Opini
Pasukan Internasional dan Kebingungan Eropa di Ukraina

Di Paris, suasana konferensi pers di Élysée Palace terasa seperti panggung yang penuh simbol. Emmanuel Macron berdiri di sisi Volodymyr Zelenskyy, berbicara dengan nada penuh keyakinan, seakan hendak mengirim pesan bahwa Eropa masih solid dalam menghadapi perang yang telah menguras energi politik dan moral benua itu. Ia menyebut, 26 negara telah berkomitmen memberi jaminan keamanan bagi Ukraina setelah perang usai. Disebut pula bahwa akan ada pasukan internasional—hadir di darat, laut, dan udara—yang akan menjamin agar tidak terjadi agresi baru dari Rusia.
Namun ketika kata “internasional” terucap, sulit menahan rasa janggal. Internasional yang dimaksud bukanlah representasi dunia global, melainkan lingkaran sekutu Barat yang sejak awal memang berpihak kepada Kyiv. Dari Kanada, Australia, Jepang, hingga negara-negara Eropa, semua berada dalam orbit politik yang sama. Seperti deja vu dari pengalaman di Afghanistan, istilah pasukan internasional hanyalah label manis untuk sesuatu yang sebenarnya partisan. Di Afghanistan, dunia melihat bagaimana “pasukan internasional” pada akhirnya hanya menjalankan agenda politik Barat, dan meninggalkan negeri itu dalam kehancuran ketika mereka mundur. Kini, label yang sama kembali dipakai, kali ini dengan Ukraina sebagai panggungnya.
Macron menambahkan, pasukan tersebut tidak akan berada di garis depan pertempuran, melainkan hanya sebagai pencegah agresi baru. Sekilas terdengar rasional, tapi bila dipikirkan lebih jauh, langkah itu justru berpotensi memicu konfrontasi. Bagi Rusia, kehadiran pasukan Barat di tanah Ukraina, apa pun nama yang disematkan, akan dilihat sebagai provokasi langsung. Bukankah ini sama saja dengan menyalakan obor di tengah ladang kering, lalu berharap api tidak menyala? Klaim jaminan keamanan itu lebih tampak seperti benteng dari kertas: rapuh, mudah terbakar, namun ditampilkan seolah kokoh dan berlapis baja.
Kebingungan Eropa terlihat semakin nyata. Di satu sisi, mereka ingin menunjukkan keberanian politik, mengirim sinyal bahwa mereka tidak akan mundur. Di sisi lain, mereka tahu kemampuan militer mereka terbatas tanpa dukungan penuh Amerika Serikat. Bahkan di internal Eropa sendiri, suara yang muncul tidak seragam. Jerman, Italia, dan Spanyol menolak pengiriman pasukan, lebih memilih berkontribusi lewat dana, pelatihan, atau suplai senjata. Lalu bagaimana mungkin berbicara tentang pasukan internasional jika tiga kekuatan utama Eropa saja tidak sepakat? Komitmen 26 negara terdengar megah di atas kertas, tetapi praktiknya bisa berakhir seperti daftar hadir rapat yang penuh tanda tangan, tanpa kejelasan aksi nyata.
Ketidakpastian itu semakin diperburuk oleh faktor Donald Trump. Para pemimpin Eropa mendatangi Washington dengan rasa cemas, takut Trump benar-benar memaksa Zelenskyy menerima kesepakatan damai yang merugikan, termasuk kehilangan wilayah. Trump menanggapi dengan gaya khasnya: penuh drama, penuh pernyataan ambigu. Ia mengaku memiliki hubungan baik dengan Putin, lalu menyampaikan kekecewaan karena Rusia tetap keras kepala menuntut Ukraina menyerahkan wilayah dan menutup pintu NATO. Seperti biasa, Trump menetapkan tenggat—1 September untuk pertemuan Putin-Zelenskyy—namun kita tahu pola lamanya: tenggat ditetapkan hanya untuk kemudian dilupakan. Di titik ini, nasib ribuan nyawa seolah tergantung pada humor politik seorang presiden Amerika yang lebih sibuk menjaga citra pribadi ketimbang mencari solusi nyata.
