Connect with us

Opini

Persiapan untuk Pandemi, atau Perang yang Tak Diakui?

Published

on

Di balik pidato manis tentang kesiapsiagaan kesehatan dan perlindungan warga, Uni Eropa sedang membangun sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih besar, dan lebih genting dari sekadar sistem pertahanan medis. Mereka menyebutnya “EU Medical Countermeasures Strategy”. Nama itu terdengar teknokratik, steril, dan aman. Tapi di balik istilah yang terlihat damai itu, tersimpan narasi yang tak diucapkan dengan lantang: Eropa sedang mempersiapkan dirinya untuk kemungkinan perang besar — termasuk dengan Rusia.

Tidak ada ledakan. Tidak ada mobil tempur di jalanan. Tidak ada perintah wajib militer. Tapi sinyal-sinyal peringatan sudah mulai terdengar — sayup, namun pasti.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

“Kita sedang membangun perisai perlindungan bagi rakyat Eropa,” kata Komisaris Hadja Lahbib.

Kalimat itu dibungkus dengan jargon kesiapsiagaan pasca-COVID. Katanya, ini semua demi menghindari kelumpuhan sistem kesehatan seperti saat pandemi lalu. Tapi kalau kita membaca lebih teliti, dan mendengarkan nada yang tidak diucapkan, kita tahu: ini bukan cuma tentang virus.

Kita bicara tentang 17 langkah menyeluruh dari pengawasan ancaman, pengadaan stok alat pelindung, hingga akselerasi produksi vaksin, bahkan untuk penyakit yang belum ada. Mereka menyebut penyakit itu dengan istilah WHO: Disease X — penyakit misterius yang belum diketahui, tapi diyakini akan datang.

Lalu mereka juga menyebut ancaman dari virus zoonotik seperti Ebola dan flu burung, virus vektor seperti dengue dan West Nile, serta resistansi antibiotik yang mereka sebut sebagai “silent pandemic”.

Tapi tunggu sebentar.

Ada satu baris kalimat yang seharusnya membuat kita semua berhenti dan merenung.

“Termasuk juga ancaman keamanan, seperti serangan kimia, dan dampak dari konflik bersenjata.”

Mereka tidak menyebut Rusia. Tapi siapa lagi yang dimaksud?

Sejak invasi Rusia ke Ukraina, Eropa telah mengalami pergeseran geopolitik terbesar dalam satu generasi. NATO memperluas jangkauan. Negara-negara Baltik siaga penuh. Jerman tiba-tiba menaikkan anggaran pertahanan secara besar-besaran. Polandia mempersenjatai ulang. Dan kini, Uni Eropa membangun “arsenal medis” yang mereka samakan dengan sistem pertahanan.

Mereka tidak bilang ini adalah persiapan untuk perang. Tapi apakah ada pandemi yang membutuhkan detektor kimia, sistem stok darurat terdesentralisasi, dan mobilisasi logistik semasif itu?

Narasi Damai yang Menutupi Ketakutan Kolektif

Eropa tidak ingin rakyatnya panik. Itu wajar. Mereka menyebut strategi ini sebagai bagian dari “the European way of life” — hidup sehat, aman, dan penuh kepercayaan pada masa depan. Tapi mari kita jujur: rakyat Eropa bukan tidak cerdas. Mereka hanya tidak diberi tahu semuanya.

Bayangkan: saat ini hanya tiga negara — Estonia, Finlandia, dan Czechia — yang ikut serta secara penuh dalam penyimpanan stok darurat pusat UE. Mengapa negara-negara kecil di pinggiran Rusia yang paling aktif? Karena mereka tahu. Mereka merasakan dentuman sejarah lebih dekat dari siapa pun.

Sementara negara-negara besar masih bersembunyi di balik retorika diplomasi dan mekanisme pasar. Mereka takut membuka fakta bahwa: Eropa sedang bersiap menghadapi bukan sekadar virus, tapi potensi perang di tanahnya sendiri.

Kita Pernah Gagal. Sekarang Kita Takut Mengakuinya.

Pandemi COVID-19 adalah trauma kolektif. Dunia panik. Ventilator langka. Vaksin rebutan. Masker jadi barang mahal. Eropa, yang selama ini membanggakan sistem kesehatan dan solidaritas antar-negara, ternyata porak-poranda.

Apa pelajaran yang diambil? Bahwa sistem global yang terlalu tergantung pada rantai pasok internasional bisa runtuh hanya karena satu virus. Bahwa negara akan saling sikut saat krisis datang. Bahwa solidaritas bisa hilang dalam sekejap ketika urusannya adalah nyawa warga sendiri.

Tapi alih-alih mengakui kegagalan secara jujur dan terbuka, Uni Eropa kini membungkusnya dalam strategi “countermeasure” yang tampaknya tenang — tapi menyimpan kecemasan yang mendalam. Ini bukan hanya trauma atas pandemi, tapi juga trauma atas kelemahan diri sendiri.

Perang Tanpa Peluru Sudah Dimulai

Kita hidup di zaman ketika perang tidak lagi dimulai dengan invasi militer, tetapi dengan serangan informasi, sabotase siber, gangguan energi, dan ya — senjata biologis atau kimia. Rusia telah dituduh mencoba senjata semacam itu. NATO secara resmi memperhitungkan skenario tersebut.

Uni Eropa pun tidak bisa buta terhadap realitas itu. Tapi mereka memilih bungkam. Mereka memilih istilah yang aman. Mereka tidak ingin menyebutkan bahwa strategi ini adalah bagian dari skema pertahanan sipil terhadap senjata biologis buatan manusia atau teror kimia.

Padahal itu mungkin saja terjadi. Dan para pengambil kebijakan tahu itu. Mereka hanya memilih untuk tidak mengatakannya — agar rakyat tidak gelisah, pasar tetap stabil, dan wajah diplomatik Eropa tetap terlihat damai.

Apakah Kita Siap? Atau Hanya Diam Menunggu?

Strategi ini — sekuat dan sesistematis apa pun — tetap akan gagal jika pada akhirnya hanya menjadi alat birokrasi. Koordinasi antarnegara masih lemah. Transparansi masih rendah. Ego nasional masih terlalu tinggi.

Dan pada akhirnya, rakyat masih belum sepenuhnya tahu apa yang sedang dipersiapkan.

Persiapan tanpa kejujuran adalah bom waktu. Kepercayaan publik dibangun bukan hanya dari masker gratis dan stok vaksin. Tapi dari keberanian pemerintah untuk berkata:

“Kita bukan hanya bersiap menghadapi pandemi. Kita juga bersiap menghadapi kemungkinan konflik bersenjata, karena dunia sedang tidak aman, dan kita tidak akan menunggu sampai semuanya terlambat.”

Kesimpulan: Jangan Hanya Bersiap, Tapi Juga Jujur

Eropa boleh menyusun strategi, mempercepat vaksin, menimbun masker, dan membuat pusat deteksi kimia. Tapi jika tidak ada kejujuran dalam narasi, semua itu hanya akan menjadi benteng semu.

Rakyat Eropa — dan dunia — berhak tahu: bahwa dunia sedang menuju ketidakpastian besar. Bahwa peperangan hari ini bukan lagi tentang pasukan, tapi tentang logistik medis, informasi, dan sistem distribusi.

Dan bahwa musuh kita bukan hanya virus yang tak kasat mata, tapi juga ketakutan yang tidak pernah diucapkan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer