Connect with us

Opini

Perang Ukraina: Geopolitik, Sejarah, dan Masa Depan

Published

on

Perang di Ukraina bukanlah sekadar konflik antara dua negara, tetapi sebuah babak baru dalam permainan geopolitik global yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Banyak yang mengira perang ini dimulai pada 2022, ketika Rusia melancarkan operasi militer di Ukraina. Namun, jika kita menggali lebih dalam, akar dari konflik ini sudah tertanam sejak runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an.

Saat tembok Berlin runtuh dan Perang Dingin berakhir, dunia menyaksikan transisi besar dalam tatanan global. Uni Soviet yang dulu merupakan kekuatan superpower kedua setelah Amerika Serikat mengalami perpecahan besar. Negara-negara yang sebelumnya berada di bawah naungan Soviet mulai mencari jalannya sendiri. Beberapa dari mereka memilih bergabung dengan Barat, sementara Rusia, yang mewarisi kekuatan Soviet, menghadapi dilema besar dalam menentukan masa depannya.

Pada tahun 1990, Menteri Luar Negeri AS James Baker pernah berjanji kepada pemimpin Soviet saat itu, Mikhail Gorbachev, bahwa NATO tidak akan berkembang “satu inci pun” ke arah timur jika Jerman diperbolehkan bersatu kembali. Ini menjadi janji yang sangat penting dalam hubungan antara Rusia dan Barat. Namun, janji ini dengan cepat dilupakan seiring dengan perubahan kepemimpinan di AS dan Eropa.

Seiring waktu, NATO mulai memperluas pengaruhnya dengan memasukkan negara-negara bekas Soviet ke dalam aliansinya. Pada 1999, Polandia, Hungaria, dan Republik Ceko resmi menjadi anggota NATO. Kemudian, pada 2004, ekspansi semakin agresif dengan bergabungnya Estonia, Latvia, Lituania, Bulgaria, Rumania, Slovakia, dan Slovenia. Perluasan ini membuat NATO semakin dekat ke perbatasan Rusia, sesuatu yang bagi Moskow bukan sekadar perkembangan politik biasa, tetapi ancaman langsung terhadap keamanannya.

Untuk memahami ketakutan Rusia terhadap ekspansi NATO, bayangkan sebuah negara besar yang dikepung oleh aliansi militer yang selama beberapa dekade menjadi musuh bebuyutannya. Analogi sederhananya, bayangkan jika sebuah keluarga besar tinggal di satu lingkungan yang awalnya damai, tetapi perlahan-lahan tetangganya mulai mempersenjatai diri dan mendirikan pagar tinggi. Lama-kelamaan, keluarga tersebut merasa terancam dan mulai mencari cara untuk melindungi diri mereka sendiri.

Selain ekspansi NATO, AS juga terlibat secara langsung dalam politik internal Ukraina. Ekonom dan analis kebijakan publik Jeffrey Sachs menyoroti bagaimana Washington memainkan peran besar dalam apa yang disebut sebagai “revolusi warna” di Ukraina. Pada tahun 2004, terjadi “Revolusi Oranye” yang menghasilkan perubahan besar dalam pemerintahan Ukraina. Ini bukanlah revolusi spontan, tetapi didukung oleh dana dan strategi dari Barat untuk mengganti pemimpin yang lebih pro-Rusia dengan yang lebih pro-Barat.

Viktor Yanukovych, seorang politisi yang dianggap lebih dekat dengan Rusia, akhirnya terpilih sebagai presiden pada tahun 2010. Namun, pemerintahannya tidak bertahan lama. Pada 2014, terjadi protes besar-besaran yang berujung pada penggulingannya. AS dan Eropa memberikan dukungan besar bagi kelompok oposisi, sementara Rusia melihat ini sebagai intervensi asing dalam urusan domestik Ukraina. Kejatuhan Yanukovych menandai babak baru dalam ketegangan antara Rusia dan Barat.

Sebagai respons terhadap pergantian kekuasaan di Ukraina, Rusia menganeksasi Krimea pada tahun 2014. Bagi Rusia, Krimea bukan sekadar wilayah strategis, tetapi juga rumah bagi Armada Laut Hitam mereka. Dari perspektif Moskow, aneksasi Krimea bukanlah agresi, melainkan tindakan defensif untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Namun, bagi Barat, ini adalah bukti bahwa Rusia tidak segan-segan menggunakan kekuatan militer untuk memperluas pengaruhnya.

Setelah aneksasi Krimea, ketegangan semakin meningkat. AS dan Uni Eropa menerapkan sanksi ekonomi terhadap Rusia, sementara di dalam Ukraina, konflik di wilayah timur mulai berkobar. Kelompok separatis yang didukung Rusia di Donetsk dan Luhansk memproklamirkan kemerdekaan mereka, yang menyebabkan pertempuran berkepanjangan dengan pasukan Ukraina. Situasi ini terus memburuk selama bertahun-tahun hingga akhirnya mencapai titik didih pada tahun 2022.

Pada Desember 2021, Rusia mengajukan proposal keamanan kepada AS yang intinya adalah agar NATO tidak memperluas keanggotaan ke Ukraina dan menghentikan penempatan sistem rudal di dekat perbatasan Rusia. Namun, permintaan ini ditolak. Dari sudut pandang Moskow, ini adalah sinyal bahwa Barat tidak tertarik pada negosiasi damai, tetapi justru ingin memperpanjang ketegangan.

Pada Februari 2022, Rusia melancarkan operasi militer di Ukraina. Barat langsung merespons dengan sanksi ekonomi yang lebih keras dan bantuan militer besar-besaran untuk Ukraina. Namun, menurut Jeffrey Sachs, bantuan ini bukanlah bentuk dukungan, melainkan cara untuk memperpanjang konflik. Alih-alih mencari solusi damai, AS dan sekutunya justru mendorong Ukraina untuk terus berperang, meskipun korban jiwa terus bertambah setiap harinya.

Perang ini tidak hanya menghancurkan Ukraina secara fisik, tetapi juga membawa dampak global yang sangat besar. Krisis energi dan pangan melanda dunia, terutama di negara-negara berkembang. Harga minyak dan gas melonjak, sementara pasokan gandum dari Ukraina dan Rusia terganggu, menyebabkan lonjakan harga pangan di berbagai belahan dunia.

Dalam konflik ini, retorika “berdiri bersama Ukraina” sering digunakan oleh Barat untuk membenarkan keterlibatan mereka. Namun, Sachs berargumen bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah membantu Ukraina, melainkan membiarkan negara itu hancur demi kepentingan geopolitik. Jika Barat benar-benar ingin membantu, mereka seharusnya mendorong negosiasi, bukan justru memperpanjang perang dengan mengirim lebih banyak senjata.

Ada satu hal penting yang perlu diingat dalam memahami politik global: keputusan besar tidak selalu diambil oleh pemimpin negara semata. Sachs menyoroti bahwa dalam sistem pemerintahan seperti di AS, kebijakan luar negeri lebih banyak ditentukan oleh kompleks industri militer dan badan-badan intelijen. Presiden yang baru terpilih mungkin datang dengan ide baru, tetapi pada akhirnya mereka harus mengikuti kebijakan yang sudah ditetapkan oleh “orang-orang bersetelan gelap” di balik layar.

Ketika melihat perang ini dari perspektif yang lebih luas, kita bisa melihat pola yang sama dalam sejarah. Dari Perang Dingin hingga perang di Timur Tengah, selalu ada motif geopolitik dan ekonomi di balik setiap konflik. Perang bukan hanya soal ideologi atau nasionalisme, tetapi juga soal siapa yang mengendalikan sumber daya dan jalur perdagangan global.

Jika ingin mencari solusi, maka diplomasi harus menjadi prioritas utama. Perang tidak akan menghasilkan pemenang sejati, hanya kehancuran bagi semua pihak. Dalam dunia yang semakin terhubung, stabilitas global tidak bisa dicapai dengan konfrontasi, tetapi dengan dialog dan kompromi. Sayangnya, sejauh ini yang kita lihat justru sebaliknya: dunia semakin terpolarisasi, dengan konflik yang semakin sulit dihentikan.

Maka pertanyaannya adalah, apakah ada harapan untuk perdamaian? Jeffrey Sachs percaya bahwa ada, tetapi itu membutuhkan perubahan besar dalam cara berpikir para pemimpin dunia. Jika tidak, perang ini bisa menjadi awal dari ketegangan yang lebih besar yang akan mengguncang dunia dalam dekade-dekade mendatang.

*Sumber: YouTube

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *