Connect with us

Opini

Suriah: Harapan Sanksi Pudar di Bayang Kekerasan

Published

on

Amerika Serikat mencabut sanksi ekonomi menyeluruh terhadap Suriah, sebuah langkah yang seolah menyalakan secercah harapan di negeri yang telah terkoyak perang selama 14 tahun. Keputusan ini, diumumkan Presiden Donald Trump dalam lawatan regionalnya, membuka pintu bagi investasi asing dan rekonstruksi, seakan menjanjikan kehidupan baru bagi Suriah pasca-runtuhnya pemerintahan Bashar al-Assad. Namun, di balik kilau harapan itu, hati kita tersentak oleh kenyataan pahit: kekerasan masih mengintai. Laporan dari Idlib, di mana seorang anggota ISIS tewas dalam bentrokan, serangan kelompok bersenjata di pangkalan Rusia di Hmeimim, dan ledakan mobil di Mayadin yang menewaskan lima orang, mengingatkan kita bahwa Suriah belum selesai dengan luka-lukanya. Apakah ini benar-benar fajar baru, atau hanya ilusi yang memihak mereka yang berkuasa?

Bayangkan menjadi warga Suriah biasa, hidup di antara puing-puing kota yang dulu ramai. Lisensi Umum 25, sebagaimana dijelaskan Departemen Keuangan AS, mengizinkan transaksi di sektor minyak bumi, keuangan, dan investasi baru. Ini bisa berarti pasar yang kembali bergairah, lampu jalan yang menyala, atau anak-anak yang berlari di taman tanpa rasa takut. Tapi, apa makna semua itu jika malam masih dihantui suara ledakan? Di Khan Sheikhoun, Idlib, Letnan Kolonel Omar al-Ayham melaporkan operasi keamanan yang menewaskan seorang anggota sel ISIS dan melukai lainnya. Di Mayadin, sebuah bom mobil pada 18 Mei menewaskan lima orang, serangan pertama ISIS terhadap pemerintahan baru sejak Assad jatuh, menurut Washington Institute. Ini bukan sekadar angka; ini kisah nyata tentang ketakutan yang terus membayang. Aku membayangkan seorang ibu di Idlib, memeluk anaknya, bertanya dalam hati: kapan kami bisa hidup tanpa cemas?

Kata-kata Menteri Keuangan AS Scott Bessent terdengar penuh harap: “Suriah harus menjadi negara yang stabil dan damai, dan langkah ini akan membawa masa depan yang cerah.” Namun, harapan itu terasa rapuh ketika kelompok “Buran al-Furat” mengaku menyerang pangkalan Rusia di Hmeimim, Latakia, menewaskan dua pejuang mereka dan beberapa personel Rusia, seperti dilaporkan Al Mayadeen. Bentrokan ini, dengan suara senapan mesin yang bergema, menunjukkan bahwa Suriah masih terperangkap dalam pusaran konflik. Serangan di Mayadin, yang bertepatan dengan pengurangan pasukan AS dari 2.000 menjadi 700 sejak April, menambah kekhawatiran. Laporan Washington Institute mencatat lonjakan serangan ISIS dari rata-rata lima per bulan di awal 2025 menjadi 14 sejak penarikan pasukan dimulai. Aku teringat percakapan dengan seorang sahabat dari Yordania, yang berkata, “Perang itu seperti bayangan; kau pikir ia pergi, tapi ia hanya bersembunyi.”

Pemerintahan transisi Suriah, yang kini lebih selaras dengan kepentingan AS, memiliki peluang untuk membangun kembali negeri itu. Keringanan 180 hari dari Departemen Luar Negeri AS memungkinkan sekutu dan perusahaan swasta turut merestorasi Suriah. Bayangkan rumah sakit yang kembali beroperasi, sekolah yang penuh tawa anak-anak, atau jalanan yang tak lagi berlubang. Tapi, tantangannya berat: Suriah harus mencegah wilayahnya jadi sarang teroris dan melindungi minoritas. Laporan tentang serangan di Hmeimim dan Mayadin menunjukkan betapa sulitnya mengendalikan faksi bersenjata. Di Idlib, kehadiran ISIS mengingatkan kita bahwa ancaman teror masih nyata. Di Aleppo, operasi pada 17 Mei menewaskan tiga personel pemerintah dan seorang operatif ISIS yang meledakkan diri. Ini luka yang tak pernah sembuh.

Aku pernah membaca cerita dari seorang relawan kemanusiaan, yang bekerja dengan pengungsi Suriah. Ia bilang, mereka tak hanya kehilangan rumah, tapi juga kepercayaan pada hari esok. Pencabutan sanksi mungkin membawa dana, tapi tanpa keamanan, dana itu bisa mengalir ke kantong elit atau investor asing. Al Mayadeen mencatat bahwa sanksi sebelumnya mempersulit rekonstruksi, menghukum pihak asing yang bekerja dengan pemerintah Suriah. Kini, pintu terbuka lebar, tapi siapa yang akan masuk? Apakah warga Aleppo, Damaskus, atau Mayadin akan merasakan perubahan, atau hanya mereka yang dekat dengan kekuasaan? Serangan ISIS di Mayadin, di wilayah yang dikuasai pemerintah, menunjukkan bahwa kelompok ini masih mampu mengeksploitasi celah-celah kekuasaan.

Stabilitas yang dijanjikan AS terasa seperti mimpi yang rapuh. Pencabutan sanksi adalah langkah pragmatis untuk mengurangi penderitaan kemanusiaan setelah perang yang merenggut ratusan ribu nyawa. Investasi bisa menghidupkan kembali ekonomi. Tapi, laporan tentang bentrokan di Idlib, serangan di Hmeimim, dan bom di Mayadin adalah pengingat bahwa Suriah masih berdarah. Washington Institute melaporkan bahwa ISIS telah mengklaim 33 serangan pada 2025, dengan potensi mencapai 89 serangan sepanjang tahun—angka terendah sejak 2013, tapi tetap mengkhawatirkan. Kelompok seperti “Buran al-Furat” menantang Rusia, sementara ISIS menyerang pemerintah baru. Rusia, dengan pengaruhnya, tak akan tinggal diam. Turki dan Arab Saudi, mitra Trump, punya agenda sendiri. Apakah Suriah hanya jadi arena baru untuk perebutan kekuasaan?

Ada pepatah Jawa yang terngiang: “Wong cilik mung bisa nyanyi ing lathi, nanging ora bisa ngguyang ing pati.” Rakyat kecil hanya bisa bersuara, tapi tak punya kuasa atas nasibnya. Di Suriah, rakyat mungkin bermimpi tentang hari tanpa ketakutan, tapi keamanan tetap jadi barang mewah. Pemerintahan transisi harus membuktikan diri, tidak hanya kepada AS, tapi kepada rakyatnya. Laporan Washington Institute menyebut keberhasilan pemerintah dalam menggagalkan rencana ISIS di kuil Sayyeda Zainab pada Januari, dengan bantuan intelijen AS, dan penangkapan pemimpin ISIS Abu al-Harith al-Iraqi di Deraa. Tapi, serangan di Mayadin dan Aleppo menunjukkan bahwa ancaman belum reda. Jika kekerasan terus berlanjut, apa gunanya sanksi dicabut? Rakyat tak butuh janji megah; mereka butuh jaminan bahwa anak-anak mereka bisa berjalan ke sekolah tanpa takut peluru.

Laporan Al Mayadeen menyebut bahwa AS menyadari risiko ini. Syarat bahwa Suriah tidak boleh jadi tempat aman bagi teroris menunjukkan kesadaran akan ancaman seperti ISIS. Tapi, bagaimana pemerintahan transisi bisa memenuhi syarat ini jika kelompok bersenjata masih bergerak bebas? Operasi di Aleppo dan penangkapan di Deraa menunjukkan upaya, tapi serangan di Mayadin menggarisbawahi kerentanan. ISIS, meski melemah, masih mampu mengganggu, terutama saat Suriah dalam transisi. Washington Institute memperingatkan bahwa penarikan penuh pasukan AS bisa memperburuk situasi, terutama jika integrasi Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dengan pemerintah belum selesai. Ini membuatku bertanya: apakah pencabutan sanksi ini datang terlalu cepat, atau justru terlambat untuk menyelamatkan Suriah?

Sebagian analis Barat dan pemerintah Arab memuji langkah AS dengan hati-hati, tapi yang lain khawatir tentang normalisasi yang terburu-buru. Kekhawatiran itu beralasan. Tanpa keamanan, investasi bisa sia-sia. Di Indonesia, kita tahu bagaimana bantuan pasca-bencana kadang tak sampai ke rakyat karena birokrasi. Suriah bisa menghadapi nasib serupa jika pemerintahan transisinya tak adil. Aku teringat seorang pengungsi Suriah di acara amal; matanya penuh harap, tapi juga kelelahan. Ia berkata, “Kami ingin pulang, tapi ke mana? Rumah kami sudah jadi debu.”

Pencabutan sanksi ibarat pedang bermata dua, membawa harapan sekaligus risiko. Rakyat Suriah, yang bertahan di tengah perang panjang, layak mendapatkan lebih dari janji. Mereka butuh keamanan, keadilan, dan kesempatan untuk merajut hidup mereka. Tapi, kekerasan di Idlib, Latakia, dan Mayadin menunjukkan bahwa perdamaian masih jauh. Aku membayangkan seorang anak di Damaskus, menatap bintang, bertanya kapan ia bisa tidur tanpa cemas. Pencabutan sanksi adalah langkah awal, tapi tanpa kedamaian sejati, itu hanya setengah perjalanan. Kita, yang menyaksikan dari jauh, hanya bisa berharap—dan bertanya: apa harga sebuah perdamaian, dan siapa yang benar-benar membayarnya?

Sumber:

https://www.washingtoninstitute.org/policy-analysis/islamic-state-attacks-new-syrian-government

https://english.almayadeen.net/news/politics/isis-cell-targeted-in-idlib–syria–new-group-claims-attack

https://english.almayadeen.net/news/politics/us-formally-lifts-sanctions-on-syria–aiming-for-reconstruct

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *