Opini
Safari Trump: Menata Ulang Timur Tengah atau Ilusi Keemasan?

Triliunan dolar dijanjikan selama tur tiga negara Teluk oleh Presiden AS pekan ini. Apakah ini era keemasan Timur Tengah? Atau, benarkah Donald Trump membawa hubungan AS-Teluk ke babak baru? Pertanyaan itu menggema, menyentuh relung hati. Di balik gemerlap kesepakatan, ada kegelisahan: akankah kemakmuran ini merata, atau hanya untuk segelintir elit? Di Doha, Riyadh, Abu Dhabi, sorak sambutan menggema, tapi di Gaza, tangis tak kunjung reda. Dunia menatap, dan saya, seperti mungkin Anda, bertanya: apakah “era keemasan” ini akan menyentuh mereka yang terluka?
Malam di Jakarta, saya duduk dengan kopi pahit, menatap layar ponsel. Trump, dengan gestur khasnya, berbicara soal “America First” di hadapan pemimpin Teluk. Tapi kenyataan di balik pidato itu jauh lebih kompleks. Inside Story menyebut kunjungan empat hari ini menghasilkan investasi hampir $4 triliun—angka yang sulit dicerna. Di Qatar, kesepakatan ekonomi dan pertahanan capai $250 miliar. UEA bicara lompatan besar di teknologi dan AI. Ini bukan sekadar angka; ini soal ambisi, masa depan. Tapi, apakah era keemasan ini akan dirasakan oleh rakyat biasa, atau hanya mengalir ke puncak piramida?
Trump pulang ke Gedung Putih dengan kemenangan diplomatik. Sanksi Suriah dicabut, pembicaraan dengan Iran dimulai, bahkan ada pakta dengan Houthi Yaman. Ini bukan Trump yang dulu, yang agresif lawan Iran. Giorgio Cafiero bilang, administrasinya kini lebih pragmatis, kurang dipengaruhi neokonservatif. Negara-negara Teluk, yang pernah terpecah saat krisis Qatar 2017, kini bersatu. Mereka dorong diplomasi dengan Iran, desak de-eskalasi. Saya bayangkan para emir dan pangeran itu berkata pada Trump: “Kami butuh damai untuk ekonomi kami.” Dan Trump, dengan naluri bisnisnya, mendengar. Tapi, akankah damai ini menyentuh Gaza, atau hanya jadi janji di atas kertas?
Ada yang absen dari safari ini. Israel, Mesir, Yordania—sekutu lama—tak dikunjungi. Ini bukan kebetulan. Alon Pinkas bilang Netanyahu sedang “trauma” melihat pergeseran ini. Israel, biasanya pusat perhatian, kini seperti dipinggirkan. Bukan karena tak penting, tapi hubungan AS-Israel sudah kokoh. Trump cari hasil nyata, dan Netanyahu tak memberi itu. Laporan sebut dia langgar gencatan senjata Gaza, panaskan retorika soal Iran. Saya merenung: apakah Israel, dengan lobi kuatnya, mulai kehilangan pesona di mata Trump? Atau, akankah era keemasan ini malah menyingkirkan sekutu lama?
Tapi kenyataan di lapangan lebih rumit. Negara-negara Teluk punya banyak hal untuk ditawarkan. Qatar, dengan kanal diplomatiknya, serukan solusi untuk “genosida” Gaza. Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman desak Trump bangun diplomasi Arab. UEA janjikan teknologi dan energi. Mereka tak cuma tawarkan uang, tapi stabilitas—yang Trump, dengan basis anti-perangnya, inginkan. Saya teringat obrolan dengan teman di Bandung: “Teluk itu kaya, tapi cerdas main politik.” Benar. Mereka tahu cara dekati Trump: deal besar, dan dia akan melirik. Tapi, apakah kesepakatan ini akan membawa damai sejati, atau hanya kemakmuran bagi segelintir?
Gaza, bagaimanapun, jadi duri dalam daging. Laporan bilang tak ada terobosan besar. Trump usulkan “freedom zone,” tapi samar. Amir Qatar memohon solusi, tapi Hassan Barari bilang Trump cuma beri “lip service” untuk tenangkan Teluk. Hati saya perih. Data Al Jazeera sebut ribuan nyawa hilang di Gaza sejak Oktober 2023. Trump bisa tekan Netanyahu, tapi tak melakukannya. Mengapa? Mungkin Israel masih sekutu kunci, atau Gaza bukan prioritas. Ini bikin saya bertanya: jika era keemasan ini tak sentuh Gaza, apa artinya kemakmuran itu?
Safari Trump, sepertinya tentang memperluas koalisi. AS butuh dukungan untuk negosiasi dengan Iran, dan Teluk adalah mitra ideal. Mereka dukung kesepakatan nuklir baru, tak ingin perang yang bisa hancurkan kawasan. Cafiero bilang, jika AS atau Israel serang Iran, Teluk jadi garis depan. Impian mereka—investasi, pariwisata—bisa lenyap dalam sekejap. Saya bayangkan pasar di Doha, gedung megah di Dubai, semua bergantung pada damai. Trump, yang tak ingin terjebak perang mahal, sepertinya setuju. Tapi, akankah damai ini merata, atau hanya untuk mereka yang sudah di atas?
Namun, ada bayang-bayang ketidakpastian. Pinkas bilang Trump impulsif, tak terduga. Analisis soal koalisi ini bisa salah dalam enam bulan. Saya teringat obrolan di warung dekat rumah: “Politik itu kayak cuaca, susah diprediksi.” Trump bisa tergoda lobi Israel, yang kuat di Washington. Cafiero bilang lobi Teluk juga ada, tapi Barari ragu mereka bersatu. Ini seperti pertarungan tak kasat mata, dan kita cuma bisa menduga siapa yang menang. Tapi, apakah pergulatan lobi ini akan membawa damai, atau justru memperpanjang penderitaan?
Di Indonesia, kita mungkin merasa jauh dari drama Timur Tengah. Tapi, saya teringat harga minyak yang naik-turun, cerita teman yang kerja di Teluk, kirim uang untuk keluarga di desa. Apa yang terjadi di Riyadh atau Gaza, entah bagaimana, menyentuh kita. Safari Trump ini, yang saya lihat sebagai penataan ulang Timur Tengah, tentang kekuatan, uang, stabilitas. Tapi, di balik gemerlap, ada suara tak terdengar: rakyat Gaza, keluarga di Suriah, pekerja migran. Akankah mereka dapat bagian dari era keemasan ini, atau cuma jadi penutup luka?
Saya menutup laptop, menyeruput sisa kopi yang dingin. Dunia terus berputar, dan Trump, dengan segala kontroversinya, sedang mengukir babak baru. Tapi, seperti kata Pinkas, tak ada yang permanen dengan Trump. Mungkin, enam bulan lagi, peta berubah. Yang jelas, Teluk kini jadi pusat panggung, dan AS, lewat tangan Trump, merangkul mereka erat. Tapi, di sudut hati, saya bertanya: akankah damai sejati ikut dirangkul, atau ini cuma permainan kekuatan lain? Era keemasan ini, untuk siapa sebenarnya?