Connect with us

Opini

Suriah: Rakyat Tersingkir, Teroris Berkuasa

Published

on

Bayangkan sebuah negara yang porak-poranda oleh perang selama lebih dari satu dekade. Rumah-rumah hancur, keluarga tercerai-berai, dan anak-anak tumbuh dalam bayang-bayang trauma. Suriah adalah negara itu—di mana revolusi yang dimulai dengan harapan kini berubah menjadi labirin penderitaan dan manipulasi. Dalam lanskap kehancuran ini, muncul kabar yang menggelisahkan: Amerika Serikat menyetujui rencana pemerintah transisi Suriah untuk mengintegrasikan ribuan pejuang ekstremis asing ke dalam angkatan bersenjata nasional. Bukan hanya mengejutkan, keputusan ini menggores luka lama dan memunculkan pertanyaan besar tentang keadilan dan arah masa depan negara tersebut.

Laporan Reuters menyebut bahwa AS, melalui utusannya Thomas Barrack, mendukung penempatan 3.500 pejuang asing—termasuk dari China dan Asia Tengah—ke dalam Divisi ke-84 Angkatan Darat Suriah. Para pejuang ini sebelumnya tergabung dalam kelompok-kelompok ekstremis seperti Turkistan Islamic Party (TIP), Al-Qaeda, dan Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Mereka kini tidak hanya diberi amnesti, tetapi juga posisi formal dalam struktur negara. Ini adalah pembalikan drastis dari kebijakan AS di masa lalu, yang menolak keras keberadaan pejuang asing dalam struktur militer mana pun.

Lebih dari sekadar strategi keamanan, keputusan ini menjadi bukti bahwa revolusi Suriah bukan lagi milik rakyatnya. Sejak awal, suara rakyat Suriah yang menuntut demokrasi dan kebebasan justru dibajak oleh kekuatan luar dan kepentingan regional. Keputusan AS ini menegaskan bahwa aktor-aktor eksternal memegang kendali atas nasib Suriah, sedangkan rakyatnya terpinggirkan dan dijadikan pion dalam permainan geopolitik.

Perjuangan awal rakyat Suriah pada 2011 dimulai dari protes damai. Mereka ingin perubahan sistem yang lebih adil dan demokratis. Namun, perlahan, kekuatan ekstremis menyusup dan mengubah wajah revolusi. Ribuan pejuang dari luar negeri berdatangan melalui Turki dan negara-negara tetangga. Mereka membawa ideologi kekerasan dan sektarianisme yang jauh dari aspirasi rakyat. Kelompok seperti HTS, yang kini menjadi tulang punggung kekuatan militer pemerintahan transisi, bukan hanya pernah menjadi bagian dari jaringan Al-Qaeda, tetapi juga terlibat dalam sejumlah kekejaman terhadap minoritas.

Ahmad al-Sharaa, yang sebelumnya dikenal sebagai Abu Mohammad al-Julani—mantan pemimpin HTS—kini menjabat sebagai presiden interim Suriah. Di bawah kepemimpinannya, eks pejuang asing bahkan diberi kewarganegaraan dan posisi strategis dalam kementerian pertahanan. Osman Bughra, tokoh TIP, mengklaim kelompoknya telah membubarkan diri dan tunduk pada pemerintah baru. Tapi sejarah kekejaman TIP, termasuk pengusiran warga Kristen dari Idlib pada 2015 dan pembantaian 1.600 warga Alawit di wilayah pesisir pada Maret 2025, masih membekas di benak banyak orang.

Ketidakadilan terhadap rakyat Suriah begitu nyata. Mereka yang dulu berjuang damai justru terpinggirkan. Para pemuda yang turun ke jalan dengan penuh harapan kini menyaksikan bagaimana kelompok-kelompok yang pernah menebar teror justru dihadiahi kekuasaan. Mereka yang kehilangan rumah, anggota keluarga, dan masa depan kini harus menerima kenyataan pahit bahwa pelaku kekerasan sektarian diberi seragam, jabatan, dan legitimasi negara. Dalam narasi besar rekonsiliasi ini, suara rakyat tak lagi terdengar.

AS berdalih bahwa langkah ini adalah bagian dari pendekatan pragmatis. Mereka percaya lebih baik mengintegrasikan para pejuang ini dalam sistem ketimbang membiarkan mereka bergerak liar di luar struktur negara. Tapi apakah itu sebanding dengan risiko membuka kembali luka-luka lama? Apakah ini bukan justru bentuk penistaan terhadap harapan rakyat Suriah yang sejak awal menolak ekstremisme?

Pemerintahan transisi juga belum menunjukkan komitmen nyata untuk melakukan keadilan transisional. Tidak ada mekanisme akuntabilitas terhadap kejahatan masa lalu. Tidak ada proses peradilan untuk pelaku pembantaian atau penculikan. Tidak ada upaya rekonsiliasi yang mengikutsertakan komunitas minoritas atau korban perang. Yang ada justru pengukuhan kekuasaan oleh kelompok yang pernah terlibat dalam pelanggaran HAM berat.

Diamnya pemerintah baru dan Departemen Luar Negeri AS terhadap permintaan komentar media hanya memperdalam kecurigaan. Apakah ini sekadar kompromi politik untuk menenangkan kelompok bersenjata? Atau ada kesepakatan gelap yang belum terungkap? Yang pasti, langkah ini menandakan bahwa perjuangan rakyat telah dibajak oleh kekuatan yang tidak pernah memperjuangkan kepentingan mereka.

Perbandingan dengan Indonesia selepas konflik juga menarik. Di Aceh, reintegrasi mantan kombatan dilakukan dengan pendekatan inklusif dan berbasis masyarakat. Ada keterlibatan luas dari masyarakat sipil, tokoh agama, dan korban konflik. Prosesnya panjang dan melelahkan, tapi dilakukan dengan prinsip keadilan. Sebaliknya, di Suriah, para mantan ekstremis diberi posisi tanpa proses verifikasi atau pertanggungjawaban.

China, yang menganggap TIP sebagai kelompok teroris, menyuarakan kekhawatiran. Mereka meminta agar Suriah menolak segala bentuk ekstremisme. Kekhawatiran ini beralasan, karena integrasi kelompok seperti TIP ke dalam struktur negara tidak hanya membahayakan stabilitas internal Suriah, tetapi juga dapat menjadi ancaman lintas negara.

Dalam konteks ini, rakyat Suriah bukan hanya korban dari perang, tetapi juga dari rekayasa revolusi. Mereka yang dulu menjadi pelopor perubahan kini terpinggirkan oleh narasi yang dibentuk ulang oleh para aktor luar. Rakyat yang tetap tinggal harus hidup berdampingan dengan mereka yang pernah menebar teror. Pengungsi yang tersebar di berbagai negara belum tentu berani kembali ke rumah yang kini mungkin dihuni oleh eks pejuang asing.

Inilah ironi yang paling menyakitkan: revolusi yang lahir dari penderitaan dan harapan rakyat Suriah justru menghasilkan tatanan baru yang dibentuk oleh mereka yang paling banyak menyumbang pada penderitaan itu. Rakyat yang mestinya menjadi pusat dari proses rekonsiliasi justru diabaikan.

Apakah ini yang dimaksud dengan perdamaian? Sebuah perdamaian yang dibangun di atas fondasi ketakutan, trauma, dan impunitas? Bila demikian, maka kedamaian itu semu. Stabilitas yang dicapai dengan mengorbankan keadilan hanya akan memperpanjang siklus kekerasan.

Suriah kini berada di persimpangan. Keputusan untuk mengintegrasikan eks pejuang ekstremis asing ke dalam struktur negara bisa menjadi awal dari kebangkitan baru—atau justru awal dari kehancuran berikutnya. Semuanya tergantung pada apakah pemerintah baru dan komunitas internasional berani menempatkan rakyat Suriah kembali di pusat proses ini. Karena tanpa keadilan, tidak akan ada perdamaian yang sejati. Dan tanpa rakyat, tidak akan ada negara yang utuh.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Israel Tak Lagi Jadi Musuh Utama di Media Suriah? - vichara.id

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *