Connect with us

Opini

Panik di Tengah Serangan: Siapa yang Masih Mau Menolong Netanyahu?

Published

on

Pernyataan tegas Ayatollah Ali Khamenei pada 13 Juni 2025 mengguncang dunia. Dalam pidato yang dilaporkan Al Mayadeen, ia menjanjikan “hukuman berat” kepada zionis atas serangan yang menargetkan wilayah Iran. Agresi itu disebut sebagai “kejahatan berdarah” yang menyasar warga sipil dan infrastruktur strategis. Dunia menyaksikan dengan cemas, sementara Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, terlihat semakin terdesak. Di bawah bayang-bayang Operasi True Promise III—serangan balasan Iran berupa lebih dari 200 misil yang menghantam Tel Aviv dan pangkalan militer Nevatim—pertahanan canggih zionis tampak tak cukup ampuh. Dalam kepanikan itulah, Netanyahu mulai sibuk menelpon siapa saja yang bisa ia harapkan menjadi pelampung penyelamat, memutar arah strategi ke ranah diplomatik yang terkesan putus asa.

Panggilan kepada Narendra Modi, Perdana Menteri India, menjadi langkah pertama yang menonjol. Netanyahu, yang selama ini dikenal sebagai pemain taktis yang lihai, tampaknya menyadari bahwa kekuatannya kian menyusut. India memang mitra strategis Israel dalam bidang pertahanan dan teknologi, namun juga memiliki relasi baik dengan Iran, termasuk dalam proyek pelabuhan Chabahar. Dalam pernyataan resminya di platform X, Modi menyuarakan keprihatinan dan menyerukan perdamaian. Sikap India tampak berhati-hati—netral, namun tidak sepenuhnya menjauh. Bagi Netanyahu, respons itu barangkali mengecewakan, tetapi setidaknya menunjukkan bahwa Israel belum sepenuhnya terisolasi.

Namun, ini baru permulaan dari rentetan sambungan telepon yang ia lakukan. The Times of Israel mencatat bahwa Netanyahu juga menghubungi Kanselir Jerman Friedrich Merz, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan bahkan berencana berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin serta Presiden AS Donald Trump. Nama-nama ini menunjukkan sebuah pola: Netanyahu panik. Ia tidak lagi memilah berdasarkan kedekatan politik atau ideologis, melainkan sekadar mencari siapa pun yang bersedia mendengarkan. Tapi apa yang sebenarnya ia cari dari semua ini? Dukungan militer? Simpati politik? Atau sekadar pengakuan eksistensial bahwa ia belum sendirian?

Di dalam negeri, situasi jauh dari stabil. Sejak pertengahan 2024, demonstrasi terus bergulir menuntut pemilu dini dan pembebasan sandera di Gaza. Tekanan kian menjadi saat partai-partai koalisi seperti Shas mulai goyah dan mengancam hengkang, sebagaimana diberitakan Haaretz. Tuduhan korupsi dan pemecatan Jaksa Agung menambah bahan bakar krisis kepercayaan. Netanyahu, yang dulu mampu bertahan di tengah badai politik, kini terlihat kian limbung.

Di luar negeri, tekanan tak kalah berat. Surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas dugaan kejahatan perang di Gaza membayangi setiap langkahnya. Negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Belanda menyatakan siap menangkap Netanyahu jika ia berkunjung ke wilayah mereka, seperti dilaporkan The Guardian. Dalam situasi ini, panggilan-panggilan diplomatiknya lebih terasa sebagai upaya menyelamatkan diri pribadi ketimbang strategi untuk menyelesaikan konflik.

Amerika Serikat tetap menjadi sekutu utama, namun hubungan ini juga mulai berubah. Pada 13 Juni 2025, CNN melaporkan bahwa AS membantu mencegat rudal Iran menggunakan kapal perusak dan sistem pertahanan darat. Namun, dukungan ini lebih bersifat struktural ketimbang personal. Trump, dalam wawancara dengan CNN, menyebut serangan Israel ke Iran sebagai “sukses besar,” tetapi juga menyayangkan bahwa tindakan itu menggagalkan negosiasi nuklir yang sedang diupayakannya dengan Iran. Bahkan The New York Times melaporkan bahwa Trump berusaha menjaga jarak dari Netanyahu demi menghindari kerugian elektoral di negara-negara bagian kunci dengan populasi Arab-Amerika yang signifikan.

