Connect with us

Opini

Rencana Gelap di Balik Pemindahan Warga Gaza

Published

on

Sejuta jiwa di Gaza, yang hidup di antara puing dan keputusasaan, kini menghadapi ancaman baru: dipindahkan ke Libya—sebuah negara yang tengah dilanda kekacauan. Laporan NBC News, yang dikutip oleh The Cradle dan Al Mayadeen, mengungkap rencana pemerintahan Trump untuk “memindahkan secara permanen” warga Palestina, dengan tawaran miliaran dolar dari aset Libya yang dibekukan sebagai kompensasi. Hati saya terasa sesak. Ini bukan sekadar manuver politik; ini menyangkut perampasan rumah, identitas, dan harapan. Bagaimana mungkin kita diam saja, sementara dunia mempermainkan nyawa manusia seolah mereka hanyalah bidak catur?

Menurut NBC News, rencana ini bukan sekadar spekulasi. Dua sumber yang mengetahui langsung pembicaraan, serta seorang mantan pejabat AS, menyebut bahwa Washington telah menjajaki kesepakatan dengan pimpinan Libya. Iming-imingnya menggiurkan: pencairan aset Libya yang dibekukan sejak rezim Gaddafi digulingkan pada 2011, ditambah janji rumah gratis dan tunjangan hidup bagi warga Palestina yang “dipindahkan”. Israel, menurut laporan tersebut, mengetahui rencana ini. Namun ide pemindahan seperti ini bukanlah hal baru. Trump sebelumnya pernah mengusulkan Yordania, Mesir, bahkan Somalia sebagai lokasi—semuanya ditolak. Kini, giliran Libya menjadi sasaran. Tapi benarkah ini solusi? Atau justru kedok bagi agenda yang lebih gelap?

Mari kita menengok Gaza lebih dalam. Wilayah ini bukan sekadar titik di peta; ia adalah rumah bagi 2,3 juta jiwa yang telah terkurung dalam blokade Israel selama hampir dua dekade. Sejak 2023, lebih dari 52.000 nyawa telah melayang—termasuk anak-anak yang bahkan tak sempat mengenal langit yang bebas dari dentuman bom, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Rumah-rumah rata dengan tanah, kelaparan merajalela, dan impian-impian terkubur di balik reruntuhan. Di tengah kehancuran ini, Trump justru berbicara tentang menjadikan Gaza “zona kebebasan” di bawah kendali AS, bahkan menyebutnya sebagai “Riviera Timur Tengah”. Ironis, bukan? Bagaimana bisa membayangkan kemakmuran, jika warganya justru hendak diusir? Navi Pillay dari PBB menyebut rencana ini sebagai pembersihan etnis—pelanggaran nyata terhadap hukum internasional.

Saya tidak bisa menerima ini. Sebagai penulis, saya menolak keras langkah AS dan Israel. Jika rencana ini dijalankan, apa yang menghalangi mereka untuk mengosongkan wilayah lain di masa depan? Bayangkan: kampung-kampung di belahan dunia lain—di Asia atau Afrika—dibuang penduduknya demi proyek geopolitik. Gaza bisa menjadi preseden yang sangat berbahaya, membuka jalan bagi pengusiran massal di mana saja. Kita di Indonesia pun pernah merasakan luka pengungsian—ingat warga Poso, atau pengungsi Rohingya di Aceh. Tapi yang terjadi di Gaza ini jauh lebih keji: upaya merampas identitas sebuah bangsa.

Kini, mari tengok kondisi Libya—dan gambarannya makin mengerikan. Sejak 2011, negara ini berubah menjadi neraka pasca tumbangnya Gaddafi. Laporan Chatham House tahun 2025 menyebutkan bahwa perdagangan manusia meraup hampir $978 juta pada 2016 hanya dari penyelundupan. Laporan Departemen Luar Negeri AS tahun 2022 mengungkap adanya pemerkosaan sistematis di pusat-pusat penahanan Libya. Dan sekarang, warga Palestina yang sudah porak-poranda jiwanya hendak dikirim ke sana? Ini bukan “solusi kemanusiaan”; ini hanya memindahkan penderitaan ke tempat yang lebih kelam. Bayangkan jika Indonesia diminta menerima jutaan pengungsi dengan imbalan dana besar. Apakah semudah itu? Tentu tidak. Konflik sosial akan meledak, apalagi di negara yang sudah sedemikian rapuh seperti Libya.

Ada indikasi kuat bahwa ini bukan langkah terpisah. Militer Israel, lewat Operasi Gideon’s Chariots, sedang menduduki Gaza, mendorong penduduk ke arah selatan, dan memperluas wilayah kendalinya, seperti dilaporkan The Cradle. Langkah ini tampak sejalan dengan rencana AS. Israel, menurut NBC News, mengetahui pembicaraan AS dan Libya. Bezalel Smotrich, tokoh sayap kanan sekaligus sekutu Netanyahu, pernah mengusulkan “emigrasi sukarela” warga Palestina. Saya teringat obrolan di sebuah warteg di Jakarta, saat seorang teman mengatakan, “Politik itu cuma soal tanah.” Mungkin ada benarnya, tapi hati saya menolak melihat sejuta jiwa diperlakukan seperti barang dagangan.

