Opini
Penjajahan AS di Timur Tengah: Ketika Pangkalan Militer Jadi Simbol Kemajuan

51.400 pasukan. Itu bukan angka korban perang, bukan jumlah pengungsi, dan bukan statistik dari negara yang sedang darurat militer. Itu adalah jumlah tentara Amerika Serikat yang kini dengan santai menetap di kawasan Timur Tengah. Mereka tidak sedang transit. Mereka tidak sedang berlibur. Mereka tinggal. Menetap. Membangun. Menguasai. Tapi semua baik-baik saja, katanya. Karena ini bukan invasi. Ini “kerja sama pertahanan.”
Mereka tersebar di mana-mana. Qatar menyimpan 10.000 pasukan. Kuwait juga. UEA dan Bahrain masing-masing menyumbang ribuan. Jordan, Arab Saudi, Irak, Turki, Djibouti, dan Suriah pun tak ketinggalan. Bahkan laut pun tak luput—ada ribuan tentara AS yang terapung di Laut Arab dan Mediterania. Mereka hadir bak satpam global, padahal kita tahu: satpam sejati menjaga milik orang, bukan mencuri tanahnya sambil tersenyum.
Yang ironis bukan hanya jumlahnya, tapi sambutan terhadapnya. Rezim-rezim lokal menyambut pasukan itu seperti pangeran dari negeri dongeng: diberi karpet merah, disiapkan pangkalan lengkap dengan AC dan internet super cepat, bahkan diberi hak istimewa untuk tidak tunduk pada hukum lokal. Dalam satu dekade, pangkalan militer telah menjelma menjadi simbol kemajuan. Sinyal 5G dan jet tempur berjalan seiring. Entah sejak kapan pangkalan militer berubah menjadi tolok ukur modernitas.
Yes. Look at all these Muslim invaders in America https://t.co/jcno5bwEDs pic.twitter.com/JUfzZ6QGHH
— Richard Medhurst (@richimedhurst) July 8, 2025
Inilah penjajahan versi 5.0. Tak perlu parade tank, tak perlu deklarasi perang. Cukup buka lahan, bangun hanggar, lalu katakan bahwa ini demi stabilitas kawasan. Padahal, yang dijaga bukan rakyat, tapi jalur minyak dan kepentingan geopolitik. Dan ketika pesawat tempur itu terbang, yang jadi sasaran bukan pelaku kejahatan, tapi desa-desa yang tak pernah muncul di peta Google. Tapi tak ada yang protes. Karena ini katanya demi perdamaian.
Rakyat pun diajak bersikap “dewasa”. Jangan terlalu vokal, jangan ribut soal kedaulatan, jangan ganggu kerja sama strategis. Bahkan jika drone-drone itu salah sasaran dan menjatuhkan bom di atas pesta pernikahan, cukup bilang: collateral damage. Jika ada anak kecil kehilangan kaki di pasar pagi karena ledakan “salah koordinat”, cukup disebut insiden. Tak perlu cari kambing hitam. Karena kambing-kambing itu sudah hangus terbakar bersama korban lainnya.
Yang lebih lucu adalah narasi yang dibangun di balik penjajahan ini. Mereka—rezim lokal maupun propaganda global—bercerita bahwa pangkalan militer asing adalah bentuk dari kedewasaan politik. Bahwa keterlibatan militer AS adalah bentuk kepercayaan. Seolah-olah menjadi tuan rumah bagi penjajah adalah prestasi diplomatik. Seolah-olah semakin banyak jet tempur yang parkir, semakin beradab negara tersebut.
Dan kita tahu, rezim-rezim ini bukan korban. Mereka adalah mitra aktif dari penjajahan. Mereka bukan ditekan, tapi justru membuka pintu lebar-lebar. Mereka bukan takut, tapi justru merasa bangga bisa jadi bagian dari sistem kekuasaan global. Bahkan mereka rela membungkam warganya sendiri yang bertanya: kenapa tentara asing lebih dihormati daripada rakyatnya sendiri?
