Opini
Palestina Harus Pindah? Gagasan yang Menyesatkan

“Negara-negara Muslim memiliki wilayah yang 644 kali lebih luas daripada wilayah yang dikuasai Israel. Jadi mungkin, kalau memang ada keinginan kuat untuk mendirikan negara Palestina, akan ada yang berkata, Kami bersedia menampungnya.” Begitu ucapan Mike Huckabee, Duta Besar Amerika Serikat untuk Israel, dalam wawancara dengan BBC. Kalimat itu keluar begitu saja, enteng, seolah berbicara tentang relokasi pasar malam. Padahal yang ia singgung bukan tentang pameran atau properti sementara, melainkan tentang takdir dan tanah air sebuah bangsa.
Ucapan itu menggambarkan sebuah cara pandang yang, bukan hanya keliru secara historis, tapi juga kejam dalam kadar kemanusiaannya. Huckabee menyiratkan bahwa penyelesaian konflik Palestina–Israel bisa diselesaikan dengan menyerahkan sebagian wilayah dari negara-negara Muslim kepada Palestina, seolah bangsa Palestina tak lebih dari entitas buangan yang bisa ditampung siapa saja. Ia mengabaikan sejarah yang panjang dan berdarah—bahwa Palestina bukan pencari tanah, tetapi korban dari perampasan tanah yang sah.
Sejarah mencatat dengan baik bahwa para pemukim zionis datang ke Palestina dalam gelombang imigrasi dari Eropa dan Rusia sejak akhir abad ke-19. Mereka datang membawa ideologi nasionalis-religius dan ambisi mendirikan negara Yahudi di tanah yang telah dihuni masyarakat Palestina selama berabad-abad. Proyek ini bukan datang dari ruang hampa. Ia didorong kolonialisme Inggris melalui Deklarasi Balfour 1917 yang menjanjikan “tanah orang lain untuk didiami oleh orang lain”. Ketika akhirnya Israel berdiri tahun 1948, lebih dari 750.000 warga Palestina terusir dari rumah dan kampung halamannya. Itu bukan teori, itu fakta yang dikenal sebagai Nakba—malapetaka.
Namun kini, di tahun 2025, seorang pejabat tinggi Amerika berbicara seolah-olah bangsa Palestina tak punya hubungan historis dengan tanah itu. Ia mempertanyakan kenapa negara Palestina harus berada di “real estate yang sama dengan Israel”. Ucapan itu bukan hanya membingungkan, tapi menyakitkan bagi siapa pun yang masih menyimpan rasa keadilan. Bukankah jika memang relokasi dibutuhkan, logikanya harus dibalik? Bukankah lebih masuk akal jika para pemukim zionis yang kembali ke negeri asalnya di Eropa atau Amerika Serikat, tempat dari mana mereka datang?
Baca Juga: Penundaan Pengakuan Palestina: Cermin Ketidakseriusan Barat
Sikap Huckabee juga memperlihatkan satu hal yang semakin mencemaskan: menguatnya suara-suara ekstrem di kalangan elite politik Amerika, yang bukan hanya mendukung Israel, tapi mendorong ide “Israel Raya” dengan mengorbankan eksistensi Palestina. Ini bukan sikap pribadi semata. Ketika seorang duta besar berbicara seperti itu di tengah perang berkepanjangan dan krisis kemanusiaan terbesar abad ini, ia sedang mewakili lebih dari dirinya sendiri. Walau juru bicara Departemen Luar Negeri AS kemudian mengatakan bahwa “dubes berbicara atas nama pribadi”, pernyataan itu tak cukup membendung gelombang kemarahan dan kekhawatiran.
Di tanah Palestina, perang tak henti-henti. Sejak serangan Hamas pada Oktober 2023 yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera lebih dari 250 lainnya, Israel melancarkan agresi brutal ke Gaza dan Tepi Barat. Kini, menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikelola Hamas, lebih dari 54.900 warga Palestina telah tewas, seperempatnya adalah anak-anak. Dunia mencatat ini, tapi tak banyak yang mampu menghentikannya. Bahkan ketika sebagian negara seperti Inggris, Kanada, dan Australia menjatuhkan sanksi kepada menteri-menteri ekstremis Israel karena memprovokasi kekerasan terhadap komunitas Palestina, Huckabee justru menyebut sanksi itu “keputusan yang mengejutkan”. Ia bahkan membela mereka.
Sulit memahami bagaimana kemanusiaan bisa direduksi sedemikian rupa menjadi perhitungan geopolitik kering yang menihilkan rasa empati. Di Gaza, anak-anak kehilangan kedua orangtuanya, rumah-rumah luluh lantak, rumah sakit tak lagi bisa berfungsi. Namun bagi sebagian pejabat dunia, termasuk Huckabee, perhitungan itu tak relevan dibanding isu “keamanan Israel”. Pertanyaannya: keamanan siapa yang sedang dijaga? Dan siapa yang dijadikan tumbal?
Di Indonesia, pernyataan Huckabee ini mestinya menjadi refleksi serius. Bagi bangsa yang dalam konstitusinya menolak segala bentuk penjajahan, tidak ada ruang untuk mendukung atau bahkan membiarkan narasi relokasi paksa atas sebuah bangsa. Indonesia sejak awal mendukung kemerdekaan Palestina, bukan karena semata sentimen agama, tapi karena nilai dasar yang kita anut: bahwa setiap bangsa berhak merdeka di tanahnya sendiri. Kini, ketika ada pejabat dari negara superpower yang secara terbuka menyarankan Palestina dipindahkan ke wilayah negara lain, kita harus lebih vokal lagi.
Pernyataan Huckabee juga menyodorkan pertanyaan mendasar tentang peran dan arah diplomasi global. Apakah kita masih punya keberanian untuk menyebut penjajahan sebagai penjajahan, ataukah kita telah berubah menjadi penonton yang bingung, diam di hadapan kekerasan yang dilabeli “solusi”? Ketika Israel menolak secara terang-terangan solusi dua negara, dan para pendukungnya mulai melontarkan ide-ide pengusiran terselubung, dunia justru sedang menghadapi ancaman nyata terhadap prinsip-prinsip hukum internasional yang telah dijaga sejak Perang Dunia II.
Baca Juga: Haji, Palestina, dan Luka yang Tertinggal di Mekkah
Yang lebih memprihatinkan lagi, narasi seperti ini menyebar bukan hanya di forum diplomatik. Ia merembes ke ruang-ruang media, membentuk opini publik yang terdistorsi. Banyak orang, termasuk di Indonesia, tidak lagi tahu siapa yang memulai konflik, siapa yang menduduki, siapa yang dijajah, dan siapa yang sedang berjuang bertahan hidup. Ketika fakta dikaburkan oleh propaganda, ketika penjajah dipoles sebagai korban, maka kita perlu mengembalikan kebenaran ke tengah percakapan.
Maka pertanyaannya kini: apakah kita akan terus membiarkan wacana seperti yang diucapkan Huckabee tumbuh tanpa sanggahan? Apakah kita akan membiarkan sejarah diputarbalikkan oleh mereka yang berkuasa? Atau kita akan berdiri, bahkan hanya lewat kata, untuk mengingatkan dunia bahwa Palestina bukan tanah kosong, bukan proyek relokasi, bukan ruang sisa dari negosiasi global.
Palestina adalah tanah yang hidup, yang menyimpan makam nenek moyang dan suara anak-anak. Ia bukan beban yang bisa dilemparkan ke negara Muslim mana pun. Ia adalah tanah air yang dicintai oleh bangsanya. Dan tak ada cinta yang bisa dipindahkan seenaknya.