Opini
Suriah dan Bayang-Bayang Perang Saudara Kedua

Di tengah kegelapan geopolitik yang kerap terasa seperti permainan catur tanpa akhir, pernyataan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio pada 15 Mei 2025 di Turki terasa seperti pukulan telak: Suriah, kata dia, hanya punya dua pilihan—transformasi besar atau perang saudara brutal. Kalimat itu, dingin dan biner, menggantung di udara, seolah-olah nasib jutaan jiwa di Suriah bisa diringkas dalam dua kata yang terlalu sederhana untuk menangkap luka 14 tahun perang. Ada kegelisahan yang merayap di hati—mungkinkah dunia begitu kejam, menawarkan pilihan antara tunduk atau hancur? Laporan dari The Cradle dan Al Mayadeen menjadi cermin buram, memantulkan realitas Suriah yang terjepit antara tekanan asing dan ancaman dari dalam, sementara kita, sebagai pengamat, hanya bisa bertanya: ke mana arah negeri itu kini?
Rubio berbicara di sela pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Suriah, Asaad al-Shaibani, di Antalya, Turki. Di depan mikrofon, ia menegaskan preferensi AS untuk “transformasi,” tapi nada ancamannya tak bisa disembunyikan. Transformasi, dalam kamus Rubio, bukan sekadar perubahan, melainkan penyerahan Suriah pada agenda AS: normalisasi dengan Israel melalui Abraham Accords, pelemahan Iran, dan penindasan kelompok perlawanan seperti Jihad Islam Palestina. Pencabutan sanksi AS, yang diumumkan Trump dari Riyadh, jadi umpan manis—tapi dengan syarat. Suriah harus menari mengikuti irama Washington, atau, seperti kata Rubio, bersiap untuk “perang saudara brutal.” Ini bukan diplomasi; ini ultimatum yang dibungkus retorika. Dan di balik kata-kata itu, ada rakyat Suriah yang masih menghitung puing-puing rumah mereka, bertanya-tanya apakah damai itu nyata atau cuma ilusi.
Bayangkan Ahmad al-Sharaa, pemimpin interim Suriah, duduk di hadapan Trump pada 14 Mei di Riyadh. Sharaa, yang dulu dikenal sebagai Abu Mohammad al-Jolani, pernah jadi bayang-bayang di balik Al-Qaeda dan ISIS. Kini, ia berjabat tangan dengan presiden AS, berbicara soal sanksi dan Abraham Accords. Trump, dengan gaya khasnya, bilang Sharaa “berminat” bergabung dengan kesepakatan normalisasi Israel, tapi harus “menyelesaikan urusan dalam negeri dulu.” Tapi urusan apa? Suriah bukan sekadar negara; ia adalah mozaik luka—Alawit, Sunni, Druze, Kurdi, semua dengan mimpi dan dendam masing-masing. Sharaa, dengan masa lalunya yang kelam, kini jadi penutup luka itu, tapi apakah ia bisa? Atau, seperti yang ditakutkan banyak orang, ia cuma pion dalam permainan yang lebih besar?
Laporan Al Mayadeen menambah lapisan gelap pada gambaran ini. Dalam jurnal Al-Naba, ISIS melancarkan serangan verbal terhadap Sharaa, menyebutnya pengkhianat yang “kehilangan iman dan kehormatan” karena bertemu Trump. Bagi ISIS, pertemuan itu bukan sekadar politik, tapi pengkhianatan ideologis—pertempuran antara “tauhid dan demokrasi.” Mereka menyerukan pejuang asing di Idlib dan pedesaan Hama untuk bangkit, menolak jadi “alat” Sharaa yang mencari restu internasional. Ini bukan cuma kata-kata; ini ancaman nyata. Idlib, yang sudah jadi sarang ketegangan, bisa jadi medan pertempuran baru jika ISIS berhasil memobilisasi. Dan di sini, ancaman Rubio soal perang saudara terasa semakin nyata—bukan sekadar gertakan, tapi prediksi yang bisa terwujud.