Sementara itu, dari Moskow, respons keluar dengan cepat. Kremlin menolak gagasan jaminan keamanan Barat, menyebutnya tidak sah dan tidak mungkin diterima Rusia. Ada logika yang tidak bisa sepenuhnya disangkal. Pasukan Barat, meski dilabeli internasional, jelas bukan pihak netral. Mereka punya sejarah panjang intervensi, mereka punya kepentingan geopolitik yang jelas. Jadi dari perspektif Rusia, pasukan semacam itu hanyalah bentuk lain dari perluasan NATO. Alih-alih menciptakan rasa aman, rencana ini justru bisa dianggap sebagai upaya menjadikan Ukraina protektorat de facto Barat, yang konsekuensinya akan memperpanjang siklus ketegangan.
Menariknya, laporan Barat berusaha memberi kesan bahwa Rusia kini sedang tertekan secara ekonomi. Angka pertumbuhan yang melambat, ancaman stagnasi, bahkan potensi resesi disebut-sebut sebagai tanda bahwa sanksi akhirnya bekerja. Tetapi mari jujur: siapa sebenarnya yang paling menderita? Rusia, meski menghadapi kesulitan, tetap mampu memutar ekonominya dengan mengalihkan energi ke Asia, memperkuat hubungan dagang dengan India dan China, serta mengandalkan cadangan emas dan sumber daya alam. Eropa lah yang justru terjebak dalam inflasi tinggi, krisis energi, dan dilema industri yang kehilangan pasar dan bahan baku murah. Dengan kata lain, retakan besar yang tampak lebih nyata justru ada di tubuh Eropa, bukan di Rusia.
Pertanyaan mendasar kemudian muncul: apa sebenarnya tujuan akhir Eropa? Apakah benar ingin menghentikan perang dengan negosiasi jujur, atau sekadar memperpanjang perlawanan Ukraina sambil berharap Rusia akhirnya lelah? Wacana pasukan internasional lebih terasa sebagai respons panik ketimbang strategi yang matang. Ia hadir sebagai obat penenang politik bagi para pemimpin yang harus menjawab kegelisahan publik mereka sendiri, bukan sebagai solusi nyata yang bisa mengakhiri perang.
Pengalaman Afghanistan seharusnya cukup menjadi peringatan. Dua puluh tahun pasukan multinasional hadir, dua puluh tahun penuh janji stabilitas, dan akhirnya semua runtuh dalam hitungan minggu. Taliban kembali berkuasa, meninggalkan jejak kegagalan besar yang ditanggung terutama oleh rakyat lokal. Kini Eropa tampak ingin mengulang bab yang sama di Ukraina. Bedanya, lawan mereka bukan kelompok bersenjata non-negara, melainkan sebuah negara besar dengan senjata nuklir. Jika di Afghanistan mereka gagal, bagaimana mereka bisa yakin akan berhasil menghadapi Rusia?
Setiap langkah Eropa, sekeras apapun mereka ingin tampak tegas, tetap bergantung pada Amerika Serikat. Macron boleh berdiri gagah di Paris, menyusun kalimat dengan penuh keyakinan, tetapi tanpa restu Washington, semua rencana hanya akan terdengar seperti orkestra tanpa konduktor. Lebih buruk lagi, konduktor yang mereka harapkan, Donald Trump, tampak lebih fokus pada politik domestik dan isu kriminalitas serta ekonomi di dalam negeri. Apakah fondasi rapuh semacam ini bisa diandalkan untuk menjamin keamanan Ukraina? Jawabannya jelas tidak meyakinkan.
Rangkaian janji terus diumbar, konferensi terus digelar, tetapi kenyataan di lapangan tak banyak berubah. Zelenskyy tentu akan menyambut setiap bentuk dukungan, karena ia tidak punya alternatif lain. Namun bagi yang melihat dari luar, sulit menahan rasa getir. Pasukan internasional yang diagung-agungkan hanyalah sekutu Barat yang berusaha menutupi kebingungan mereka dengan jargon baru. Pada akhirnya, rakyat Ukraina lah yang tetap menanggung beban paling berat dari semua manuver politik ini.
Perang bukan sekadar soal senjata dan strategi militer, ia juga soal kejujuran politik. Dan di titik ini, Eropa sedang kehilangan kejujurannya. Mereka ingin terlihat solid, padahal terpecah. Mereka ingin terlihat tegas, padahal gamang. Mereka ingin memberi jaminan keamanan, padahal masa depan mereka sendiri masih penuh ketidakpastian. Ironi itu semakin jelas: di tengah jargon kebebasan dan stabilitas, yang paling nyata justru kebingungan kolektif Eropa menghadapi bayang-bayang Rusia. Sebuah kebingungan yang kini ditutupi dengan ide pasukan internasional, yang lebih menyerupai sandiwara politik daripada strategi untuk perdamaian.