Kita bisa menyebutnya apa saja—kolonialisme modern, imperialisme lunak, penjajahan terselubung. Tapi intinya sama: ini penguasaan. Ini pendudukan. Ini bentuk baru dari dominasi yang tidak lagi memakai bajak dan kapal, tapi memakai perjanjian multilateral dan pangkalan militer kelas bisnis. Dan ini semua dijual dengan embel-embel “kemajuan”.
Coba pikir: sejak kapan kedaulatan diukur dari seberapa besar pangkalan asing di tanah kita? Sejak kapan rasa aman bergantung pada kekuatan militer negara lain yang punya catatan invasi paling panjang dalam sejarah modern? Sejak kapan bangsa yang berdaulat merasa perlu dijaga oleh tentara asing yang tidak pernah peduli pada nilai-nilai lokal?
Timur Tengah hari ini ibarat rumah besar yang dikontrak paksa. Pemiliknya tinggal di sudut rumah, sementara ruang tamu, dapur, dan atapnya dikuasai oleh penyewa yang membawa senjata. Tapi karena penyewa ini rajin membayar—dengan senjata, teknologi, dan janji investasi—maka pemilik rumah pun diam, bahkan sesekali menyuguhkan teh.
Dan ketika ada tetangga yang protes, bilang bahwa ini penjajahan, pemilik rumah ikut mengecam si tetangga: “kamu terlalu sensitif.” Ya, begitulah wajah baru kolonialisme: ia membuat korbannya lupa bahwa dirinya sedang dijajah. Bahkan ia membuat korbannya marah kepada siapa pun yang mencoba membangunkannya dari tidur panjang.
Mari kita jujur. Tak ada satu pun pangkalan militer asing yang benar-benar dibangun untuk melindungi rakyat. Mereka dibangun untuk melindungi sistem. Sistem yang menguntungkan mereka yang punya jet, bukan yang punya sumur air. Sistem yang memelihara para penguasa boneka, bukan yang mewakili aspirasi rakyat.
Dan jika satu negara mencoba keluar dari sistem itu, coba mengatakan “tidak”—maka saksikan apa yang terjadi. Embargo. Sanksi. Kudeta. Invasi. Kampanye hitam. Semua senjata digunakan, kecuali yang paling tabu: mendengarkan. Karena dalam dunia penjajahan modern, yang berani bicara adalah ancaman. Yang berani mandiri adalah musuh.
Maka tak heran jika satu-satunya negara yang tetap bersikeras berdiri sendiri di kawasan itu terus-menerus dikepung, diisolasi, dan disabotase. Karena keberanian untuk menolak dijajah adalah ancaman paling berbahaya bagi tatanan dunia yang dibangun di atas kepatuhan dan ketakutan.
Bagi kita yang tinggal di luar kawasan itu, kita tak boleh hanya menonton. Kita harus belajar. Bahwa apa yang terjadi di Timur Tengah bukan kejadian jauh. Ia adalah cermin. Karena penjajahan modern tak kenal jarak. Ia bisa hadir di mana saja. Cukup satu panggilan dari kedutaan besar, cukup satu kontrak kerja sama pertahanan, dan tiba-tiba tanahmu jadi markas, udaramu jadi wilayah patroli asing, dan rakyatmu jadi pengamat dalam rumahnya sendiri.
Penjajahan hari ini tak lagi memakai bendera dan lagu kebangsaan penjajah. Ia memakai jargon: “regional security”, “stability partnership”, “defense modernization”. Tapi di balik kata-kata itu ada realitas yang sama tuanya dengan sejarah kolonialisme itu sendiri: penguasaan atas yang lemah oleh yang kuat, dengan bantuan dari mereka yang menjual negaranya demi tahta dan jabatannya sendiri.
Dan pada akhirnya, kita harus bertanya: apakah ini harga dari kemajuan? Apakah membiarkan tentara asing tinggal di tanah kita adalah satu-satunya jalan untuk terlihat “modernitas”? Apakah pangkalan militer harus jadi kebanggaan nasional?
Kalau begitu, barangkali kita semua sedang salah paham tentang makna kemerdekaan.