Melihat ini, Netanyahu tampaknya mencoba memperbesar skala konflik—dengan satu tujuan: menyeret sekutu lamanya, terutama AS, ke dalam konflik secara langsung. Narasi yang ia bangun sederhana: jika dunia diam, eksistensi Israel terancam. Tapi narasi ini tak lagi mudah diterima. Di Eropa, misalnya, simpati terhadap Israel mulai surut. Jerman, menurut Deutsche Welle, menghadapi tekanan domestik yang masif untuk menghentikan ekspor senjata ke zionis. Kanselir Merz bahkan menyebut tindakan Israel di Gaza sebagai sesuatu yang “tak bisa dibenarkan”. Prancis, menurut Le Monde, bersiap mengakui negara Palestina secara resmi—sebuah langkah simbolis yang mempertegas isolasi Netanyahu. Inggris, di bawah PM Keir Starmer, juga mengambil posisi lebih kritis.

Rusia tidak memberi harapan. Sebagai sekutu Iran di Suriah, Moskow lebih memilih peran sebagai mediator daripada pembela. Putin kemungkinan besar melihat peluang untuk memperkuat posisi geopolitiknya, bukan untuk menyelamatkan Netanyahu. Negara-negara Teluk seperti UEA dan Bahrain—yang sebelumnya menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accords—kini bersikap netral. Yordania yang sempat membantu sistem pertahanan udara Israel pada 2024 kini memilih fokus pada tekanan domestik.

Dari Indonesia, konflik ini memang terasa jauh, tetapi dampaknya nyata. Ketegangan di Selat Hormuz mendorong harga minyak global naik. Reuters mencatat pada Mei 2025 bahwa ini berdampak langsung terhadap ekonomi Indonesia. Tekanan fiskal dan inflasi menjadi tantangan serius. Di sisi lain, simpati publik terhadap Palestina sangat kuat. Aksi solidaritas di Jakarta pada Oktober 2024 menunjukkan keresahan mendalam terhadap tragedi kemanusiaan di Gaza.

Ini menimbulkan pertanyaan: apakah Indonesia hanya akan menjadi penonton pasif? Atau mau mengambil peran diplomatik yang lebih aktif? Dengan hubungan baik ke Iran dan negara Barat, Indonesia memiliki peluang menjadi jembatan perdamaian. Dunia sedang lelah menghadapi siklus kekerasan. Perang demi perang tak menyelesaikan persoalan, malah memperpanjang penderitaan. Kini, saat bahkan sekutu Netanyahu mulai ragu, dunia juga mempertanyakan: apakah pemimpin yang mengandalkan konfrontasi layak terus dipertahankan?

Netanyahu mungkin masih terus menelepon—Modi, Merz, Macron, Putin—tetapi panggilan-panggilan itu, meski diterima, tidak serta-merta mengubah kenyataan. Israel sebagai negara mungkin masih dijaga AS, tapi Netanyahu sebagai individu sedang menghadapi ujian sejarah: kemarahan rakyatnya, tuntutan hukum internasional, dan tekanan politik yang terus menghimpit. Tidak ada sekutu yang bisa menyelamatkannya dari tiga hal itu.

Refleksi ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih dalam: dalam dunia yang makin terhubung dan sadar, bisakah seorang pemimpin bertahan dengan terus mengobarkan konflik? Serangan Israel ke Iran yang menewaskan komandan IRGC dan ilmuwan nuklir, seperti dilaporkan Al Mayadeen, mungkin ditujukan untuk menggertak, tetapi malah memicu reaksi keras yang membuka luka lebih dalam. Iran membalas, dan meskipun banyak rudal dicegat, sebagian tetap menghantam jantung Israel. Tidak ada yang benar-benar menang dalam perang seperti ini.

Dan bagi Indonesia—yang terpapar dampak ekonomi, serta menyaksikan derita Gaza dari kejauhan—barangkali kini waktunya merenung lebih dalam. Akankah kita terus membiarkan ego para pemimpin menyeret dunia ke dalam jurang yang sama, berkali-kali? Netanyahu mungkin masih menggenggam telepon, tetapi yang ia butuhkan bukanlah sambungan, melainkan kesadaran bahwa kekuasaan tanpa empati hanya akan menggiringnya menuju kehancuran. Di tengah reruntuhan itulah, mungkin suara kita—suara kemanusiaan—masih bisa terdengar, memanggil dunia untuk tidak lagi tunduk pada kekerasan.

 

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *