Connect with us

Opini

Si Vis Pacem Para Bellum ala Iran Modern

Published

on

Ada sebuah ironi klasik yang terus menghantui peradaban: si vis pacem, para bellum—jika ingin damai, bersiaplah untuk perang. Ungkapan Latin ini sering dianggap sebagai warisan dunia kuno, tetapi kenyataannya, di abad ke-21 yang katanya modern dan beradab, ia kembali terasa relevan. Bukan karena bangsa-bangsa Timur suka berperang. Bukan karena Iran, misalnya, haus konfrontasi. Melainkan karena Amerika Serikat dan sekutu Baratnya menjadikan tekanan ekonomi, kekuatan militer, dan standar ganda sebagai bahasa utama hubungan internasional.

Mari kita jujur. Damai hari ini bukan hadiah, melainkan ilusi yang dipasarkan. Perundingan yang katanya jembatan menuju kompromi, justru diperlakukan Washington sebagai alat untuk memperdaya. Bukti paling telanjang: kesepakatan nuklir JCPOA 2015. Ditandatangani dengan gegap gempita, dipuji sebagai terobosan bersejarah, tetapi hanya bertahan seumur jagung. Amerika keluar sepihak, tanpa malu, tanpa gentar, seolah-olah komitmen internasional hanyalah coretan di atas kertas yang bisa dihapus sesuai mood politik Gedung Putih. Dan lebih ironis lagi, baru-baru ini, ketika negosiasi nuklir 2025 masih berjalan, mereka tak segan melancarkan serangan terhadap Iran. Bagaimana mungkin sebuah bangsa diminta percaya pada pihak yang menusuk sambil berjabat tangan?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Dari sinilah kita bisa memahami mengapa Abbas Araghchi dengan lantang menegaskan bahwa Iran siap untuk dua jalan sekaligus: perang atau diplomasi. Itu bukan ancaman kosong, melainkan refleksi dari kenyataan pahit. Negosiasi hanya masuk akal jika ada iktikad baik. Jika tidak, maka satu-satunya bahasa yang dipahami Washington adalah kekuatan. Iran tahu betul logika ini, karena terlalu sering dikhianati. Maka prinsip si vis pacem, para bellum bukanlah pilihan, melainkan kewajiban untuk bertahan.

Majid Takht-Ravanchi menegaskan, hak Iran untuk memperkaya uranium adalah harga mati. Barat boleh menyebut itu sebagai provokasi, tetapi pada dasarnya itu sekadar penegasan martabat nasional. Bayangkan bila Indonesia dipaksa berhenti mengolah tambang emas atau nikel dengan alasan “mengganggu stabilitas global.” Siapa yang rela? Iran sedang menghadapi perlakuan semacam itu, hanya dalam bentuk yang jauh lebih brutal, dengan sanksi ekonomi yang mencekik dan ancaman militer yang terus menggantung. Apakah mereka harus tunduk begitu saja? Saya rasa tidak ada bangsa bermartabat yang mau.

Ali Larijani pun tak segan menuding Amerika hanya berpura-pura ingin berunding, sambil mengedepankan syarat-syarat absurd seperti pembatasan rudal. Padahal, rudal adalah benteng pertahanan paling dasar, terlebih ketika tetangganya—zionis—memiliki gudang nuklir yang tidak pernah disentuh sanksi. Lihat betapa telanjang standar gandanya. Iran dituntut melucuti senjata defensif, sementara zionis terus memperluas kekuatan ofensif. Barat menutup mata, pura-pura tuli, seakan-akan tak tahu siapa sebenarnya ancaman bagi stabilitas kawasan.

Dan kini, Eropa yang sering dipromosikan sebagai mitra rasional pun ikut bermain dengan mekanisme “snapback” (sanksi). Inggris, Prancis, Jerman mengaktifkan jalan pintas yang bisa mengembalikan sanksi internasional hanya dalam 30 hari. Iran tentu menolaknya sebagai langkah ilegal, dan wajar saja. Apa gunanya perjanjian jika salah satu pihak bisa sewaktu-waktu menarik rem darurat demi kepentingan politik internalnya? Diplomasi macam apa ini? Apakah kita harus menyebutnya perundingan atau sekadar penipuan yang dibungkus rapih?

Tak heran bila Esmail Kowsari dari Parlemen Iran menyebut opsi kemungkinan keluar dari The Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai. Jangan buru-buru menuduh itu ekstrem. Itu adalah bahasa peringatan. Karena kalau dunia terus membiarkan standar ganda, kalau Barat terus menekan tanpa memberi jaminan, apa yang tersisa bagi Iran selain melawan dengan segala cara? Bahkan keluar dari rezim nonproliferasi bisa menjadi pesan keras bahwa mereka tak akan membiarkan diri dipermainkan tanpa batas.

Kalau kita tarik ke konteks sehari-hari, posisi Iran mirip dengan seorang petani kecil yang dipaksa menandatangani kontrak jual rugi dengan perusahaan besar. Kontrak itu dibuat dengan janji-janji indah: harga stabil, pasokan terjamin, kesejahteraan meningkat. Tetapi setelah tangan basah oleh tinta, kontrak dibuang, harga ditekan, tanah dirampas. Apa yang bisa dilakukan sang petani? Ia bisa duduk lagi di meja negosiasi, tetapi kali ini parang sudah tergeletak di atas meja. Bukan untuk menebas, melainkan untuk menunjukkan: jangan anggap saya tak punya pilihan.

Sanksi-sanksi selama puluhan tahun tidak menghancurkan Iran. Justru sebaliknya, ia melahirkan kemandirian. Dari teknologi rudal, nuklir sipil, hingga industri farmasi, Iran membuktikan bahwa tekanan bisa diubah menjadi daya tahan. Inilah pelajaran yang seharusnya membuat Barat malu. Bangsa yang ditekan tidak otomatis roboh, malah bisa bangkit lebih tangguh. Sama seperti bambu yang ditekan angin, ia tidak patah, tetapi lentur dan kembali tegak.

Iran tidak menutup pintu diplomasi. Berkali-kali mereka menegaskan hal itu. Tetapi diplomasi yang mereka maksud bukanlah sandiwara. Mereka tidak akan sudi membuka pintu untuk tamu yang datang dengan senjata di tangan dan jebakan di bawah meja. Itulah perbedaan mendasar dengan cara Amerika memaknai perundingan. Washington menjadikan diplomasi sebagai taktik sementara, bukan komitmen. Iran menolaknya, dan saya pikir mereka benar.

Indonesia pun bisa bercermin dari sikap ini. Kita juga sering ditekan dalam isu-isu perdagangan dan geopolitik. Kita diminta netral, tapi sekaligus dipaksa tunduk. Prinsip Iran bisa menjadi pengingat: netral bukan berarti lemah, terbuka bukan berarti pasrah. Ada saatnya bangsa ini juga harus menyiapkan “parang” dalam bentuk kemandirian pangan, energi, dan pertahanan, agar tak mudah dipermainkan kekuatan besar.

Pada akhirnya, Amerika dan sekutunya lah yang membuat dunia kembali menghidupkan prinsip si vis pacem, para bellum. Mereka yang mengandalkan sanksi, kekuatan militer, dan standar ganda, jangan terkejut bila bangsa seperti Iran memilih menyiapkan diri untuk perang demi menjaga damai. Damai yang sejati hanya lahir dari kesetaraan dan penghormatan, bukan dari tekanan sepihak. Dan selama Washington masih terus menjadikan ancaman sebagai bahasa utama, maka jangan salahkan Iran bila mereka menjawab dengan bahasa yang sama—bahasa yang pahit, keras, tapi kadang satu-satunya jalan agar martabat bangsa tetap utuh.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer