Connect with us

Opini

Rencana Jinakkan Hamas: Diplomasi atau Pengkhianatan?

Published

on

Di bawah langit yang kelabu, Gaza terbakar lagi, sementara Paris dan Riyadh, dua kota yang gemerlap dengan penuh ambisi, meracik rencana baru untuk “menjinakkan” Hamas, menurut sumber yang dikutip Bloomberg pada 22 Mei 2025. Mereka ingin melucuti senjata kelompok perlawanan Palestina itu, mengubahnya jadi entitas politik yang patuh, seperti anak nakal yang dipaksa duduk manis di bangku sekolah. Ironis, bukan? Negara yang mengklaim sebagai penjaga dua kota suci, Arab Saudi, kini berbisik dengan Hamas, bukan untuk menguatkan perjuangan, melainkan untuk merenggut senjata mereka. Sementara itu, Israel melancarkan operasi “Gideon’s Chariots”, sebuah nama yang terdengar seperti judul film Hollywood, tapi dengan naskah yang jauh lebih kelam: menggusur seluruh penduduk Gaza, memenjarakan mereka di sudut selatan, dan memastikan Hamas “dihabisi total”. Di tengah semua ini, dunia menonton, dan kita, di sudut-sudut Indonesia, hanya bisa menggeleng, bertanya: ini apa-apaan?

Bayangkan, sebuah rencana yang lahir dari meja-meja mewah di Paris dan Riyadh, di mana diplomat dengan jas rapi dan kopi mahal berbicara soal “demobilisasi” Hamas. Tujuannya? Mengubah kelompok yang selama ini jadi duri di mata Israel menjadi semacam Otoritas Palestina (PA) versi Gaza—tanpa senjata, tanpa taring, hanya suara di meja negosiasi. Saudi, yang dulu pernah menyalurkan dana untuk Palestina, kini bermain catur dengan pion yang salah. Mereka bilang, kalau Hamas diberi sedikit kekuatan politik, mereka mungkin mau menyerahkan senjata. Benarkah? Hamas sudah tegas: senjata adalah “garis merah”. Ini seperti meminta macan melepas cakarnya demi jadi kucing rumahan. Absurd, tapi nyata. Dan di balik semua ini, ada aroma kepentingan yang lebih besar: normalisasi Saudi-Israel, sebuah tarian diplomatik yang sudah lama diidamkan Riyadh, tapi dengan harga yang pahit bagi Palestina.

Sementara itu, di Gaza, tank-tank Israel bergemuruh. Operasi “Gideon’s Chariots” bukan cuma nama megah, tapi rencana brutal untuk menguasai seluruh wilayah, menggiring penduduk ke selatan seperti ternak, dan memastikan tidak ada lagi perlawanan. Israel bilang ini demi “keamanan”, tapi setelah satu setengah tahun perang yang mereka sebut “genosida” oleh banyak pihak, Hamas masih berdiri. Netanyahu, dengan gaya khasnya yang penuh drama, bersumpah pada 21 Mei bahwa perang hanya akan berakhir jika Hamas dilucuti, pemimpinnya diasingkan, dan rencana Trump—yang absurdnya ingin menjadikan Gaza “Riviera Timur Tengah”—dilaksanakan. Riviera? Serius? Gaza yang hancur lebur, rumah-rumahnya rata, anak-anaknya kelaparan, mau dijadikan destinasi wisata? Ini bukan sekadar ironi, ini sindiran pahit dari realitas yang keji.

Kembali ke Saudi, ada sesuatu yang menggelitik sekaligus menyedihkan. Negara yang mengibarkan panji Islam, yang setiap tahun menyambut jutaan jemaah haji, kini malah merancang skenario yang melemahkan saudara seiman mereka di Palestina. Hamas, suka atau tidak, adalah simbol perlawanan bagi banyak warga Palestina. Mereka bukan cuma kelompok bersenjata, tapi representasi dari tekad untuk tidak menyerah di bawah pendudukan. Tapi Saudi, dengan segala kekayaan minyak dan pengaruhnya, memilih jalur pragmatis: melucuti Hamas, menjadikannya seperti PA di Tepi Barat, yang oleh banyak pihak dianggap sekadar “penutup” bagi kepentingan Israel. Ini bukan cuma soal politik, ini soal ikatan iman yang seharusnya mengikat. Di warung-warung kopi di Jakarta atau pesantren-pesantren di Jawa, orang-orang bicara soal Al-Aqsa, soal Palestina, dengan nada penuh semangat. Tapi di Riyadh? Sepertinya mereka lebih sibuk menghitung keuntungan dari kesepakatan dengan Tel Aviv.

