Connect with us

Opini

Suriah di Bawah Al-Sharaa: Harapan atau Perang Baru?

Published

on

Di penghujung tahun 2024, dunia menatap Suriah dengan napas tertahan. Kelompok militan pimpinan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) berhasil merebut Damaskus, sekaligus mengakhiri dominasi keluarga Assad yang telah berlangsung selama 54 tahun. Momen itu seolah membuka harapan baru—apakah perang saudara yang selama lebih dari satu dekade merenggut ratusan ribu nyawa dan memaksa jutaan orang mengungsi, akhirnya menemukan ujungnya? Namun harapan itu segera memudar ketika laporan-laporan terbaru mengungkap ancaman baru yang jauh lebih mengkhawatirkan.

Washington Post, pada 31 Mei 2025, melaporkan bahwa meski kekuasaan Assad runtuh, Suriah masih jauh dari kata damai. Ribuan militan garis keras, termasuk para pejuang asing dengan ikatan ke ISIS dan faksi radikal lain, kini berbalik menyerang Presiden sementara Ahmad al-Sharaa. Darah kembali tumpah di tanah yang sudah porak-poranda, dan kegelisahan merayap masuk—akankah negara ini kembali tenggelam dalam luka yang lebih dalam?

Pembantaian yang terjadi di pesisir Suriah pada Maret 2025 menjadi gambaran suram atas situasi yang memburuk. Media lokal melaporkan sedikitnya 1.300 korban jiwa hanya dalam beberapa hari, dengan 973 di antaranya adalah warga sipil. Komunitas Alawit, yang selama ini menjadi pendukung rezim Assad, menjadi sasaran utama kekerasan tersebut. Tak hanya mereka, umat Kristen dan Druze pun tak luput dari kekejaman sektarian yang menimbulkan trauma mendalam bagi seluruh bangsa. Bayangkan betapa rapuhnya harapan, ketika kelompok-kelompok bersenjata yang dulu dipandang sebagai pahlawan pengguling rezim Assad, kini berubah menjadi ancaman utama bagi pemerintahan al-Sharaa.

Washington Post juga mencatat dinamika rumit di balik kekuasaan al-Sharaa. Presiden sementara itu tampaknya berusaha menjaga beberapa militan garis keras agar tetap bersamanya sebagai upaya mempertahankan kekuasaan, sembari merayu dukungan Barat. Namun langkah tersebut justru memicu kemarahan kelompok militan Sunni yang menginginkan penerapan hukum Syariah secara ketat. Mereka menuding al-Sharaa bekerja sama dengan Amerika Serikat dan Turki untuk menumpas faksi ekstremis, sehingga menimbulkan kebencian mendalam yang berujung pada serangkaian serangan.

Momen yang semakin mengguncang adalah fatwa keras yang dikeluarkan pada Mei 2025 oleh Abu Muhammad al-Maqdisi, ideolog Salafi-Jihadi ternama, yang menuduh al-Sharaa sebagai “kafir.” Fatwa semacam ini bukan sekadar hinaan biasa, melainkan ajakan yang sangat berbahaya dan mampu memicu pemberontakan baru yang lebih luas. Dalam suasana genting ini, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, seperti dilaporkan oleh RT pada 31 Mei 2025, memberikan peringatan keras. Ia menggambarkan Suriah sebagai “ladang permainan kelompok jihad, termasuk ISIS,” dan bahkan memperkirakan negara tersebut bisa kolaps dalam hitungan minggu, bukan bulan.

Setelah lebih dari 13 tahun bergelut dalam perang yang tanpa akhir, jutaan rakyat Suriah yang telah kehilangan segalanya kini harus menghadapi kemungkinan gelombang kekerasan baru. Apa arti kata stabilitas jika darah terus mengalir, dan harapan hidup seolah terkubur dalam reruntuhan yang tak kunjung selesai?

Di tengah kabut kelam itu, secercah angin segar mulai bertiup. Pada 31 Mei 2025, Associated Press melaporkan bahwa Suriah dan Arab Saudi telah menyepakati peningkatan kerja sama ekonomi. Kunjungan Menteri Luar Negeri Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, ke Damaskus menjadi simbol langkah berani dalam membuka pintu dialog dan pembangunan. Bersama delegasi bisnisnya, ia berjanji membuka peluang investasi di sektor minyak, infrastruktur, teknologi informasi, telekomunikasi, dan pertanian.

Langkah ini datang beriringan dengan pelonggaran sanksi yang diberlakukan Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris pada Mei 2025—sebuah keputusan yang disebut oleh al-Sharaa sebagai “langkah bersejarah dan berani” dari pemerintahan Presiden Donald Trump. Pangeran Faisal pun optimistis, menyebut bahwa pencabutan sanksi ini bisa “menghidupkan kembali ekonomi Suriah yang terhenti selama puluhan tahun.” Pertanyaannya kini: benarkah ini adalah awal kebangkitan Suriah yang telah lama dinanti?

Data di lapangan sangat menggambarkan betapa berat tantangan yang dihadapi. Perang yang dimulai pada Maret 2011 telah menghancurkan hampir seluruh sendi kehidupan Suriah: infrastruktur vital ambruk, listrik sering padam, dan sekitar 90 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, sebagaimana dilaporkan PBB. Dua hari sebelum kunjungan Pangeran Faisal, Suriah menandatangani kesepakatan besar dengan konsorsium perusahaan dari Qatar, Turki, dan Amerika Serikat untuk proyek energi senilai 5.000 megawatt, yang ditujukan untuk memulihkan jaringan listrik yang porak-poranda.

Arab Saudi dan Qatar juga berjanji akan membantu para pegawai sektor publik yang telah lama terlantar, meskipun detail rinciannya belum diumumkan. Pangeran Faisal menegaskan, “Kerajaan akan menjadi negara terdepan yang mendampingi Suriah dalam proses rekonstruksi dan kebangkitan ekonomi.” Sementara itu, Menteri Luar Negeri Suriah, Asaad al-Shibani, menilai fase ini sebagai “era baru” bagi negaranya. Namun, haruskah kita optimistis? Bisakah harapan ini bertahan di tengah gelombang kekerasan yang terus menghantui?

Mari kita tarik napas dan renungkan dari sudut pandang yang jauh, misalnya dari Indonesia. Kita di sini pun pernah merasakan luka akibat konflik berkepanjangan, seperti di Aceh dan Poso, meskipun tidak sepanjang dan seberat Suriah. Proses rekonsiliasi di negeri kita butuh waktu yang panjang, kepercayaan yang dibangun perlahan, serta jaminan keamanan yang nyata. Di Suriah, tugas al-Sharaa jauh lebih berat. Ia harus menaklukkan militan garis keras yang terus mengancam, melindungi komunitas minoritas Alawit, Kristen, dan Druze, sekaligus membuktikan kepada Barat bahwa ia benar-benar serius melawan terorisme.

Namun, jika kelompok militan radikal terus melancarkan serangan, bagaimana mungkin investor dari Arab Saudi, Qatar, atau negara lain berani menanam modal mereka? Bayangkan saja, proyek energi besar senilai ribuan megawatt yang megah di atas kertas, tidak akan berarti apa-apa jika bom terus meledak di sekitar gardu listrik dan fasilitas vital lainnya.

Waktu seakan menjadi musuh terbesar bagi Suriah saat ini. Di satu sisi, ada harapan yang nyata dan terukur: pertemuan antara al-Sharaa dan Trump di Arab Saudi membuka jalan bagi investasi serta bantuan internasional. Pencabutan sanksi bisa menjadi napas baru bagi perdagangan, lapangan kerja, dan rumah yang dibangun kembali. Namun di sisi lain, darah masih terus tumpah. Pembantaian di pesisir Suriah, fatwa al-Maqdisi, serta peringatan Rubio, semuanya menjadi pengingat brutal bahwa luka sektarian belum sembuh.

Jika al-Sharaa gagal mengendalikan para pejuang asing, yang ribuan di antaranya berafiliasi dengan ISIS, atau tidak mampu meredam kemarahan kelompok radikal, apa artinya semua janji “era baru” itu? Apakah seluruh upaya investasi dan rekonstruksi akan sirna dalam asap dan api perang yang berkobar kembali?

Lihatlah kenyataannya dengan jujur. Suriah kini menjadi arena tarik-menarik geopolitik yang kompleks. Arab Saudi dan Qatar mungkin memiliki motif terselubung, seperti melawan pengaruh Iran yang selama ini mendukung rezim Assad. Hal ini tentu bukan hal asing bagi kita di Indonesia, yang kerap menyaksikan bagaimana rivalitas regional, khususnya di Timur Tengah, berdampak pada kestabilan global.

Namun, rakyat Suriah tidak peduli dengan permainan geopolitik. Mereka hanya ingin hidup—mendapatkan makanan, listrik yang stabil, sekolah bagi anak-anak mereka. Menurut catatan PBB, sejak 2011 lebih dari 12 juta orang terpaksa mengungsi. Angka-angka itu bukan sekadar statistik dingin—mereka adalah kisah seorang ibu yang kehilangan anak, seorang ayah yang tak mampu memberi makan keluarganya.

Jadi, ke mana arah Suriah? Ini adalah perlombaan melawan waktu dan ketidakpastian. Harapan memang ada dan beralasan: sanksi mulai dicabut, investasi mengalir, proyek energi bergulir kembali. Namun, penderitaan yang terus berlangsung adalah kenyataan yang tak bisa diabaikan. Konflik sektarian, kekerasan, dan ancaman ekstremis masih mengintai di setiap sudut.

Apakah al-Sharaa mampu menyatukan rakyatnya, menekan kekuatan ekstremis, serta menjaga keamanan komunitas minoritas? Atau, akankah kekacauan dan kekerasan kembali menguasai, membuat investasi miliaran dolar dan semua harapan bangkit menjadi sia-sia?

Dari kejauhan, kita bisa belajar sebuah pelajaran penting: stabilitas sejati tidak lahir semata dari bantuan luar atau uang investasi. Ia tumbuh dari keberanian untuk menghadapi luka lama, dari upaya nyata menyembuhkan luka batin masyarakat. Suriah sedang dalam pertarungan berat, dan waktu tidak pernah menunggu. Yang bisa menentukan nasib negeri ini adalah langkah-langkah yang diambil hari ini—apakah harapan yang membumi akan menang, atau derita yang kian dalam yang akan menguasai?

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *