Opini
Pemilu Suriah di Bawah Senapan

Bentrokan pecah di Aleppo pada malam tanggal 2 Agustus dan berlanjut hingga dini hari keesokan harinya, antara Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin oleh kelompok Kurdi dan faksi bersenjata yang berafiliasi dengan Kementerian Pertahanan Suriah. Kalimat pembuka laporan itu terdengar seperti penggalan narasi berita biasa—tenang, datar, netral. Tapi mari kita tengok sejenak dari celah reruntuhan Aleppo: di sana, suara ledakan bukan sekadar bunyi latar, melainkan bahasa utama yang berbicara melebihi semua jargon politik. Bahkan menjelang pemilu.
Pemilu. Kata itu seperti ilusi dalam negeri yang hidup dengan paru-paru setengah bocor. Pemilu Suriah akan digelar September ini, dan bayangan demokrasi tampak seperti hantu sopan yang diajak masuk lewat pintu depan sementara tentara dan artileri masuk dari atap. Di saat negara-negara lain sibuk dengan debat kandidat atau janji kampanye, Suriah memulai pesta demokrasinya dengan tembakan mortir dan tuding-menuding antar faksi bersenjata. Barangkali, inilah bentuk demokrasi paling jujur di era pascaperang: demokrasi yang tidak malu-malu menyandang peluru di balik jas resmi.
Pemerintah Damaskus menuduh SDF menyerang lebih dulu. SDF balas menuding bahwa justru faksi tak terkendali dari pihak pemerintah yang memulai provokasi di wilayah Deir Hafer. Ah, ini bukan cuma soal siapa menembak duluan. Ini tentang siapa yang lebih piawai memutarbalikkan fakta dan menjualnya ke dunia sebagai kebenaran. Bukankah begitu gaya politik kita semua? Bahkan di kampung-kampung Indonesia, yang kalah di TPS bisa mengaku dizalimi sistem dan minta ulang suara. Bedanya, di Suriah, ulang suara bisa berarti ulang tembak.
Namun, yang lebih menyakitkan bukan hanya peluru yang terbang. Yang lebih menyayat adalah absurditasnya: pemerintah yang mengaku akan menggelar pemilu nasional malah sibuk menyerang wilayah yang ingin dia dekati. Katanya mau menyatukan negara, tapi malah mengirim pasukan ke wilayah-wilayah otonom. Itu seperti melamar seseorang sambil membakar rumahnya—kalau tidak gila, ya setidaknya sangat yakin diri.
Pemilu seharusnya jadi momentum rekonsiliasi, tapi dalam kasus Suriah, ia justru jadi alat legitimasi kekuasaan yang belum selesai berdamai dengan rakyatnya sendiri. Bukankah demokrasi semestinya memberi ruang bagi perbedaan? Lalu mengapa, setiap kali SDF menyuarakan keinginan untuk tetap menjadi blok mandiri dalam struktur militer nasional, jawabannya selalu datang dalam bentuk meriam dan tembakan artileri? Kalau ini cara Suriah menunjukkan cinta, maka barangkali hubungan domestik di negara itu memang sudah lama toxic.
SDF sendiri bukan malaikat. Mereka lahir dari proyek militer AS, dilatih dan dibentuk untuk menghadapi ISIS, dan kini tumbuh menjadi kekuatan politik yang punya ambisi kedaulatan lokal. Tapi jangan salah sangka. Di balik label “milisi Kurdi,” ada fakta yang tak bisa diabaikan: mereka mewakili komunitas, wilayah, dan struktur pemerintahan yang selama bertahun-tahun dibiarkan mengurus diri sendiri karena Damaskus sibuk menyelamatkan dirinya. Lalu kini, ketika SDF meminta kursi di meja makan, pemerintah tiba-tiba ingin menggabungkan mereka dalam satu tubuh, tanpa menawarkan kepala. Tentu mereka menolak.
Lucunya, dunia tetap diam. Negara-negara Barat yang katanya cinta demokrasi pura-pura sibuk dengan pemilu mereka sendiri, sementara yang lain sibuk berunding dari Paris. Konferensi damai lagi, meja perundingan lagi. Ah, betapa elegannya konflik modern: senapan berbicara di lapangan, sementara para diplomat menyeruput kopi sambil membahas “penyatuan damai” di ruangan ber-AC.
Dan semua ini terjadi menjelang pemilu yang katanya akan menentukan masa depan Suriah. Masa depan macam apa yang bisa dibayangkan dari kotak suara yang dijaga tank? Bagaimana suara rakyat bisa terdengar jika jalan menuju TPS dilintasi oleh konvoi militer? Rakyat di Maskanah, Manbij, dan Deir Hafer mungkin tidak peduli siapa yang menang, karena yang mereka khawatirkan adalah apakah mereka masih punya atap rumah saat pemilu selesai. Demokrasi mungkin penting, tapi tidak lebih penting dari listrik, air bersih, dan keselamatan anak-anak mereka.
Di sinilah kita bisa tertawa getir. Karena di banyak negara, demokrasi sering kali dirayakan dengan penuh semangat, meski hasilnya nihil. Tapi di Suriah, demokrasi bahkan belum sempat dirayakan, sudah keburu ditenggelamkan oleh asap mesiu. Ironisnya, banyak media internasional tetap menyebut Suriah sebagai negara yang akan menyelenggarakan pemilu nasional, seolah-olah itu adalah lencana kehormatan, bukan ilusi yang berdarah.
Sementara itu, Damaskus tetap sibuk membangun narasi. Mereka mengklaim bahwa pasukan mereka hanya “menanggapi serangan,” bahwa mereka menargetkan “sumber tembakan SDF,” bahwa semua tindakan adalah reaksi, bukan inisiatif. Mereka lupa bahwa publik sudah kenyang dengan narasi semacam itu. Bahkan di Indonesia, narasi “kami hanya membalas” sudah digunakan sejak zaman Orde Baru, setiap kali ada kerusuhan. Rupanya, teknik komunikasi militer memang punya kurikulum global.
Yang juga tak kalah menarik adalah bagaimana faksi-faksi ekstremis dalam militer Suriah disebut punya sejarah panjang dalam menindas minoritas, termasuk Kurdi, Alawit, dan Druze. Tapi anehnya, mereka tetap diberi ruang dalam proyek integrasi nasional. Bukankah itu seperti mengajak serigala masuk kandang kambing demi membuktikan bahwa kita bisa “hidup berdampingan”? Mungkin memang sudah waktunya kita ubah definisi integrasi: dari yang dulu berarti “persatuan dalam perbedaan,” kini cukup berarti “menyerah dalam ketakutan.”
Dan di tengah semua ini, kita disuguhi wacana pemilu. Diucapkan dengan nada serius oleh juru bicara pemerintah. Dipublikasikan dengan penuh percaya diri oleh kantor berita nasional. Seolah-olah semua orang bisa lupa bahwa yang sedang berlangsung bukanlah persiapan demokrasi, melainkan pengkondisian militer. Seolah yang dibutuhkan rakyat adalah surat suara, bukan perlindungan dari artileri.
Maka, pemilu Suriah bukan sekadar acara memilih presiden. Ia adalah panggung, semacam sandiwara besar yang dibalut bendera nasional. Di balik layar, aktor-aktornya sibuk menyusun skenario—tentang siapa yang boleh duduk di kursi kekuasaan, siapa yang harus dilebur ke dalam sistem, dan siapa yang harus disingkirkan diam-diam. Yang pasti, suara rakyat tak pernah benar-benar jadi pemeran utama. Paling banter, mereka hanya figuran yang diminta antre, mencoblos, lalu kembali ke rumah yang mungkin besok sudah jadi puing.
Dalam konteks itu, pemilu Suriah tak ubahnya lelucon pahit yang disampaikan dengan wajah serius. Seperti pelawak yang berdiri di panggung reruntuhan sambil membacakan daftar calon presiden. Tapi tak ada yang tertawa. Karena suara tawa tak bisa menyaingi ledakan granat. Dan karena di Suriah, demokrasi bukan sedang diperjuangkan—ia sedang dikuburkan, pelan-pelan, di bawah bayang-bayang senapan.
Pingback: 10 Ribu Nyawa Tumbal Pahit Transisi Suriah - vichara.id