Opini
Netanyahu, Iran, dan Perang demi Kekuasaan yang Retak

“Netanyahu telah lama ingin berperang dengan Iran agar bisa tetap berkuasa selamanya.”
Pernyataan itu datang dari Bill Clinton—mantan Presiden Amerika Serikat yang pernah berada di jantung upaya perdamaian Timur Tengah. Ucapannya disampaikan dalam sebuah wawancara di The Daily Show, dan langsung memantik percakapan yang lebih dalam. Clinton tak sedang bermain retorika. Ia sedang mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang jauh lebih gelap di balik kegigihan Benjamin Netanyahu menjaga kursi kekuasaannya: bahwa ancaman perang bukan semata soal keamanan nasional, tetapi juga siasat untuk bertahan dari runtuhnya legitimasi politik.
Yang menarik, pernyataan Clinton justru terasa seperti penegasan atas apa yang telah lebih dulu terjadi di Israel beberapa hari sebelumnya. Pada Rabu, 12 Juni, parlemen Israel diguncang oleh usulan pembubaran yang diajukan oleh oposisi. Dua partai ultra-Ortodoks—pilar penting dalam koalisi Netanyahu—mengancam akan berbalik arah dan mendukung langkah itu. Situasi politik di Tel Aviv tidak lagi stabil. Koalisi retak. Rakyat gelisah. Dan Netanyahu berdiri di tengah pusaran, terdesak dari berbagai penjuru: dari mitra politiknya sendiri, dari para tentara cadangan, dan dari warga yang mulai muak pada ketimpangan yang dibiarkan terlalu lama.
Ketimpangan itu bukan hal baru, tapi kali ini terasa sangat telanjang. Isu wajib militer bagi komunitas Haredi meledak jadi krisis nasional. Selama bertahun-tahun, kelompok Yahudi ultra-Ortodoks ini dibebaskan dari wajib militer dengan dalih bahwa belajar agama di yeshiva adalah bentuk pengabdian lain pada negara. Tapi ketika ratusan tentara Israel—mayoritas dari latar belakang sekuler—tewas di Gaza, pertanyaan moral itu tak bisa lagi dibungkam: mengapa hanya sebagian yang harus berkorban?
Protes menguat. Bukan hanya dari kalangan sekuler, tetapi juga dari keluarga-keluarga tentara, dari masyarakat sipil, dan bahkan dari sebagian militer cadangan. Pemerintahan Netanyahu, yang menggantungkan nasibnya pada koalisi dengan dua partai Haredi, terjepit. Jika kedua partai itu menarik dukungan karena tak mau tunduk pada kewajiban militer, maka koalisi runtuh, dan jalan menuju pemilu dini terbuka lebar. Inilah konteks dalam negeri yang menyempit bagi Netanyahu. Sebuah pemimpin yang selama ini menjual narasi keamanan dan kekuatan militer kini berhadapan dengan krisis legitimasi yang justru lahir dari dalam rumahnya sendiri.
Di titik ini, pernyataan Clinton menjadi lebih dari sekadar komentar politik. Ia tampil sebagai pembacaan tajam atas skenario yang sedang dimainkan: bahwa ketika kekuasaan terguncang dari dalam, ancaman eksternal bisa dijadikan penyelamat. Iran, dalam hal ini, menjadi kambing hitam yang ideal. Perang dengan Iran selalu bisa dijual sebagai kebutuhan strategis dan moral—terutama ketika Netanyahu tak lagi bisa bersandar pada narasi stabilitas koalisi.
Rencana serangan terhadap fasilitas nuklir Fordow milik Iran—yang disebut sedang dipertimbangkan oleh mantan Presiden Donald Trump—tiba-tiba masuk ke panggung retorika. Padahal, tempat itu berada di bawah pengawasan internasional dan tak terbukti menjadi bagian dari proyek senjata nuklir. Bahkan badan intelijen AS dan lembaga pengawas seperti IAEA tak menemukan bukti Iran sedang membuat bom. Tapi dalam politik ketakutan, fakta kerap menjadi aksesori. Yang lebih penting adalah persepsi.
Netanyahu terus memompa ancaman bahwa Iran adalah bahaya eksistensial bagi Israel. Namun publik internasional semakin skeptis. Bahkan di dalam negeri AS, tokoh-tokoh sayap kanan seperti Tucker Carlson dan Marjorie Taylor Greene mulai mempertanyakan narasi perang tersebut. Carlson menyebut rakyat Iran bukan musuh, dan menuduh kebijakan intervensi semacam ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip “America First”. Ini menandakan bahwa bahkan di kubu konservatif, retorika perang mulai kehilangan daya sihirnya.
Sementara itu, Netanyahu menghadapi perpecahan yang makin dalam. Jika perang tak kunjung memberikan hasil yang nyata di Gaza, dan ketimpangan sosial terus dibiarkan, maka rakyat Israel mungkin tak akan lama bersabar. Pertanyaannya: akankah ia mendorong negara itu ke konflik yang lebih luas hanya untuk menunda kejatuhannya? Atau akankah sistem demokrasi parlementer Israel cukup kuat untuk menghentikan pemimpin yang menjadikan ketakutan sebagai pelindung kekuasaan?
Bagi dunia luar, termasuk Indonesia, peristiwa ini adalah cermin yang berguna. Kita juga pernah—dan kadang masih—mengalami bagaimana isu keamanan digunakan untuk menutupi kegagalan dalam soal keadilan sosial. Kita tahu bahwa stabilitas yang dibangun di atas ketimpangan tidak pernah benar-benar stabil. Ia bisa runtuh sewaktu-waktu ketika rakyat merasa dikhianati.
Kisah Israel hari ini adalah tentang pemimpin yang menghindari tanggung jawab dalam negeri dengan menciptakan musuh di luar negeri. Tapi kisah ini juga adalah peringatan: bahwa rakyat yang kehilangan kepercayaan bisa menjadi kekuatan yang jauh lebih besar daripada semua ancaman luar yang diciptakan. Pertanyaannya, bagi kita semua, adalah ini: berapa banyak perang lagi yang harus terjadi agar dunia mulai menyadari bahwa sebagian besar konflik bukan soal pertahanan, tetapi soal mempertahankan kekuasaan?
Jika Clinton benar, maka yang harus ditakuti bukan hanya bom nuklir Israel, tetapi kekuasaan yang tak mau kehilangan kendali. Dan kekuasaan seperti itu tak hanya menghancurkan lawan, tapi juga rakyatnya sendiri.
Sumber:
https://vichara.id/opini/netanyahu-tersudut-apakah-palestina-akan-menang/