Opini
Suriah di Ujung Pedang Tahta Baru

Di bawah langit kelabu yang tampak tak pernah cerah, Suriah kembali menjerit. Ahmad al-Sharaa, penguasa baru yang muncul dari puing-puing perang, sedang menyiapkan 50.000 pasukan untuk menyerang Raqqa dan Deir Ezzor, dua benteng terakhir Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi. Negeri ini, yang sudah hancur oleh perang saudara, kini diambang luka baru, bukan karena ideologi atau pertahanan rakyat, tapi karena ambisi kekuasaan yang tak kenal batas. Saya rasa, ini bukan sekadar pertarungan wilayah; ini soal harga diri seorang pemimpin baru yang haus legitimasi cepat, rela mengorbankan rakyat demi tahta rapuhnya.
Bayangkan pasar di pinggir Jakarta, pedagang berteriak menawarkan dagangan, lalu tiba-tiba disapu razia tanpa peringatan. Begitulah Raqqa dan Deir Ezzor hari ini. Bukan sekadar titik di peta; mereka adalah jantung ekonomi timur laut Suriah, ladang minyak yang mengalirkan “darah hitam” yang jadi rebutan semua pihak. SDF, yang sejak 2015 berjuang melawan ISIS dengan dukungan AS, kini jadi sasaran karena berani bermimpi tentang otonomi. Al-Sharaa, mantan ekstremis Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), menuntut mereka bubar dan bergabung ke dalam militer Suriah—militer yang sebagian besar diisi faksi bersenjata yang dulu bertempur dengannya melawan Assad. Bukankah itu seperti meminta burung menyerahkan sayapnya dan berharap ia tetap bisa terbang?
Yang membuat getir adalah ketergantungan ofensif ini pada “lampu hijau” Amerika Serikat. AS, yang dulu mendukung SDF untuk melawan ISIS, kini seolah menutup mata. Tanpa restu Washington, serangan tak akan terjadi. Rasanya seperti tetangga kaya yang memutuskan siapa yang boleh bertengkar di gang sebelah, sambil pura-pura peduli atau tidak peduli. Israel? Mereka disebut harus menahan diri agar al-Sharaa bisa bergerak. Negeri yang baru saja membom Damaskus untuk menghentikan serangan di Suwayda ini, katanya, punya agenda sendiri: membangun “David’s Corridor” dari Golan ke timur laut Suriah. Dunia ini berubah menjadi papan catur raksasa, dan pionnya adalah nyawa rakyat Suriah—Kurdi, Arab, Druze, Alawit—yang terus dipaksa berlari di antara bidak-bidak raja.
Al-Sharaa juga memanfaatkan perpecahan etnis dengan cermat. Sekitar 30 persen dari 70.000 anggota SDF adalah suku Arab, yang berpotensi berbalik melawan Kurdi begitu serangan dimulai. “Mereka punya banyak urusan dengan Kurdi,” kata sumber anonim itu, seolah dendam etnis adalah bahan bakar wajar untuk perang. Membaca ini, saya teringat bagaimana di Indonesia konflik antar kelompok sering dimanfaatkan elit untuk kepentingan politik—Ambon, Poso—dan Suriah sekarang menampilkan skenario serupa, tapi dalam skala yang lebih kejam.
Raqqa dan Deir Ezzor bukan hanya simbol ekonomi. Mereka simbol otonomi, mimpi federalisme, hak untuk menentukan nasib sendiri. SDF dan AANES ingin federalisme—Suriah tak terpusat di tangan satu otoritas. Tapi mimpi itu mengganggu al-Sharaa, yang ingin dominasi penuh. Perjanjian yang ditandatangani Mazloum Abdi dengan Sharaa, untuk mengintegrasikan SDF ke militer Suriah, tetap kertas kosong. Seolah kata-kata tertulis hanya topeng untuk rencana kelam yang menunggu pelaksanaan.
Bayangan pembantaian menunggu di setiap sudut. Pada Maret 2025, 1.600 Alawit tewas di pesisir Suriah. Pada Juli, pembantaian Druze mengguncang Suwayda. Kurdi di timur laut takut nasib serupa akan menimpa mereka jika menyerahkan senjata. Saya bisa membayangkan seorang ibu di kamp, menyaksikan tetangganya dibantai karena beda keyakinan, lalu diminta mempercayai algojo yang sama untuk melindunginya. Ketakutan itu nyata, lahir dari darah yang sudah tumpah. Al-Sharaa tampak tak peduli, fokus pada ambisinya, mengorbankan rakyat demi legitimasi yang rapuh.
Peran AS dan Israel menambah ironi. AS pernah menjadi pelindung SDF, kini menutup mata saat sekutunya diserang. Israel, yang baru membom Suwayda, tampak seperti malaikat penyelamat, tapi motifnya bukan murni kemanusiaan. Mereka ingin pengaruh strategis, menjaga kepentingan regional tetap aman. Suriah, dalam permainan ini, bukan lagi negara; ia papan permainan, dan rakyatnya hanyalah pion yang bisa dikorbankan kapan saja.
Kita semua bisa menengok diri sendiri, dalam skala kecil: pejabat kota memutuskan proyek megah demi nama besar, warga digusur, suara rakyat tak terdengar. Di Suriah, skala ini membengkak hingga ribuan nyawa menjadi taruhan. Al-Sharaa bisa memilih perundingan, duduk bersama SDF, mendengar aspirasi tentang federalisme, mencari jalan tengah. Tapi ia memilih pedang. Perundingan butuh waktu, kesabaran, dan kompromi—hal-hal yang tampaknya tak dimiliki penguasa baru yang haus legitimasi cepat.
Hasilnya? Sebuah Suriah yang utuh di bawah satu bendera, tapi berdiri di atas tumpukan dendam, ketidakpercayaan, dan darah. Rakyat yang sudah bertahun-tahun hidup di bayang-bayang perang, pantas mendapat lebih dari sekadar tahta yang diperebutkan. Demonstrasi di Suwayda, dengan warga Druze mengibarkan bendera Israel, bukan kemenangan—itu tragedi. Ketika rakyat memandang penutup mata asing sebagai penyelamat, harapan sudah pudar.
Saya tidak bisa menahan diri untuk bertanya: sampai kapan Suriah menjadi arena gladiator ambisi para penguasa? Al-Sharaa mungkin akan menang di Raqqa dan Deir Ezzor, tapi kemenangan itu rapuh, dibangun di atas ketidakpercayaan dan dendam. Rakyat Suriah pantas mendapat pemimpin yang melihat mereka sebagai manusia, bukan pion. Kita yang menonton dari jauh harus merenung: apakah diam saja cukup ketika tetangga dihancurkan demi ambisi serupa?
Mari bayangkan akhir lain: al-Sharaa duduk bersama Mazloum Abdi, mendengar suara Kurdi, Arab, Druze, dan minoritas lain, membangun Suriah yang tak lagi terpecah oleh pedang. Utopia, mungkin. Tapi mimpi seperti ini yang membuat kita tetap manusia. Untuk saat ini, saya hanya bisa menghela napas, membayangkan langit Suriah yang kelabu, dan berdoa agar darah tak lagi tumpah demi tahta yang rapuh.