Opini
Setelah Diserang Balik, Israel Malah Gertak Lagi

Lebih dari 41.000 klaim kerusakan. Angka itu berdiri seperti batu nisan diam di tengah reruntuhan, mencatat penderitaan yang tak bisa dipoles dengan propaganda, tak bisa dilapisi dengan jargon nasionalisme murahan. Sebagian besar berasal dari rumah-rumah yang porak poranda, jendela pecah, atap terbang, dan dinding yang berubah menjadi serpihan bata. 32.975 di antaranya adalah klaim atas kerusakan rumah dan bangunan, sisanya mencakup kendaraan, alat rumah tangga, dan barang-barang yang dulu menjadi bagian dari rutinitas hidup warga—sekarang tak lebih dari bukti bahwa kekuasaan yang pongah tak bisa mencegah langit runtuh jika kesombongan mendahului kebijakan.
Sekitar 18.000 warga harus diungsikan, berpindah dari tempat tinggal yang mereka bangun dan rawat selama bertahun-tahun. Mereka bukan pengungsi bencana alam. Mereka bukan korban badai atau gempa. Mereka korban dari keputusan politik yang sembrono, dari kepercayaan delusional bahwa Israel dapat menyerang siapa pun dan tetap berdiri tanpa balasan. Namun kali ini, keyakinan itu tumbang. Dan yang lebih menyakitkan: tumbangnya terjadi di depan publik dunia yang mulai letih mendengar dalih tentang “pembelaan diri” dari negara yang selama ini lebih banyak menyerang ketimbang bertahan.
Namun, bukannya menahan diri, meninjau ulang strategi, atau sekadar mengakui bahwa keputusan menyerang Iran adalah tindakan yang tak diperhitungkan matang, rezim zionis justru kembali menabuh genderang perang. Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, tak lama setelah gempuran rudal Iran merobek infrastruktur negaranya, justru muncul dengan pengumuman bombastis: ia telah menginstruksikan militer Israel untuk menyiapkan serangan langsung ke fasilitas nuklir dan misil Iran, serta jaringan regional yang dianggap sekutu Teheran. Dalam bahasa militer, ini disebut ancaman strategis. Dalam bahasa waras, ini disebut mimpi buruk berulang.
Katz menyebut rencana ini sebagai “enforcement plan”—rencana penegakan. Entah apa yang ingin ditegakkan dari reruntuhan dan abu. Mungkin ia masih percaya bahwa dominasi bisa ditegakkan dengan memaksa musuh bertekuk lutut, bahkan setelah musuh menunjukkan bahwa mereka bukan hanya bisa berdiri, tetapi juga bisa membalas. Ia bahkan menyatakan, tanpa ragu, bahwa Israel tidak akan meminta persetujuan dari Amerika Serikat untuk menyerang Iran lagi. “Kita akan bertindak sendiri,” katanya, seperti anak remaja yang baru saja dihajar teman sekolah tapi bersumpah akan kembali besok dengan membawa tongkat besi.
Kita patut bertanya: apa yang sebenarnya dipikirkan rezim ini? Setelah 50 lebih rudal Iran menghantam jantung infrastruktur strategis mereka—termasuk pangkalan militer dan lembaga sains seperti Weizmann Institute—mereka masih bicara seolah memiliki kendali penuh atas situasi. Padahal, Channel 13 Israel sendiri mengakui bahwa serangan Iran menghantam target dengan presisi tinggi, dan efeknya belum bisa sepenuhnya diumumkan karena sensor ketat yang diberlakukan negara. Pers dibungkam, siaran asing diputus, jurnalis dilarang meliput. Ini bukan strategi perang—ini strategi malu.
Sensor media memang bukan hal baru di Israel. Tapi kali ini, pengetatan itu terasa seperti panik. Polisi dilaporkan mendatangi kantor media asing, menyita rekaman, bahkan memaksa kameramen menyerahkan peralatan mereka. Jika negara begitu takut dengan dokumentasi kenyataan, maka bisa dipastikan bahwa realitas di lapangan jauh lebih parah daripada yang diberitakan. Dan ketika sebuah negara mulai takut pada kenyataan, itu bukan tanda kekuatan. Itu tanda kekalahan moral.
Sementara itu, Iran merespons dengan sikap yang tenang tapi tajam. Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi menyatakan bahwa “Iran bukan Lebanon”—pernyataan sederhana yang sarat makna. Iran tidak akan tunduk pada pola permainan yang biasa dimainkan Israel: serang dulu, lalu ajukan gencatan. Balas dulu, lalu klaim diri sebagai korban. Iran tidak bermain di level simbolik; mereka bermain di level strategis. Dan lebih dari itu, mereka berhasil menyampaikan pesan bahwa membalas serangan tidak harus histeris. Cukup presisi. Cukup menyakitkan. Dan cukup menunjukkan bahwa yang Anda hadapi bukan lawan sembarangan.
Sialnya—atau ironisnya—di balik semua ini, Amerika Serikat malah dikabarkan tengah mempertimbangkan proposal bantuan nuklir sipil untuk Iran. Konon, program ini akan didanai oleh negara-negara Teluk dengan syarat: tanpa pengayaan uranium, dengan pengawasan ketat, dan mungkin pembebasan sebagian dana beku Iran. Dari satu sisi, ini terlihat seperti upaya diplomatik. Tapi di sisi lain, ia juga terasa seperti kompensasi yang terburu-buru—usaha menambal celah besar akibat tindakan sembrono sekutu mereka di Tel Aviv. Seperti pemadam kebakaran yang baru saja menyiram bensin, lalu menawarkan air minum botolan untuk memadamkan api yang berkobar.
Kita yang tinggal di Indonesia, jauh dari pusat konflik, bisa saja melihat ini sebagai drama luar negeri. Tapi justru dari kejauhan itulah kita bisa menilai lebih jernih. Kita belajar bahwa kepercayaan diri yang berlebihan dalam kekuatan militer, tanpa kontrol politik yang bijak, bisa berbalik menjadi bumerang. Kita juga belajar bahwa dalam dunia yang penuh sensor dan propaganda, kebenaran akhirnya akan tetap muncul—entah dalam bentuk angka klaim kerusakan, foto satelit reruntuhan, atau wajah-wajah letih para pengungsi.
Dan pada titik ini, kita dihadapkan pada ironi yang menggigit: sebuah negara yang selalu menyatakan dirinya sebagai korban, kini mengoleksi puluhan ribu klaim kerusakan akibat tindakan agresifnya sendiri. Sebuah rezim yang membungkus kehancuran dengan retorika “pertahanan diri,” tapi tak bisa menyembunyikan fakta bahwa mereka yang memulai, dan mereka pula yang kini sibuk menyusun berkas asuransi.
Mereka tak kapok. Atau mungkin tak bisa kapok. Karena kapok butuh kesadaran. Dan kesadaran hanya datang ketika ego ditanggalkan. Sementara yang satu ini—Zionis—dibesarkan dalam narasi bahwa mereka selalu benar, dan yang menolak tunduk selalu salah. Tapi dunia sedang berubah. Dan mungkin untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, perubahan itu datang dalam bentuk rudal yang tak hanya menghancurkan fisik, tapi juga menghantam jantung kesombongan.
Jadi ketika Israel kembali mengancam Iran, bersumpah akan menyerang lebih besar, lebih dalam, dan lebih luas, kita tahu: itu bukan kekuatan. Itu rasa takut yang dibungkus keberanian palsu. Itu reaksi dari rezim yang menyadari bahwa mitos keunggulan mereka telah runtuh, tapi belum siap menerima kenyataan.
Mungkin ini baru permulaan. Atau mungkin ini akhir dari satu bab panjang tentang ilusi superioritas. Yang pasti, reruntuhan itu bicara. Dan kali ini, tak ada sensor yang bisa membungkamnya.