Opini
Suriah Dijual Murah di Meja Israel

Ada sebuah ironi getir yang sedang dipentaskan di panggung Timur Tengah: negeri yang pernah berdiri di garis depan perlawanan kini duduk manis di kursi negosiasi, menandatangani kesepakatan yang lebih mirip surat penyerahan. Bayangkan, Tel Aviv dan Damaskus konon sepakat untuk “menstabilkan situasi” di Suriah. Kata stabil, di atas kertas, terdengar seperti obat penenang. Tapi siapa pun yang mau jujur tahu bahwa stabilitas yang dijanjikan Israel hanyalah topeng halus bagi dominasi dan amputasi kedaulatan.
Kesepakatan itu, menurut laporan, mencakup demiliterisasi Dataran Tinggi Golan, penghentian rekonstruksi militer Suriah, hingga pembentukan koridor kemanusiaan untuk komunitas Druze. Sepintas, seakan-akan Israel menawarkan perjanjian yang manusiawi: melindungi minoritas, menjaga ketenangan, memastikan tak ada senjata yang “mengancam.” Tetapi mari kita bertanya, sejak kapan penjajah begitu peduli pada nasib rakyat Suriah? Bukankah narasi “perlindungan” ini justru topeng lama yang sudah sering dipakai kekuatan besar untuk menutupi ambisi geopolitik?
Di balik layar, ada AS yang mengatur nada. Tom Barrack, utusan Washington, mondar-mandir bertemu Netanyahu dan pejabat Israel lain. Isu yang dibicarakan? Bukan soal penderitaan rakyat Suriah, bukan soal masa depan Suriah sebagai bangsa, melainkan bagaimana caranya mencegah Iran dan Hizbullah menancapkan kaki di selatan Suriah. Jadi mari kita luruskan: ini bukan tentang keamanan regional, ini tentang membatasi jalur perlawanan. Suriah, dalam hitungan meja perundingan, dipaksa menjadi tanah kosong, buffer zone, halaman belakang Israel yang bersih dari ancaman.
Lebih ironis lagi, kesepakatan itu kabarnya akan mengacu pada Perjanjian Pelepasan 1974. Padahal, Israel sendiri yang menabrak perjanjian itu setelah jatuhnya Assad. Israel yang menolak mengakui aturan lama kini ingin menghidupkannya kembali, tentu dengan versi yang sudah dimodifikasi sepenuhnya untuk kepentingannya. Sungguh mirip pedagang di pasar loak: menawar murah barang orang lain, lalu memolesnya seakan-akan itu inisiatif kebaikan.
Saya rasa, ini adalah contoh paling terang bagaimana kekuasaan internasional bekerja: dengan menyingkirkan subjek utama, yaitu rakyat Suriah, dari percakapan tentang masa depan mereka sendiri. Lihatlah siapa yang hadir dalam pertemuan-pertemuan itu: Netanyahu, Barrack, Ron Dermer, Israel Katz, lalu sesekali Menteri Luar Negeri Suriah. Rakyat? Pasukan Suriah yang tersisa? Korban perang yang puluhan tahun menanggung beban? Mereka tidak masuk dalam kalkulasi. Yang dihitung hanya seberapa jauh Hizbullah bisa dipinggirkan dan seberapa besar koridor darat Israel menuju Irak bisa diwujudkan.
Jangan remehkan gagasan “David’s Corridor.” Ia bukan sekadar rumor. Ia adalah fragmen dari visi lebih besar tentang “Israel Raya”—sebuah fantasi geopolitik yang menghubungkan Tel Aviv ke utara Suriah, menembus Irak, hingga merajut jaringan strategis di jantung Timur Tengah. Jika koridor itu berhasil, maka Suriah benar-benar akan kehilangan fungsi strategisnya dan hanya menjadi jalur lintasan. Kita, yang hidup di Indonesia, tentu bisa membayangkan bagaimana rasanya jika tanah air kita dipaksa jadi jalan tol bagi kepentingan asing, tanpa boleh membangun pagar atau tentara di sisinya.
Lalu datanglah dalih kemanusiaan: membuka lintasan bantuan untuk komunitas Druze di Suwayda. Saya tidak meragukan penderitaan komunitas itu. Tapi, apakah Israel tiba-tiba berubah menjadi pelindung minoritas? Atau jangan-jangan ini hanya strategi lama: gunakan isu kemanusiaan sebagai “kunci masuk” untuk legitimasi? Seperti iklan obat sakit kepala: dikemas manis, tapi efek sampingnya menghancurkan. Membayangkan Israel sebagai malaikat penolong rasanya sama anehnya dengan membayangkan serigala membuka dapur sup untuk kelinci.
Di satu sisi, kita bisa melihat ini sebagai kemenangan diplomasi Israel. Mereka berhasil mengunci Suriah ke dalam kerangka yang hampir sepenuhnya pro-Tel Aviv. Di sisi lain, ini adalah potret kekalahan Suriah yang menyakitkan. Negara yang dulu dikenal keras kepala, tak mau tunduk pada rezim Zionis, kini harus mengakui kenyataan pahit: militer mereka luluh lantak, Assad tumbang, dan opsi yang tersisa hanyalah negosiasi dengan pihak yang selama puluhan tahun mereka lawan. Apakah ini pragmatisme politik atau pengkhianatan terhadap semangat perlawanan? Pertanyaan itu akan menghantui Damaskus untuk waktu yang lama.
Yang jelas, dampaknya akan terasa jauh melampaui perbatasan. Hizbullah di Lebanon akan semakin terpojok, Iran akan kehilangan jalur vital ke Mediterania, dan poros perlawanan bisa retak. Dan ketika itu terjadi, Israel bukan hanya aman, tapi juga semakin percaya diri untuk meluaskan agenda regionalnya. Mereka tak lagi butuh perang frontal; cukup menandatangani selembar kertas dengan Suriah yang sedang lemah, dan jalan ke depan terbuka lebar.
Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat kesepakatan ini sebagai semacam lelucon pahit. Dunia di mana korban perang harus tunduk pada syarat penyerang, dunia di mana stabilitas didefinisikan oleh mereka yang mengebom, dunia di mana kedaulatan diringkas menjadi catatan kaki dalam perjanjian keamanan. Kita di Indonesia mungkin jauh dari sana, tapi pola seperti ini terasa akrab. Bukankah sering kita mendengar bagaimana jargon pembangunan atau stabilitas dijadikan dalih untuk menyingkirkan hak rakyat kecil? Bedanya, di sini panggungnya lebih besar, taruhan geopolitiknya lebih dahsyat.
Pada akhirnya, kesepakatan Israel–Suriah bukanlah tentang perdamaian, melainkan tentang siapa yang berkuasa menentukan makna damai. Bagi Tel Aviv, damai berarti lawan kehilangan gigi, tentara dibubarkan, dan wilayah kosong bisa dipakai sesuka hati. Bagi rakyat Suriah, damai barangkali hanyalah jeda dari ledakan bom, tapi dengan harga yang terlalu mahal: kehilangan martabat.
Kita semua tahu, sejarah jarang berpihak pada yang kalah. Namun, sejarah juga penuh kejutan. Suriah mungkin hari ini dipaksa menunduk, tetapi luka kolektif yang dalam kadang melahirkan generasi baru yang tak sudi tunduk. Dan saat itu tiba, lembar perjanjian yang ditandatangani hari ini mungkin hanya akan menjadi catatan usang—bukti bahwa ada masa ketika sebuah bangsa dijual murah di meja musuh, dan dunia memilih pura-pura percaya bahwa itu demi stabilitas.
Pingback: Suriah: Dari Resistensi ke Laboratorium Takfirisme