Connect with us

Opini

Paspor Suriah untuk Para Kombatan?

Published

on

Ada sesuatu yang absurd sekaligus getir ketika membaca kabar tentang ribuan kombatan asing yang pernah bertempur di Suriah kini meminta kewarganegaraan dari negeri itu. Mereka, yang datang dari berbagai penjuru dunia—dari Mesir, Arab Saudi, Pakistan, Indonesia, hingga Jerman dan Kanada—menulis surat resmi kepada Kementerian Dalam Negeri Suriah. Dengan enteng mereka menyatakan telah berjasa menggulingkan rezim lama dan karena itu berhak menetap, punya tanah, dan mendapatkan paspor Suriah. Seakan sebuah negara yang hancur akibat perang panjang hanyalah arena pertandingan sepak bola, di mana setelah peluit akhir berbunyi, para pemain cadangan pun menuntut tiket tinggal permanen. Ironi ini bukan sekadar lucu-lucuan; ia adalah tragedi politik yang sedang dipoles menjadi urusan administratif.

Saya rasa kita semua pernah mengalami momen ketika seseorang datang menuntut sesuatu yang bukan haknya, dengan wajah penuh percaya diri, bahkan seolah dunia berutang kepadanya. Bedanya, kali ini yang datang bukan satu dua orang, melainkan ribuan kombatan asing yang membawa jejak darah, senjata, dan ideologi keras. Mereka tak lagi bisa pulang ke negara asal—entah karena dicabut kewarganegaraannya atau takut dihukum mati. Maka, Suriah dipandang sebagai tanah tumpuan terakhir. Masalahnya, Suriah bukan rumah penampungan internasional yang bisa menerima siapa saja tanpa konsekuensi.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Yang membuat lebih tragis, Amerika Serikat justru mendukung rencana integrasi para kombatan ini ke dalam tentara nasional Suriah. Seperti biasa, logika pragmatis menjadi senjata utama: lebih baik mereka dikontrol dalam struktur resmi ketimbang dibiarkan berkeliaran di luar sistem. Thomas Barrack, utusan Trump untuk Suriah, bahkan menyebut para kombatan ini “sangat loyal” pada pemerintah baru. Loyal? Bukankah loyalitas para petempur bayaran itu sejak awal bukan pada tanah Suriah, melainkan pada ideologi dan patron yang membawa mereka masuk? Mengandalkan loyalitas semu semacam itu sama saja seperti percaya bahwa ular berbisa bisa dijadikan hewan peliharaan jinak hanya karena sudah diberi kandang yang lebih luas.

Laporan Wall Street Journal bahkan sudah mengingatkan soal risiko etnisitas dan kekerasan sektarian yang melekat pada kelompok-kelompok asing ini. Dan kita tahu, Suriah bukanlah tanah yang steril dari luka sejarah. Perang saudara yang menghancurkan kota demi kota, keluarga demi keluarga, sebagian besar justru disulut oleh campuran kepentingan luar dan ideologi radikal yang dibawa masuk dari luar negeri. Jadi, bayangkan jika ribuan orang ini diberi paspor Suriah. Apa yang akan terjadi? Mereka tak hanya menjadi “warga baru”, melainkan juga bibit konflik baru yang sah secara hukum.

Di sini absurditasnya makin jelas. Sebuah negara yang berjuang mati-matian keluar dari reruntuhan perang dipaksa memikirkan cara memberi identitas pada orang-orang yang mungkin justru penyumbang terbesar kekacauan itu. Saya tak bisa membayangkan apa yang dipikirkan rakyat Suriah biasa—para ibu yang kehilangan anak, keluarga yang rumahnya hancur, atau anak kecil yang tumbuh di kamp pengungsian—ketika mendengar para kombatan asing ini meminta hak kepemilikan tanah. Tanah? Tanah siapa yang akan mereka tempati? Bukankah tanah itulah yang menjadi saksi rumah-rumah diratakan, pasar dibom, dan masjid dihancurkan?

Kita sering mendengar pepatah Jawa, “rumangsa bisa nanging ora bisa rumangsa”—merasa bisa tetapi tak bisa merasa. Para kombatan ini persis demikian. Mereka merasa berjasa, merasa layak diberi kewarganegaraan, tetapi gagal merasa betapa besar luka yang mereka tinggalkan. Permintaan kewarganegaraan itu seakan menegaskan bahwa dalam logika mereka, perang hanyalah pekerjaan kontrak. Selesai tugas, tinggal minta kompensasi berupa status resmi. Betapa sinisnya dunia ketika nyawa manusia, kehancuran kota, dan perpecahan bangsa bisa direduksi menjadi urusan penerbitan paspor.

Saya juga melihat ironi lain: dunia internasional kerap berteriak tentang bahaya radikalisme, tentang pentingnya memberantas jaringan teroris lintas negara, tetapi kini justru mendorong legitimasi bagi ribuan petempur asing di Suriah. Jika logika ini diterima, maka apa bedanya Suriah dengan perusahaan multinasional yang merekrut tenaga kerja global lalu memberi bonus berupa kewarganegaraan? Bedanya hanya satu: tenaga kerja ini bukan buruh pabrik atau programmer IT, melainkan orang-orang yang terbiasa hidup dengan senjata dan doktrin absolut.

Sekilas memang ada argumen kemanusiaan yang bisa dipahami. Banyak dari mereka kini tak punya kewarganegaraan, hidup dalam limbo hukum, bersama istri dan anak-anak yang juga tak jelas statusnya. Mengabaikan mereka bisa berarti menciptakan bom waktu sosial. Tetapi memberikan kewarganegaraan secara massal tanpa strategi deradikalisasi dan integrasi sosial hanyalah menukar bom waktu itu dengan bom aktif yang siap meledak kapan saja. Suriah, dengan segala kelemahan politik dan ekonominya pascaperang, jelas belum siap menanggung risiko sebesar itu.

Kita bisa belajar dari pengalaman negara-negara lain. Kolombia, misalnya, pernah berusaha mengintegrasikan gerilyawan FARC ke dalam politik formal. Butuh proses panjang, penuh gesekan, bahkan hingga kini masih meninggalkan ketidakpercayaan di akar rumput. Itu pun FARC adalah gerakan lokal dengan akar sejarah di dalam negeri. Sedangkan di Suriah, kita bicara tentang ribuan orang asing dengan ideologi transnasional. Analoginya lebih rumit, seperti seseorang yang baru selesai renovasi rumah setelah kebakaran, lalu tiba-tiba diminta menampung ratusan tamu tak dikenal yang membawa korek api di saku.

Saya rasa, apa yang sedang terjadi ini bukan sekadar debat soal imigrasi atau naturalisasi. Ini adalah pertaruhan tentang kedaulatan, identitas, dan masa depan Suriah. Memberi paspor berarti mengakui mereka sebagai bagian dari bangsa. Dan bangsa bukan sekadar kumpulan manusia, melainkan ingatan bersama, penderitaan bersama, serta cita-cita bersama. Apakah para kombatan asing ini punya bagian dari memori kolektif rakyat Suriah selain darah dan reruntuhan?

Tentu akan selalu ada yang berargumen bahwa sebagian dari mereka mungkin bisa berubah, mungkin bisa menjadi warga baik. Itu benar. Tetapi apakah risiko kolektif layak dipertaruhkan demi segelintir kemungkinan individu? Apakah negara yang rapuh harus menjadi laboratorium percobaan untuk membuktikan teori rehabilitasi pejuang asing? Suriah tidak butuh eksperimen baru. Yang mereka butuhkan adalah pemulihan, pendidikan, rekonstruksi ekonomi, dan ruang aman untuk rakyatnya sendiri.

Pada akhirnya, permintaan ribuan kombatan asing untuk mendapatkan kewarganegaraan Suriah adalah cermin dari dunia yang semakin kehilangan logika keadilan. Mereka yang datang dengan senjata kini menuntut hak atas tanah. Mereka yang memicu perang kini ingin menjadi warga resmi. Dan yang lebih mengejutkan, kekuatan besar dunia justru mendorong langkah itu demi stabilitas semu. Kita, yang menyaksikan dari jauh, hanya bisa menggeleng. Entah harus tertawa getir atau marah. Namun satu hal jelas: paspor bukan sekadar kertas, ia adalah simbol keanggotaan dalam sebuah bangsa. Dan bangsa Suriah berhak menentukan siapa yang layak, bukan siapa yang paling berani mengajukan surat permintaan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer