Connect with us

Opini

Suriah, Israel, dan Pengkhianatan Abu Jolani

Published

on

Perubahan arah politik Suriah setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember lalu adalah salah satu episode paling mengejutkan dalam sejarah kontemporer Timur Tengah. Hampir tidak ada yang menyangka bahwa sosok penggantinya, Ahmad al-Sharaa—atau yang lebih dikenal dengan Abu Jolani—akan begitu cepat mengubah haluan negeri yang selama puluhan tahun menjadi bagian dari poros perlawanan terhadap Israel. Kini, di hadapan publik internasional, Suriah yang dulu dikenal dengan retorika keras anti-Zionis justru duduk satu meja dengan Israel dalam pertemuan resmi. Sebuah pemandangan yang tak hanya membingungkan, tetapi juga memunculkan pertanyaan serius tentang integritas, konsistensi, dan makna dari kata “perlawanan” yang selama ini diagung-agungkan.

Sebelum berkuasa, Abu Jolani adalah tokoh yang dikenal vokal menentang Israel. Dalam berbagai kesempatan ia menegaskan komitmennya untuk membela Palestina dan melanjutkan garis keras melawan dominasi Zionis di kawasan. Janji-janji itu sempat membuat sebagian rakyat Suriah percaya bahwa kejatuhan Assad akan membuka babak baru perlawanan yang lebih murni dan bersih dari kompromi politik. Namun, realitas yang muncul justru sebaliknya. Begitu memegang kekuasaan, langkah pertama yang diambilnya justru menjalin komunikasi dengan musuh lama yang selama ini dijadikan kambing hitam segala persoalan kawasan. Inilah titik balik yang membuat banyak pihak, baik di dalam negeri maupun di dunia Arab, merasa dikhianati.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Bagi rakyat Suriah, perubahan ini tidak sekadar masalah diplomasi, melainkan menyentuh pada akar identitas politik mereka. Selama puluhan tahun, Suriah menempatkan dirinya sebagai negara garis depan yang menolak normalisasi dengan Israel, berbeda dengan sebagian negara Arab lain yang memilih jalur kompromi. Retorika anti-Zionis menjadi bagian dari narasi kebangsaan, masuk ke dalam kurikulum sekolah, pidato politik, bahkan simbol-simbol resmi negara. Kini, semua itu runtuh begitu saja hanya karena pergantian kepemimpinan. Lebih menyakitkan lagi, pertemuan dengan Israel diumumkan secara terbuka seakan-akan hal tersebut adalah capaian bersejarah, bukan sebuah langkah mundur yang mempermalukan harga diri bangsa.

Di sisi lain, keputusan ini memang memiliki konteks geopolitik yang rumit. Setelah perang saudara panjang dan hancurnya infrastruktur negara, Suriah berada pada titik paling rapuh dalam sejarahnya. Ekonomi ambruk, rakyat terjerat kemiskinan, dan dunia internasional nyaris menutup pintu. Dalam kondisi seperti ini, sebagian pihak mungkin melihat pragmatisme Abu Jolani sebagai jalan keluar. Israel, dengan pengaruh kuatnya di Barat, dianggap mampu membuka pintu bantuan ekonomi dan rekonstruksi, juga menjadi pintu masuk normalisasi Suriah dengan kekuatan besar dunia. Akan tetapi, apakah alasan pragmatis ini cukup untuk menghapus seluruh janji, prinsip, dan garis politik yang selama ini dipegang teguh?

Kritik paling tajam datang dari kalangan pro-Palestina. Bagi mereka, langkah Abu Jolani bukan sekadar kesalahan politik, tetapi pengkhianatan moral. Palestina selama ini dijadikan komoditas retorika oleh banyak pemimpin Arab, tetapi Suriah di bawah Assad setidaknya konsisten tidak menyerah pada normalisasi. Kini, semua berubah. Alih-alih melanjutkan perlawanan, penguasa baru Suriah justru membuka jalan bagi Israel untuk semakin melegitimasi keberadaannya di kawasan. Retorika tentang “membela Palestina” akhirnya terbukti hanya sebatas janji kosong yang dijual demi merebut simpati rakyat sebelum berkuasa.

Lebih jauh, langkah ini juga menciptakan efek domino yang bisa berbahaya bagi poros perlawanan. Jika Suriah yang selama ini menjadi salah satu titik strategis dalam perlawanan terhadap Israel berbalik arah, bagaimana dengan kelompok-kelompok yang selama ini mendapat dukungan dari Damaskus? Apakah mereka akan dibiarkan berjuang sendiri tanpa sokongan, atau justru dipaksa menyesuaikan diri dengan perubahan kebijakan ini? Tidak mustahil perubahan arah Suriah akan melemahkan semangat perlawanan di kawasan, memberi keuntungan strategis bagi Israel yang selama ini selalu merasa terancam oleh potensi front perlawanan lintas negara.

Ironisnya, pertemuan yang diumumkan ini justru menunjukkan kepercayaan diri baru Suriah. Jika sebelumnya pertemuan semacam ini disangkal, kini diumumkan secara terbuka. Hal ini menandakan bahwa Suriah di bawah Abu Jolani tidak lagi melihat hubungan dengan Israel sebagai sesuatu yang tabu atau berbahaya secara politik. Justru mereka merasa pengumuman ini akan memberi keuntungan: membuka jalan bagi investasi, mengurangi tekanan internasional, dan memperbaiki citra di mata Barat. Tetapi, kepercayaan diri ini di mata banyak rakyat Suriah dan dunia Arab justru terbaca sebagai kesombongan seorang penguasa yang mengkhianati janji.

Tentu, ada sebagian kalangan yang mencoba membela langkah ini dengan dalih bahwa Suriah butuh realistis. Negara tidak bisa hidup hanya dengan retorika perlawanan sementara rakyatnya lapar dan infrastrukturnya hancur. Mereka berargumen bahwa berkompromi dengan Israel adalah harga yang harus dibayar demi mendapatkan bantuan dan kembali diterima dalam percaturan global. Namun argumen ini goyah ketika kita mengingat bahwa janji-janji Abu Jolani sebelum berkuasa justru sebaliknya: ia berkomitmen melanjutkan garis keras, bukan menukar perlawanan dengan bantuan. Dengan kata lain, masalah utamanya bukan sekadar pragmatisme, tetapi pengkhianatan pada janji dan prinsip yang ia sendiri kumandangkan.

Pertanyaannya kemudian, apa arti Palestina bagi para pemimpin Arab? Apakah hanya slogan kosong yang diulang-ulang saat butuh legitimasi politik? Kasus Abu Jolani menunjukkan betapa mudahnya isu Palestina diperalat, lalu ditinggalkan begitu tidak lagi berguna. Inilah yang membuat rakyat Palestina semakin skeptis terhadap solidaritas Arab. Mereka tahu, pada akhirnya, banyak pemimpin Arab lebih peduli pada kelanggengan kekuasaannya daripada nasib rakyat Palestina.

Ke depan, langkah Suriah ini hampir pasti akan mengubah peta politik kawasan. Israel mendapatkan keuntungan strategis besar: berkurangnya satu negara garis depan yang selama ini menolak keberadaannya. Sementara itu, poros perlawanan harus menghadapi kenyataan pahit bahwa salah satu mitra utamanya telah berpindah haluan. Palestina, seperti biasa, menjadi pihak yang paling dirugikan. Mereka kembali harus berjuang sendiri, ditinggalkan oleh satu lagi “sahabat” yang ternyata hanya sahabat di atas kertas.

Pada akhirnya, pengkhianatan terbesar Abu Jolani bukan hanya pada rakyat Suriah yang mempercayainya, tetapi juga pada rakyat Palestina yang selama puluhan tahun menaruh harapan pada komitmen Suriah. Kini, semua janji itu runtuh, digantikan meja perundingan dengan musuh yang selama ini dikutuk. Dan sejarah, pada waktunya, akan mencatat bahwa di tengah penderitaan rakyat Palestina, Suriah memilih jalan normalisasi, jalan pengkhianatan.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Deal Tersembunyi Suriah-Israel: Paris Jadi Saksi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer