Opini
Ritme Baru Perang Lama: Antara NATO, Rusia, dan Dunia yang Tak Lagi Sama

Rusia bisa saja siap menyerang NATO dalam lima tahun ke depan. Kalimat ini meluncur dari mulut Mark Rutte, Sekretaris Jenderal NATO yang baru, dalam pidato resminya di London. Ringkas tapi menggetarkan. Pernyataan itu bukan sekadar analisis atau spekulasi: ia disampaikan di hadapan publik, disiarkan media global, dan dirancang menjadi sinyal keras bahwa dunia — setidaknya menurut NATO — sedang melaju ke arah krisis yang lebih besar dari sekadar Ukraina.
Bukan sekali ini saja Rusia dijadikan bayangan gelap yang terus mengintai keamanan Eropa dan dunia. Tapi nada pidato Rutte, dan rencana peningkatan pengeluaran militer hingga 5% dari GDP oleh negara-negara NATO, memperjelas satu hal: retorika perang kini sedang dikemas ulang menjadi kebutuhan. Dalam versi terbaru ini, kata-kata seperti “quantum leap”, “deterrence”, dan “battle-ready” menggantikan frasa lama seperti “peacekeeping” dan “cooperative security”. Perang bukan lagi kemungkinan, tapi sedang disiapkan sebagai keniscayaan.
Rutte bahkan menyebut kebutuhan akan “400% peningkatan pertahanan udara dan rudal”, ribuan tank baru, dan jutaan peluru artileri. Ini bukan sekadar belanja senjata — ini adalah mobilisasi. Fakta bahwa Inggris akan menaikkan anggaran pertahanannya menjadi 3% dari GDP di awal 2030-an menunjukkan bahwa ini bukan rencana jangka pendek, melainkan perubahan doktrin. Lebih jauh, NATO ingin menjadikan pengeluaran militer sebagai patokan politik baru di antara negara anggotanya.
Namun apa yang dilihat publik dari narasi ini? Di luar Eropa dan Amerika, pandangan mulai retak. Muncul kelelahan kolektif terhadap retorika standar NATO. Sementara mereka terus menggambarkan Rusia sebagai ancaman laten, masyarakat dunia — termasuk di Indonesia — semakin menyadari adanya polarisasi naratif yang tak seimbang. Bahwa Ukraina didukung penuh oleh Barat, bahwa ekspansi NATO ke arah timur menjadi pemantik ketegangan, dan bahwa realitas ini disederhanakan dalam wacana media arus utama.
Jika Rusia memang sedang bersiap untuk menyerang NATO, seperti diklaim, maka pertanyaannya bukan hanya soal kapan, tapi juga mengapa. Laporan dari The Guardian mengutip perkiraan bahwa Rusia tengah mempertahankan pasukan aktif lebih dari 600.000 orang dan anggaran militer mencapai 6,5% dari GDP-nya. Tapi siapa yang pertama membunyikan genderang? Siapa yang mulai memosisikan militer sebagai ujung tombak diplomasi? Ini bukan soal menyalahkan, melainkan memahami bagaimana dua blok besar ini saling mendefinisikan satu sama lain sebagai musuh — dan meyakinkan dunia untuk ikut percaya.
Baca Juga: Jerman & NATO Siaga Perang: Rusia Jadi Musuh Imajiner?
Kontrol informasi memang tidak seperti dulu. Zaman ketika satu narasi bisa dominan tanpa tantangan telah usai. Kini, masyarakat sipil, jurnalis independen, hingga analis dari negara-negara non-blok punya ruang untuk menggugat narasi besar yang dibangun NATO maupun Rusia. Ketika Peskov, juru bicara Kremlin, menyebut bahwa ancaman itu “ephemeral” dan bahwa rakyat Eropa akan menanggung biaya dari “ketakutan buatan”, sebagian orang mungkin melihat itu sebagai taktik defensif Moskow. Namun sebagian lainnya mulai mempertanyakan: siapa sebenarnya yang menabuh lonceng perang terlebih dahulu?
Dunia multipolar yang sedang tumbuh — dari BRICS yang diperluas hingga negara-negara ASEAN yang cenderung non-konfrontatif — menunjukkan bahwa banyak negara tak lagi nyaman dengan dikotomi lama Barat vs Timur. Indonesia, sebagai negara dengan sejarah panjang dalam menjaga prinsip bebas aktif, berada pada persimpangan penting. Kita tak bisa buta terhadap ancaman global, tetapi juga tak bisa begitu saja menerima logika militeristik yang dijajakan dari satu sisi. Bagaimana kita bisa ikut menjaga perdamaian jika yang ditawarkan hanya perlombaan senjata?
Yang juga perlu diperhatikan adalah timing. Pidato Rutte datang hanya beberapa minggu sebelum KTT NATO di Den Haag. Ada urgensi politis di sana. Donald Trump, yang kini kembali menjadi Presiden AS, sejak lama menekan agar anggota NATO membayar lebih untuk pertahanan. Usulan 5% itu bisa dibaca sebagai sinyal kepada Washington — bahwa NATO tak lagi bergantung pada kemurahan hati Amerika, tapi siap memenuhi standar Trump sekalipun. Apakah ini diplomasi atau strategi bertahan?
Ketika rakyat di Sheffield melihat pemimpin NATO mengunjungi pabrik Forgemasters — pembuat komponen nuklir — mungkin mereka merasakan kebanggaan. Tapi ada juga yang mungkin bertanya-tanya, apakah pabrik itu sedang menciptakan perlindungan atau justru menyiapkan instrumen kehancuran? Di negara-negara yang lebih jauh dari pusat konflik — seperti Indonesia — pertanyaan semacam itu justru semakin bergema: sampai kapan keamanan global didefinisikan dengan jumlah tank dan misil?
Ada ironi besar dalam narasi ini: bahwa demi mencegah perang, kita justru bersiap seolah perang tak terhindarkan. Ini yang membuat istilah “deterrence” jadi kabur. Apakah benar deterrence jika yang kita siapkan bukan hanya pertahanan, tapi kemampuan ofensif yang besar, lengkap dengan retorika bahwa Rusia bisa menyerang kapan saja? Atau ini bentuk “propaganda gaya baru” — strategi psikologis untuk mempertahankan dominasi NATO atas opini global?
Baca Juga: Jerman Provokasi Rusia: NATO Picu Perang Besar?
Narasi NATO tentang ancaman Rusia boleh jadi meyakinkan bagi sebagian audiens. Tapi bagi dunia yang mulai cerdas secara informasi, pendekatan seperti ini menyisakan banyak lubang. Propaganda, sehalus apapun, kini harus berhadapan dengan publik yang punya akses pada data alternatif, analisis independen, dan rekam jejak sejarah yang bisa diverifikasi siapa saja. Tak heran jika sebagian mulai melihat retorika NATO bukan lagi sebagai peringatan, tapi sebagai upaya pembenaran atas ekspansi militer yang tak kunjung selesai sejak Perang Dingin.
Apa yang terjadi di Ukraina adalah tragedi. Tapi bagaimana tragedi itu dimanfaatkan oleh kekuatan besar — untuk merapikan anggaran, mendorong produksi senjata, dan membangun narasi musuh bersama — itu cerita lain. Di sinilah publik perlu waspada. Karena ketika seluruh dunia disuruh bersiap untuk perang, siapa yang betul-betul diuntungkan? Apakah rakyat, atau industri senjata dan elite politik yang berdiri di belakangnya?
Dunia sedang berubah. Tapi sebagian aktor global tampaknya masih terjebak dalam logika lama: bahwa keamanan berarti kekuatan, bahwa perdamaian dibangun lewat ketakutan, dan bahwa hanya mereka yang punya senjata lebih banyak yang berhak menentukan masa depan. Padahal, di tengah krisis iklim, ketimpangan global, dan disrupsi ekonomi, narasi yang dibutuhkan bukan siapa lawan siapa — melainkan bagaimana menyusun ulang arsitektur keamanan internasional yang lebih adil, setara, dan tidak dibangun di atas rasa takut.