Opini
Pengkhianatan Al Sharaa di Persimpangan Sejarah

Seorang anggota Kongres AS, Marlin Stutzman, mengungkapkan kepada media Israel pada 4 Juni 2025 bahwa presiden sementara Suriah, Ahmad al-Sharaa, “terbuka untuk berdamai dengan Israel.” Pernyataan ini, yang muncul usai pertemuan di Suriah pada April, ibarat angin aneh di tengah badai konflik yang belum juga reda. Di tengah reruntuhan Suriah pasca-Assad—yang dihantam ratusan serangan udara Israel sejak Desember 2024—pernyataan tersebut terdengar seperti paradoks: harapan atau justru pengkhianatan?
Bagi banyak rakyat Suriah yang sejak lama meneguhkan solidaritas terhadap perjuangan Palestina, ungkapan Sharaa bahwa ia “terbuka untuk negosiasi soal Dataran Tinggi Golan” adalah tamparan keras. Golan bukan sekadar tanah sengketa; ia adalah luka sejarah. Wilayah itu diduduki Israel sejak 1967 dan dianeksasi secara sepihak pada 1981—sebuah tindakan ilegal yang ditolak keras oleh Resolusi PBB 497. Bagaimana mungkin seseorang yang dahulu merupakan bagian dari Hayat Tahrir al-Sham (HTS)—kelompok yang memiliki sejarah kelam keterkaitan dengan al-Qaeda—kini tampil di panggung internasional sebagai sosok yang berbicara tentang perdamaian dengan musuh utama dunia Arab?
Kenyataan ini mengusik nurani. Suriah, yang dahulu di bawah Assad menjadi bagian utama dari poros perlawanan terhadap Israel, kini tampaknya berdiri di titik balik sejarah. Ahmad al-Sharaa, yang menurut laporan bertemu Donald Trump di Riyadh pada Mei lalu, tampaknya tengah memilih jalan pragmatis. Iming-iming pencabutan sanksi AS, janji integrasi dalam Abraham Accords, dan prospek dukungan ekonomi yang masif adalah bujukan besar. Tapi pertanyaannya: berapa harga yang harus dibayar?
Langkah-langkah Sharaa yang menekan keberadaan kelompok perlawanan Palestina seperti Jihad Islam Palestina (PIJ) dan PFLP-GC—yang selama bertahun-tahun mendapat perlindungan di tanah Suriah—telah memantik tudingan pengkhianatan. Ini bukan sekadar perubahan arah kebijakan luar negeri. Bagi banyak pihak, ini adalah pengkhianatan terhadap solidaritas Arab-Palestina yang telah menjadi bagian dari identitas regional.
Di Indonesia, langkah Sharaa ini terasa asing dan menggugah emosi. Isu Palestina bukan sekadar wacana luar negeri; ia adalah denyut emosi kolektif. Dari demonstrasi di Monas hingga boikot produk tertentu, dukungan terhadap Palestina telah menjadi bagian dari kesadaran publik. Kita kerap melihat bendera Palestina berkibar di berbagai pelosok negeri sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Maka ketika mendengar bahwa seorang pemimpin Suriah—yang dulu dipandang sebagai sekutu strategis Palestina—kini membuka pintu normalisasi dengan Israel, rasanya seperti dikhianati dari dalam.
Sharaa pasti sadar akan risikonya. Ia berjalan di antara ranjau. Di satu sisi, ia menghadapi negeri yang hancur akibat perang saudara dan kekejaman kekuatan asing. Ekonomi Suriah terpuruk, infrastruktur nyaris rata, dan rakyat hidup dalam kelelahan berkepanjangan. Dukungan dari Amerika Serikat dan Uni Emirat Arab—yang kabarnya menjadi mediator dialog tak langsung dengan Israel—mungkin terlihat sebagai satu-satunya jalan keluar. Namun, setiap langkah mendekati normalisasi adalah langkah menjauh dari semangat perlawanan.
Laporan Reuters pada 27 Mei 2025 menyebut telah terjadi pertemuan langsung antara pejabat Suriah dan Israel, sesuatu yang sebelumnya tak terbayangkan di era Assad. Tetapi realitas di lapangan tidak berubah. Serangan roket yang diluncurkan pada 3 Juni oleh Brigade Martir Mohammad Deif—dinamai dari komandan militer Hamas yang gugur dibunuh Israel—menunjukkan bahwa perlawanan bersenjata masih hidup. Mereka menyebut serangan itu sebagai reaksi atas kejahatan Israel di Gaza. Bagi kelompok-kelompok ini, Sharaa tak lagi dianggap sekutu, melainkan pengkhianat.
Konflik ini bukan semata soal hubungan diplomatik. Ini soal arah sejarah. Di masa lalu, Suriah adalah bagian dari poros perlawanan bersama Iran dan Hizbullah. Golan, yang kini dihuni komunitas Druze dan pemukim ilegal Israel, adalah simbol kedaulatan yang dirampas. Ketika Stutzman menyebut bahwa Sharaa bersedia bernegosiasi soal Golan selama integritas teritorial Suriah dijamin, itu terdengar seperti kompromi yang meruntuhkan harga diri nasional. Israel sendiri tidak menunjukkan tanda-tanda mundur. Mereka terus memperluas pengaruh militernya di wilayah selatan Suriah, dan sejak Desember 2024 telah melancarkan ratusan serangan udara. Bahkan pada 3 Juni, gelombang artileri kembali menghantam wilayah Suriah. Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, malah menyebut pemerintahan Sharaa sebagai “jihadis dalam setelan jas.” Dalam kondisi seperti ini, perdamaian bukanlah cita-cita, melainkan ilusi.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan dukungan publik yang tinggi terhadap Palestina, tidak bisa memandang ini secara netral. Isu Palestina bukan hanya isu geopolitik, tetapi cermin nilai kemanusiaan. Dari mimbar-mimbar masjid hingga jagat media sosial, isu pendudukan dan kekerasan oleh Israel selalu membangkitkan empati dan perlawanan. Bayangkan jika seorang pemimpin regional tiba-tiba mengumumkan normalisasi tanpa menyentuh luka Gaza atau tragedi Golan—betapa cepatnya linimasa kita dipenuhi kecaman.
Sharaa, yang memiliki rekam jejak dalam kelompok bersenjata dan bukan produk tradisional diplomasi, pasti tahu bahwa langkahnya akan ditafsirkan sebagai pengkhianatan. Namun ia tetap melangkah. Apakah karena putus asa? Atau karena benar-benar percaya bahwa jalan ini bisa menyelamatkan Suriah dari kehancuran lebih lanjut?
Trump dan lingkarannya, dengan proyek Abraham Accords, menawarkan model baru: kemakmuran sebagai imbalan atas kompromi. Tapi pertanyaannya: bisakah kemakmuran dibangun di atas pengkhianatan terhadap prinsip dan perjuangan? Apakah normalisasi dengan Israel adalah kunci masa depan, atau justru awal dari kehancuran moral yang lebih dalam?
Pikirkan rakyat Suriah. Mereka yang kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan. Mereka tidak hanya ingin damai, tetapi juga keadilan. Damai seperti apa yang dijanjikan jika Golan dikorbankan? Damai macam apa yang membungkam Gaza dan menghapus sejarah perlawanan? Ketika Israel terus melancarkan agresi, ketika dunia Arab mulai diam atau bahkan bersekutu, suara perlawanan semakin penting. Sharaa, dalam segala keterbatasannya, memilih jalan berbeda. Tapi jalan itu bukan tanpa konsekuensi.
Laporan Bloomberg pada 24 April mengutip Cory Mills yang menyatakan bahwa normalisasi hanya akan terjadi jika Suriah memenuhi “kepentingan AS.” Ini berarti menghapus pengaruh Iran, melemahkan Hizbullah, dan menghentikan dukungan kepada kelompok-kelompok seperti PIJ. Bagi rakyat Suriah yang selama ini memandang perjuangan Palestina sebagai bagian dari kehormatan nasional, tuntutan semacam ini seperti memaksa mereka memotong urat nadi identitas mereka sendiri.
Dan sekali lagi: Golan. Wilayah ini bukan sekadar lahan strategis; ia adalah simbol keteguhan. Resolusi PBB 497 secara tegas menolak aneksasi Israel atas wilayah tersebut. Namun kenyataannya, pendudukan terus berlangsung, bahkan diperkuat. Israel kini menguasai sebagian besar wilayah selatan Suriah hingga mendekati Damaskus. Bagaimana mungkin sebuah kompromi bisa terjadi jika bahasa yang digunakan adalah artileri, bukan diplomasi?
Di Indonesia, kita belajar bahwa solidaritas adalah kekuatan. Tapi kita juga sadar bahwa solidaritas tanpa prinsip akan kosong. Jika Suriah menyerah, apa yang tersisa dari semangat perlawanan? Jika Golan dinegosiasikan, apa yang bisa kita katakan pada generasi berikutnya tentang keteguhan sikap?
Sharaa kini berdiri di persimpangan sejarah. Ia bukan Assad yang memilih konfrontasi, tapi juga bukan penjaga setia poros perlawanan. Ia adalah tokoh baru yang mencoba bertahan di dunia yang telah berubah. Namun sejarah tak menunggu. Setiap keputusan akan dinilai.
Kelompok seperti Brigade Martir Mohammad Deif menjadi pengingat bahwa perjuangan belum usai. Perlawanan tak akan padam hanya karena satu pemimpin memutuskan berdamai. Di Indonesia, perenungan terus berlangsung: apakah kedamaian layak diperjuangkan dengan mengorbankan prinsip? Ataukah justru prinsip itu yang menjadi dasar damai sejati?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak hanya relevan bagi rakyat Suriah, tetapi juga bagi kita semua. Dari Jakarta hingga Damaskus, dari Gaza hingga Golan, harapan kita adalah satu: keadilan, bukan sekadar kesepakatan. Karena perdamaian sejati hanya lahir dari keadilan yang tak dikorbankan.