Coba bayangkan Idlib sekarang. Kota itu, dengan pasar-pasarnya yang masih berdenyut di tengah puing, adalah simbol harapan sekaligus ketakutan. Kementerian Dalam Negeri Suriah membantah rumor operasi keamanan terhadap pejuang asing di sana, tapi benih kecurigaan sudah tertanam. Jika Sharaa, demi memenuhi tuntutan AS, menindak pejuang asing atau kelompok seperti ISIS, itu bisa memicu perlawanan bersenjata. Tapi jika ia membiarkan mereka, AS mungkin menuduhnya gagal, dan Israel, yang sudah melancarkan ratusan serangan udara, tak akan ragu menambah intensitas. Suriah, dalam posisi ini, seperti orang yang berjalan di atas tali tipis di atas jurang—satu langkah salah, dan semuanya ambruk.
Israel, dalam laporan The Cradle, digambarkan sebagai aktor yang tak kenal kompromi. Sejak Assad jatuh, mereka melancarkan serangan udara tanpa henti, menargetkan situs militer Suriah dan bahkan pasukan keamanan selama bentrokan dengan milisi Druze. Mereka juga dituduh memperluas “pendudukan ilegal” di Suriah selatan. Ini bukan sekadar aksi militer; ini pesan bahwa Israel tak akan membiarkan kekosongan kekuasaan di Suriah jadi ancaman. Tapi tindakan ini juga memicu kemarahan. Bayangkan warga Druze di Suwayda, yang sudah lama menjaga netralitas, kini melihat jet Israel di langit mereka. Bukankah ini resep untuk perpecahan baru? Dan jika Sharaa tak bisa menahan Israel, legitimasinya di mata rakyat Suriah bisa runtuh.
Di sisi lain, Sharaa sudah mulai memenuhi beberapa tuntutan AS. Laporan menyebutkan penindasan terhadap faksi perlawanan Palestina seperti Jihad Islam dan PFLP-GC, yang dulu dilindungi Assad. Ini langkah berani, tapi juga berbahaya. Palestina bukan sekadar nama di Suriah; mereka adalah simbol perjuangan yang mengakar di hati banyak orang. Menindas mereka bisa memicu kemarahan, bukan cuma dari komunitas Palestina, tapi juga dari kelompok Sunni yang masih setia pada narasi perlawanan. Dan di sini, kita melihat paradoks: Sharaa harus menyeimbangkan tekanan AS dengan stabilitas internal, tapi setiap langkahnya seperti menginjak ranjau.
Konteks lokal Suriah tak bisa diabaikan. Bayangkan seorang petani di pedesaan Hama, yang tiap hari mendengar jet tempur dan desas-desus tentang ISIS. Ia tak peduli pada Abraham Accords atau sanksi AS; ia cuma ingin tanahnya aman, anak-anaknya bisa sekolah. Tapi di mata dunia, ia tak lebih dari statistik dalam laporan geopolitik “‘Transformasi’ yang diminta Rubio—normalisasi, reformasi, penindasan ekstremis—mungkin terdengar logis di Washington, tapi di Suriah, itu berarti pergolakan baru. Dan ketika ISIS, dalam Al-Naba, menyebut Sharaa sebagai pengikut Trump, mereka tahu persis bagaimana memanfaatkan keresahan ini untuk memicu perlawanan.
Apa yang kita pelajari dari semua ini? Bahwa Suriah, seperti sering kali dalam sejarahnya, jadi panggung pertarungan kepentingan asing. AS menawarkan pencabutan sanksi, tapi dengan tali kekang. Israel menyerang untuk memastikan keamanannya, tapi menciptakan musuh baru. ISIS, dengan retorika apokaliptiknya, siap memanfaatkan setiap celah. Dan Sharaa, di tengah semua ini, seperti orang yang diminta memadamkan api dengan bensin. Ancaman Rubio tentang perang saudara bukan sekadar kata-kata; laporan Al Mayadeen menunjukkan bahwa benih-benihnya sudah ada—di Idlib, di pedesaan Hama, di hati mereka yang merasa dikhianati.
Di Indonesia, kita mungkin melihat ini dari jauh, tapi ada resonansi manusiawi yang tak bisa diabaikan. Kita tahu bagaimana rasanya hidup di bawah bayang-bayang konflik, di mana janji damai sering datang dengan syarat pahit. Suriah, dalam kegelapan ini, mengingatkan kita pada kerapuhan harapan. Akankah Sharaa bisa menavigasi labirin ini? Atau akankah, seperti yang ditakutkan Rubio, Suriah jatuh ke perang saudara baru, bukan karena takdir, tapi karena permainan kekuasaan yang tak peduli pada rakyatnya? Pertanyaan itu menggantung, seperti debu di udara setelah serangan udara, menunggu jawaban yang mungkin tak pernah datang.