikapi kenyataan ini? Apakah cukup dengan menulis opini dan mengungkap fakta? Atau sudah saatnya komunitas internasional—termasuk kita—mengambil sikap tegas terhadap pola intervensi yang tidak berperikemanusiaan ini? Dunia tak bisa terus membiarkan negara-negara kaya menyewa kematian demi kepentingan geopolitik mereka tanpa konsekuensi.
UEA harus diingatkan bahwa uang dan kekuasaan bukanlah pembenaran untuk kekerasan dan kematian. Bahwa suatu saat nanti, sejarah akan mencatat bukan hanya kemewahan yang mereka bangun, tapi juga penderitaan yang mereka sebabkan. Dan kita, sebagai penonton sekaligus bagian dari dunia ini, punya tanggung jawab untuk tidak membiarkan tragedi seperti Masalit dan perang Sudan hilang begitu saja dalam bayang-bayang politik dan kepentingan.
Karena pada akhirnya, sebuah dunia yang adil bukanlah mimpi, melainkan kewajiban. Dan kewajiban itu dimulai dari keberanian kita untuk mengungkap kebenaran, menuntut pertanggungjawaban, dan mengutuk tindakan yang mencederai kemanusiaan. Tanpa pilih kasih, tanpa kompromi.
Pingback: Darfur: Saat Kamp Pengungsi Jadi Arena Eksekusi - vichara.id
Pingback: Sudan, Suriah, dan Pola Perang yang Diulang-ulang - vichara.id