Laporan itu juga menyebut konferensi PBB bulan depan, yang akan digelar Paris dan Riyadh untuk menghidupkan kembali solusi dua negara. Mulia, katanya. Tapi Israel sudah menolak mentah-mentah gagasan negara Palestina, apalagi kembalinya PA ke Gaza. Netanyahu bahkan menegaskan bahwa Gaza harus “dibersihkan” dari Hamas, dan seluruh wilayahnya berada di bawah kendali keamanan Israel. Di sisi lain, rencana Mesir di bulan Maret—yang didukung pemimpin Arab—juga menolak pemindahan paksa penduduk Gaza dan mendorong rekonstruksi, tapi Hamas tetap teguh: senjata tidak akan diserahkan. Jadi, apa yang Saudi dan Prancis harapkan dari rencana ini? Sebuah keajaiban diplomatik? Atau cuma sandiwara untuk menunjukkan bahwa mereka “peduli” pada Palestina, sambil diam-diam membuka pintu untuk Israel?

Mari kita jujur, ini bukan cuma soal Gaza atau Hamas. Ini soal harga sebuah perjuangan. Di Indonesia, kita tahu betul rasanya melawan penjajah—cerita kakek-nenek kita tentang Belanda, Jepang, masih hidup di ingatan. Palestina punya cerita yang sama, cuma beda zaman, beda musuh. Tapi bayangkan kalau dulu ada “saudara” yang bukannya bantu angkat senjata, malah bilang, “Sudahlah, serahkan senjatamu, jadi partai politik saja.” Rasanya seperti ditikam dari belakang, bukan? Itulah yang membuat rencana Saudi ini begitu menusuk. Mereka bukan cuma tidak membantu, tapi secara aktif merancang skenario yang bisa memudahkan Israel menancapkan kukunya lebih dalam di Gaza. Dan untuk apa? Normalisasi? Investasi? Puji syukur dari Barat? Sungguh, ini seperti menjual solidaritas demi secarik kontrak.

Lalu ada Trump, yang dengan entengnya bilang Gaza bisa jadi “Riviera Timur Tengah”. Ini bukan cuma omong kosong, ini penghinaan. Gaza bukan pantai untuk turis, bukan proyek properti untuk investor kaya. Gaza adalah rumah bagi jutaan jiwa yang bertahan di tengah bom, kelaparan, dan keputusasaan. Trump sempat mundur dari idenya, bilang itu cuma “rekomendasi”, tapi kerusakan sudah terjadi: dunia melihat Palestina bukan sebagai bangsa yang berhak atas tanahnya, tapi sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan. Dan Saudi, dengan usulan pelucutan senjata ini, seolah jadi bagian dari permainan itu.

Tapi jangan salah, Hamas bukan anak kemarin. Mereka tahu permainan ini. Mereka sudah bertahan melawan Israel selama puluhan tahun, dengan atau tanpa dukungan penuh dari dunia Arab. Pelucutan senjata? Itu sama saja dengan menyerah, dan Hamas bukan tipe yang mudah luluh. Di sisi lain, Israel juga tidak akan menerima Hamas dalam bentuk apa pun, bahkan sebagai entitas politik. Jadi, rencana Saudi-Prancis ini seperti kapal yang berlayar tanpa tujuan, di tengah badai yang sudah pasti akan menenggelamkannya.

Di ujung cerita ini, kita cuma bisa menghela napas. Di kampung-kampung di Indonesia, orang-orang masih mengadakan doa bersama untuk Palestina, mengumpulkan donasi, berharap keadilan datang. Tapi di panggung global, solidaritas itu seolah cuma gema kosong. Saudi, yang seharusnya jadi benteng iman, malah bermain catur dengan nyawa saudaranya sendiri. Ironi ini bukan cuma menyedihkan, tapi juga peringatan: ketika solidaritas digadaikan demi politik, yang tersisa hanyalah luka yang lebih dalam. Gaza akan terus berdarah, dan kita, di mana pun kita berada, cuma bisa bertanya: sampai kapan dunia membiarkan ini terjadi?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *