Opini
Saat Demokrasi Mati di Suriah dan Barat Tersenyum Lega

Di sebuah negara yang dulu dikenal sebagai pusat peradaban, kini keputusan politik, hukum, dan distribusi gas elpiji harus menunggu restu seorang syaikh. Itulah Suriah hari ini. Bukan lagi diperintah oleh presiden dan birokrasi negara, melainkan oleh jaringan syaikh, ulama-ulama militan yang lebih banyak tahu soal fatwa daripada tata kelola negara. Realitas ini dibocorkan oleh The Cradle, dan bukannya fiksi pasca-apokaliptik: Suriah benar-benar telah berpindah tangan, dari negara berdaulat menjadi sebuah republik para syaikh.
Tak ada pengangkatan pejabat tanpa persetujuan mereka. Bahkan urusan distribusi tepung roti dan listrik pun harus melintasi meja-meja syariah lokal yang tidak dikenal dalam konstitusi mana pun. Di wilayah yang dikuasai sepenuhnya oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS), setiap layanan publik, termasuk penyelesaian sengketa tanah, sudah menjadi urusan agama—tepatnya agama versi mereka. Sementara itu, hukum negara? Sudah lama pensiun. Pengadilan sipil? Dihapus. Hanya ada dewan-dewan syariah yang tak dikenal PBB, tapi punya otoritas melebihi undang-undang dasar.
Dan yang lebih ironis—atau barangkali tragis—adalah bahwa ini bukan hasil invasi besar-besaran, bukan pula revolusi rakyat yang murni, tapi buah tangan dari proyek perubahan rezim yang digagas oleh Barat dengan jargon yang selalu terdengar agung: demokrasi dan kebebasan. Amerika dan sekutu-sekutunya, yang dulu bersumpah memberantas terorisme, kini justru menyaksikan—dengan mata terbuka dan hati yang entah ke mana—seorang bekas kader ISIS naik takhta sebagai penguasa de facto Damaskus. Namanya Ahmad al-Sharaa, alias Abu Muhammad al-Julani, dulunya bagian dari Nusra Front, cabang Al-Qaeda di Suriah. Sekarang, dia tak lagi disebut “teroris”, melainkan disebut dalam laporan-laporan diplomatik sebagai “aktor transisi”.
Barat diam. Atau mungkin bukan diam, tapi memberi anggukan restu dalam pertemuan tertutup, sambil mengevaluasi: apakah dia bisa diajak bicara? Apakah dia bisa memberikan Golan? Apakah dia bersedia menstabilkan wilayah tanpa membuat gaduh seperti Assad dulu? Kalau jawabannya ya, maka lupakan sudah semua daftar hitam. Dunia memang begitu murah hati pada siapa saja yang bersedia duduk manis di meja negosiasi, asal jangan terlalu keras kepala atau terlalu dekat dengan Iran.
Kontras ini membuat kepala pening. Kita dulu diajari membenci radikalisme. Buku-buku sekolah di Barat, bahkan beberapa di Indonesia, mengajarkan bahwa demokrasi adalah benteng terakhir melawan kegelapan agama yang dipolitisasi. Tapi kini, ketika Suriah digenggam oleh jaringan syaikh militan, ketika minoritas dibantai atas nama tauhid yang dipelintir, tak ada sanksi, tak ada embargo, tak ada konferensi internasional. Tidak seperti saat Rusia bergerak di Ukraina atau Iran menembakkan rudal ke markas Mossad. HTS bahkan disebut-sebut sedang menjajaki kesepakatan damai dengan zionis—perdamaian yang tak pernah diberikan oleh Assad, bahkan ketika mereka menawarkan kompromi.
Orang-orang yang sama yang dulu meneriakkan bahwa Assad adalah tiran kini bungkam ketika setidaknya 1.600 warga sipil Alawi—umat Islam yang berbeda mazhab—dibantai selama tiga hari di wilayah pantai Suriah. Ya, tiga hari, bukan tiga abad. Dan ini bukan rumor liar di pojokan gelap internet, melainkan dilaporkan oleh sumber yang berani bicara kepada jurnalis. Mereka menyebut Sharaa kini menjalankan semacam dewan tertinggi syariah, mengoordinasikan urusan ekonomi, pendidikan, dan peradilan dari balik tirai fatwa. Dengan kata lain: sistem keagamaan yang kaku dan ideologis kini menjadi struktur negara.
Ada yang mungkin berpikir, “Tapi bukankah Assad juga diktator?” Benar. Tapi bedakan antara kediktatoran militer-sekuler dan kediktatoran berbasis klaim wahyu. Yang pertama, sepahit-pahitnya, masih tunduk pada sistem birokrasi. Yang kedua? Ia bisa menghalalkan darah orang lain atas dasar dalil yang hanya dipahami lingkarannya sendiri. Dan dalam sistem semacam ini, suara rakyat bukan lagi suara Tuhan. Ia diganti oleh suara syaikh, suara dewan, suara shura, yang tak pernah dipilih oleh siapa-siapa.
Di Indonesia, kita sering galau: menolak radikalisme tapi tetap terjebak dalam narasi barat. Padahal pelajaran paling menyakitkan dari Suriah adalah ini: bahwa Barat bukan penjaga demokrasi, tetapi penjaga kepentingan. Demokrasi hanya berlaku bila menguntungkan. Kalau tidak, maka bahkan HTS pun bisa jadi mitra strategis. Maka jangan heran jika suatu saat nanti, Abu Muhammad al-Julani muncul di forum internasional, berdampingan dengan utusan AS, Inggris, dan—mengapa tidak—diplomat Israel.
Dalam dunia politik hari ini, teroris hanyalah status temporer yang bisa berubah jadi transitional leader asalkan bisa bernegosiasi. Dan demokrasi hanyalah kata mutiara dalam pidato-pidato luar negeri yang tidak berlaku untuk sekutu yang patuh. Inilah wajah dunia: retak, penuh kontradiksi, dan sering kali lebih absurd daripada teori konspirasi.
Maka saat Anda mendengar kata “perdamaian” atau “transisi demokratis” dari mulut para pemimpin barat, jangan buru-buru terharu. Barangkali itu hanya cara halus untuk mengatakan: kami telah memilih penguasa baru yang lebih bisa diajak kompromi—meski ia adalah sisa-sisa dari kekuasaan yang dulu kami berjanji akan memusnahkannya.
Di Suriah hari ini, demokrasi bukan mati. Ia dikubur hidup-hidup, dan pemakaman itu diselenggarakan oleh mereka yang dulu mengaku sebagai pelindungnya. Sementara kita di sini, masih sibuk menertawakan satire politik dalam negeri, padahal yang paling lucu justru sedang terjadi di panggung global. Tragikomedi, dengan skenario yang ditulis oleh negara-negara adidaya, dan diperankan oleh para eks-militan yang kini tampil bersih dan diplomatis.
Dan rakyat Suriah? Seperti biasa, mereka tak diberi peran. Hanya jadi latar. Hanya jadi korban. Hanya jadi angka.