Meski begitu, sejumlah keraguan tetap ada. Juru bicara AS menyatakan bahwa rencana ini “tidak benar”. Hamas juga mengaku tidak tahu-menahu, sementara negara-negara Arab seperti Mesir dan Yordania menolak gagasan pemindahan permanen, menurut laporan Al Jazeera. Trump sendiri terkenal plin-plan: kadang mengusulkan pengusiran warga Palestina, kadang menyatakan sebaliknya. NBC News memang mengutip lima sumber anonim—mereka bisa jadi kredibel, namun publik tetap berhak bersikap hati-hati. Saya menduga ini bisa jadi ujian psikologis, semacam balon uji untuk melihat reaksi dunia. Terlepas dari kejelasannya, ancamannya nyata. Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, saya memilih untuk bersuara: rencana ini tidak bisa dibenarkan. Titik.

Skema ini juga tidak bisa dilepaskan dari pola yang sudah lama dimainkan Trump: mencari negara ketiga, menawarkan kompensasi, lalu berharap “masalah” selesai begitu saja. Libya, dengan aset beku yang bisa jadi alat tawar, menjadi sasaran empuk. Tapi Libya bukan negara yang satu suara. Faksi seperti Khalifa Haftar bahkan menolak gagasan serupa, dan menyebutnya sebagai pelanggaran kedaulatan. Kita di Indonesia tahu betapa peliknya persoalan pengungsi. Ingat saat warga Aceh menyambut Rohingya dengan tangan terbuka, sementara pemerintah justru kebingungan mencari jalan keluar? Libya yang sudah remuk tak akan mampu menanggung beban yang sedemikian besar.

Trump menyebut Gaza bisa diubah menjadi “zona pembongkaran” yang kelak dibangun ulang menjadi surga—tanpa penduduk aslinya. Ini bukan soal kemanusiaan; ini soal transaksi. Aset Libya hanya alat tukar untuk menyenangkan semua pihak, kecuali warga Palestina itu sendiri. Saya teringat sebuah diskusi selepas salat Jumat, saat sang khatib berkata, “Ketidakadilan adalah ujian terbesar.” Benar. Di balik semua ini, Israel menjadi pihak yang paling diuntungkan. Netanyahu, meski kabarnya tengah renggang hubungannya dengan Trump, tetap memperoleh keuntungan dari skema yang memperlemah perjuangan Palestina.

Kita di Indonesia pun memiliki sejarah pahit soal pengusiran dan perampasan tanah. Dari transmigrasi era Orde Baru hingga konflik agraria di Papua, kita tahu betapa rapuhnya harmoni jika hak dirampas. Membaca rencana ini seperti melihat bayangan gelap masa lalu yang hendak dihidupkan kembali. Nakba 1948, saat 750.000 warga Palestina diusir dari tanah air mereka, bukan sekadar sejarah—ia hidup kembali dalam bentuk ancaman ini. Saya tidak bisa menerima Gaza dijadikan percobaan bagi skema pemusnahan etnis global. Jika ini dibiarkan berhasil, siapa selanjutnya?

Meski begitu, masih ada secercah harapan. Organisasi Kerja Sama Islam, menurut Al Jazeera, telah mengusulkan agar Gaza dibangun kembali dengan tetap mempertahankan penduduknya di tempat asal—sebuah langkah yang jauh lebih adil dan manusiawi. Namun di tengah dominasi kekuatan besar dunia, akankah suara ini didengar? Saya teringat malam hujan di Jakarta, saat termenung di teras rumah. Dunia ini memang kejam, tapi nurani kita masih hidup, bukan? Kita tidak boleh berdiam diri. Mari galang solidaritas—desak pemerintah Indonesia menolak skema ini di forum internasional, suarakan penolakan di media sosial, dan dukung organisasi kemanusiaan yang membantu Gaza.

Ini bukan hanya soal Palestina. Ini soal kita sebagai manusia. Jika sejuta orang bisa dipindahkan begitu saja seperti barang di gudang, lalu apa makna dari kemanusiaan itu sendiri? Saya menolak rencana ini, bukan hanya demi Gaza, tetapi karena dampaknya bisa menjalar ke mana-mana. Dari Jakarta hingga pelosok dunia, mari bersuara bersama: Gaza bukan pion, dan kemanusiaan tidak boleh dijadikan korban. Hati saya—dan mungkin juga hati Anda—takkan pernah tenang jika kita memilih diam.

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *