Opini
Pasar Senjata Eropa Panik Hadapi Perdamaian

Ada sesuatu yang ganjil, bahkan absurd, ketika kabar tentang kemungkinan perdamaian justru membuat pasar senjata Eropa panik. Bukan sektor energi, bukan pula teknologi—tetapi saham perusahaan pertahanan yang merosot tajam. Seolah-olah gencatan senjata adalah musibah, sementara dentuman meriam adalah anugerah. Di sini kita dipaksa menelan kenyataan getir: perang, bagi sebagian orang, bukan tragedi kemanusiaan melainkan sekadar grafik keuntungan di layar bursa.
Penurunan indeks STOXX aerospace & defense sebesar 2,6% setelah pertemuan Trump–Zelensky hanyalah satu gejala. Investor yang menaruh uang di industri pertahanan tiba-tiba menilai saat yang tepat untuk “ambil untung.” Leonardo di Italia turun lebih dari 10%, Hensoldt di Jerman jatuh 9,5%, Rheinmetall ikut tergelincir. Angka-angka yang dingin, tetapi di baliknya menyimpan makna pahit: pasar senjata Eropa menganggap peluang damai sebagai ancaman. Dunia keuangan tampak merindukan konflik, sebab di situlah laba bertunas.
Saya teringat obrolan di warung kopi, ketika seorang teman pernah bilang, “Kalau nggak ada yang sakit, rumah sakit rugi. Kalau nggak ada perang, pabrik senjata bangkrut.” Kalimat sederhana itu terasa klise, tetapi laporan ini membuktikan betapa benarnya logika kapital. Perdamaian adalah kabar buruk bagi portofolio. Bayangkan, dunia yang kita huni menempatkan darah manusia setara dengan nilai saham. Ironi yang menyesakkan dada.
Lalu ada Amerika Serikat, sang maestro dalam bisnis perang. Menteri Keuangan mereka, Scott Bessent, tanpa tedeng aling-aling mengaku bahwa setiap senjata yang dijual ke Eropa untuk Ukraina diberi markup 10%. Sederhana, langsung, bahkan nyaris sinis. Kata dia, keuntungan itu bisa menutupi biaya air cover jika suatu saat Washington benar-benar memberikan perlindungan udara. Jadi, perang ini bukan sekadar soal geopolitik, tapi juga hitung-hitungan dagang, seperti pedagang yang menimbang kiloan cabai di pasar.
Trump pun lihai memainkan perannya. Di satu sisi ia bicara tentang jaminan keamanan bagi Ukraina, tapi menutup pintu NATO rapat-rapat. Di sisi lain, ia memastikan Eropa menanggung 100% ongkos senjata. Dengan begitu, AS tetap mengendalikan permainan tanpa harus membayar penuh tiketnya. Sementara itu, Uni Eropa ibarat pembeli setia yang tak sadar sedang diperas, membayar lebih mahal demi senjata yang justru memperpanjang luka di tanah Ukraina.
Kalau dipikir-pikir, posisi Eropa kini mirip tetangga yang diminta membeli bensin buat mobil orang lain. Mereka mengeluarkan uang, tetapi bukan untuk kepentingan mereka sepenuhnya. Ironinya, mereka bahkan masih dikenai “pajak” 10% oleh Washington. Dalam bahasa sehari-hari, ini bukan solidaritas, melainkan jebakan. Dan pasar senjata Eropa pun membaca situasi itu dengan caranya sendiri: kalau benar perdamaian mulai terasa mungkin, maka mesin bisnis senjata akan kehilangan bensin, dan para investor pun buru-buru melompat keluar.
Kita semua tahu, sejak Jerman mengumumkan pelonggaran aturan utang demi belanja militer, saham sektor pertahanan melesat tajam. Bahkan Uni Eropa meluncurkan program raksasa senilai 900 miliar dolar untuk “memiliterisasi” ekonominya, dengan dalih menghadapi ancaman Rusia. Padahal, ketika ada secercah dialog, seperti pertemuan Trump–Putin di Alaska atau rencana tatap muka Putin–Zelensky, semua narasi itu mendadak goyah. Seakan-akan Eropa lupa bahwa keamanan sejati bukan dibeli dengan tank dan misil, melainkan dengan stabilitas politik.
Namun, laporan ini juga menunjukkan realitas pahit lain: bahwa perang bisa direduksi menjadi semacam grafik kesehatan ekonomi. Saham naik berarti konflik subur, saham jatuh berarti ada harapan damai. Betapa ngerinya ketika penderitaan manusia dijadikan indikator ekonomi, seperti hujan yang dinantikan petani. Tapi bedanya, yang ditunggu di sini bukan panen padi, melainkan panen peluru. Dan kita diminta percaya bahwa ini semua demi demokrasi atau keamanan.
Bagi saya, ada semacam kemunafikan kolektif. Di panggung diplomasi, para pemimpin bicara tentang perdamaian, tentang kompromi, tentang masa depan Ukraina. Tetapi di balik layar, pasar senjata Eropa justru berharap sebaliknya. Mereka merayakan setiap tambahan paket senjata, setiap perpanjangan konflik, karena di situlah nilai saham melonjak. Jadi, apakah benar perdamaian diinginkan? Atau sebenarnya hanya jadi alat tawar, sementara mesin bisnis tetap berputar?
Sejujurnya, kita di Indonesia pun bisa belajar dari absurditas ini. Betapa sering pembangunan atau proyek besar dibungkus dengan narasi mulia, padahal intinya adalah siapa yang mendapat untung. Sama saja: jargon “solidaritas Barat untuk Ukraina” terdengar manis, tetapi nyatanya Washington memastikan setiap dolar yang keluar kembali lagi ke kantongnya, bahkan dengan bunga. Mungkin kita pernah merasa ditipu oleh diskon palsu di mal, harga dinaikkan dulu baru diturunkan. Nah, markup 10% ala AS ini tak jauh berbeda.
Yang lebih menyedihkan, Zelensky terjebak di pusaran ini. Ia menolak tawaran Putin untuk bertemu di Moskow, menuntut lokasi netral, tetapi semua itu berlangsung dalam bayang-bayang kalkulasi pasar. Apa pun hasilnya, pasar senjata Eropa akan bereaksi lebih cepat daripada rakyat Ukraina yang merasakan perubahannya. Perdamaian bisa jadi sekadar kabar buruk di bursa, bukan harapan hidup yang nyata bagi warga sipil.
Saya rasa, kita harus berani melihat langsung wajah telanjang sistem ini: perang bukan sekadar benturan ideologi atau geopolitik, melainkan juga mesin dagang. Washington menjual senjata plus margin. Eropa membayar dengan pasrah. Pasar pertahanan bertepuk tangan ketika tank dipesan lebih banyak. Dan ketika ada percikan perdamaian, investor buru-buru hengkang, seolah-olah damai adalah bencana finansial. Kita tak bisa lagi menutup mata, karena absurditas ini telah terlalu terang.
Maka, pertanyaan akhirnya bukanlah apakah perang ini akan segera berakhir atau tidak. Pertanyaan yang lebih jujur adalah: beranikah dunia benar-benar memilih damai, ketika terlalu banyak orang hidup dari perang? Dan jika jawabannya tidak, maka laporan ini hanyalah cermin kecil yang menunjukkan betapa jauh kita telah melangkah dari akal sehat. Kita hidup di zaman ketika laba lebih berharga daripada nyawa, dan itu—setidaknya bagi saya—adalah tragedi paling sunyi dari semua tragedi.