Opini
Senjata Nuklir dan Bayang-Bayang Perang

Dalam suasana Eropa yang semakin tegang, di tengah bayang-bayang konflik dan krisis geopolitik yang terus menguat, Prancis mengambil langkah monumental: menggelontorkan dana sebesar $1,7 miliar untuk merenovasi pangkalan udara Luxeuil-Saint Sauveur di wilayah timur negeri itu. Proyek ini bukan sekadar renovasi fasilitas militer—ini adalah isyarat bahwa Prancis tengah menyiapkan pangkalan udara berkemampuan nuklir penuh yang ditargetkan siap pada tahun 2035.
Seperti dilaporkan oleh Al Mayadeen, langkah ini mencerminkan kegelisahan strategis yang semakin menguat di Eropa. Ketidakpastian global, dari perang di Ukraina yang belum kunjung usai hingga pertemuan kontroversial antara Donald Trump dan Vladimir Putin pada Maret lalu, memperkuat persepsi bahwa dunia sedang bergerak menuju babak baru dalam persaingan kekuatan besar. Prancis tak ingin sekadar menjadi penonton dalam panggung besar ini.
Saat ini, Luxeuil menjadi rumah bagi sekitar 20 jet tempur Mirage-2000 yang sudah tak lagi diproduksi. Namun rencana renovasi akan mengubah wajah pangkalan ini secara total. Targetnya: menampung 50 unit jet tempur Rafale generasi terbaru yang mampu membawa misil hipersonik ASN4G dengan hulu ledak nuklir. Komandan pangkalan, Kolonel Emmanuel Roux, menyebut proyek ini seperti “membangun sebuah katedral”—simbol akan kompleksitas, ambisi, dan waktu panjang yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya.
Transformasi ini mencakup perpanjangan landasan pacu, pembongkaran hanggar tua peninggalan tahun 1952, dan peningkatan jumlah personel secara signifikan. Dari semula 300 teknisi, pangkalan akan ditopang oleh lebih dari 1.000 tenaga ahli. Jumlah pilot pun akan dilipatgandakan hingga empat kali lipat. Efisiensi menjadi standar utama: mesin jet Rafale dapat diganti hanya dalam waktu satu jam, dan kursi pelontar dapat diperiksa dalam 15 menit.
Namun, di balik pembangunan fisik itu, terdapat pesan strategis yang jauh lebih dalam. Dalam sebuah wawancara televisi, Presiden Emmanuel Macron mengisyaratkan kemungkinan penempatan jet tempur bersenjata nuklir di wilayah sekutu-sekutu Eropa. Sebagai satu-satunya negara di Uni Eropa yang memiliki senjata nuklir pasca-Brexit, Prancis tampaknya hendak mengambil posisi sebagai pemimpin pertahanan strategis Eropa. Dan Luxeuil, yang terletak dekat perbatasan Jerman, Swiss, Belgia, dan Luksemburg, sangat cocok menjadi pusat pengaruh militer regional.
Tentu saja, reaksi dari Moskow tak lama menyusul. Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengingatkan bahwa langkah ini “tidak akan menambah rasa aman, stabilitas, ataupun prediktabilitas” di kawasan. Ketegangan kembali meningkat. Setiap langkah militer seolah menjadi batu yang dilemparkan ke danau yang tenang, menciptakan riak yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi gelombang besar.
Walaupun Indonesia terletak jauh dari Eropa, resonansi dari ketegangan ini tetap terasa. Ketidakpastian geopolitik global memengaruhi harga energi, rantai pasok barang, dan stabilitas ekonomi nasional. Contoh paling jelas terlihat ketika invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 membuat harga minyak mentah Brent melonjak hingga di atas $120 per barel. Dampaknya dirasakan langsung oleh Indonesia sebagai negara pengimpor energi yang sangat besar.
Ketegangan juga mempengaruhi ekspor komoditas strategis Indonesia. Ketika Eropa fokus pada pertahanan, hubungan dagang bisa tergeser. Prancis sendiri adalah mitra dagang penting, dengan nilai perdagangan bilateral yang mencapai $2,9 miliar pada 2023. Apakah ini berarti hubungan ekonomi akan merosot? Atau justru membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisi tawarnya—terutama karena Indonesia juga tengah membeli 42 jet Rafale dari Prancis?
Namun Luxeuil bukan hanya soal strategi dan alutsista. Ada sisi kemanusiaan yang patut diperhatikan. Seorang pilot di pangkalan tersebut, yang tidak ingin disebutkan namanya, menyatakan bahwa senjata nuklir adalah “opsi terakhir”—namun jika dibutuhkan, ia siap menggunakannya demi melindungi negara dan keluarganya. Ini menyentuh sisi paling personal dari dunia pertahanan. Di balik teknologi canggih dan kebijakan tingkat tinggi, ada manusia biasa dengan harapan dan ketakutannya. Begitu pula di Indonesia—setiap prajurit TNI yang bertugas di laut dan perbatasan membawa beban serupa.
Pertanyaannya, apakah kekuatan militer benar-benar menjamin perdamaian? Atau hanya menciptakan rasa aman semu yang sewaktu-waktu bisa runtuh?
Apa yang dilakukan Prancis di Luxeuil mencerminkan dilema yang lebih luas di Eropa. Menurut SIPRI, impor senjata ke Eropa naik 19% antara 2017 dan 2021, didorong oleh meningkatnya ketegangan sejak aneksasi Krimea. Jerman, misalnya, mengalokasikan €11 miliar untuk ekspor senjata pada 2024, dan Ukraina menjadi penerima utama. Rheinmetall, raksasa industri pertahanan Jerman, bahkan menyebut era ini sebagai masa “persenjataan ulang”, dengan target peningkatan produksi amunisi sebesar 35–40% pada 2025.
Sementara itu, Polandia menjalin kerja sama erat dengan Korea Selatan untuk memproduksi tank dan howitzer, dengan ambisi menjadi pusat produksi senjata regional. Ini bukan sekadar perlombaan senjata. Ini adalah upaya untuk mengurangi ketergantungan pada Amerika Serikat—yang dalam lima tahun terakhir menguasai 60% pasar senjata Eropa—dan membangun otonomi strategis benua.
Namun, otonomi ini bukan tanpa risiko. Rusia sudah mewanti-wanti bahwa mereka bisa saja melancarkan serangan pendahuluan terhadap fasilitas produksi senjata Eropa. Ancaman ini menjadi pengingat bahwa setiap penguatan militer membawa konsekuensi, yang kadang jauh dari yang diharapkan.
Beralih ke Indonesia, pemerintah juga sedang memperkuat sistem pertahanan, termasuk lewat pembelian jet Rafale senilai $8,1 miliar. Langkah ini penting, namun memunculkan dilema klasik: sampai sejauh mana kita perlu berinvestasi untuk pertahanan, tanpa melupakan kebutuhan mendesak seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan?
Anggaran pertahanan Indonesia tahun 2024 mencapai Rp139 triliun. Angka yang besar, namun masih jauh dibandingkan negara-negara maju. Maka, pertanyaan keseimbangan antara pertahanan dan kesejahteraan menjadi semakin penting. Apakah Indonesia bisa membangun postur militer yang kokoh tanpa mengorbankan agenda pembangunan yang inklusif?
Pembangunan pangkalan Luxeuil adalah potret dunia hari ini—dunia yang gelisah, penuh ketidakpastian, dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jet Rafale, misil hipersonik ASN4G, dan hanggar yang dibangun ulang bukan hanya soal teknologi, tapi juga cerminan atas ketakutan, ambisi, dan harapan.
Dari kejauhan, Indonesia menyaksikan langkah ini dengan seksama. Pertanyaannya tetap sama dan tak mudah dijawab: bagaimana kita menjaga perdamaian dalam dunia yang tengah mempersiapkan diri untuk perang?
Luxeuil mungkin tak memberikan jawaban pasti. Tapi ia mengingatkan bahwa dalam setiap strategi pertahanan, selalu ada manusia di balik tombol kendali—dengan naluri, keyakinan, dan rasa takut terhadap hari esok yang tak menentu.