Connect with us

Opini

Netanyahu di Ujung Tali yang Mulai Rapuh

Published

on

Sejarah selalu punya selera humor yang aneh. Betapa sering kita melihat Benjamin Netanyahu, politisi yang oleh banyak orang di negerinya disebut sebagai “ahli bertahan hidup”, lolos dari jerat politik yang tampaknya tak terelakkan. Skandal korupsi, demonstrasi besar-besaran, kritik tajam dari dalam dan luar negeri—semua pernah ia hadapi, dan nyatanya ia tetap berdiri di podium kekuasaan. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Aroma ketegangan yang muncul dari jalan-jalan Tel Aviv hingga depan rumah para menteri seakan mengabarkan bahwa trik lama Netanyahu tidak lagi semudah dulu.

Kali ini lebih dari 300 titik aksi, ribuan orang turun ke jalan, sebagian nekat memblokir jalan raya utama seperti Ayalon Highway. Mereka bukan sekadar mahasiswa idealis atau oposisi politik, melainkan keluarga tawanan yang hidupnya digantungkan pada satu keputusan: apakah pemerintah memilih melanjutkan perang, atau menyelamatkan anak-anak mereka? Inilah absurditas yang menghantui negara yang mengklaim sebagai demokrasi, tetapi membiarkan rakyatnya menjerit di depan pintu kekuasaan, menuntut sesuatu yang seharusnya menjadi kewajiban dasar: menyelamatkan warganya sendiri.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Netanyahu, tentu saja, mengenal medan ini. Ia tahu cara memutarbalikkan narasi, menggeser fokus dari kegagalan menjadi ancaman eksternal. Berkali-kali ia memainkan kartu eksistensial: “tanpa saya, Israel akan runtuh; tanpa perang, kita akan dihancurkan.” Retorika ini seperti mantra, yang bagi sebagian warga masih menimbulkan efek hipnotis. Namun, persoalannya kali ini lebih personal. Yang menjerit bukan sekadar pengunjuk rasa anonim, tetapi ibu-ibu yang kehilangan anaknya, ayah yang menunggu kabar dari putra yang ditahan di Gaza. Bagaimana mungkin ia meyakinkan publik bahwa perang adalah solusi, sementara setiap bom yang dijatuhkan justru mengurangi peluang kembalinya para tawanan hidup-hidup?

Ironi ini semakin jelas ketika tokoh-tokoh politik dari berbagai kubu mulai membuka suara. Gadi Eisenkot, seorang anggota Knesset, terang-terangan berkata bahwa waktu Netanyahu sudah habis. Yair Lapid, tokoh oposisi, menyebut seruan mogok keluarga tawanan sebagai sesuatu yang wajar dan patut dihargai. Bayangkan jika di Indonesia ada seorang presiden yang didemo bukan hanya oleh oposisi, tetapi juga oleh keluarga tentara atau polisi yang dikorbankan di medan perang. Itu bukan lagi kritik politik, itu sudah tamparan moral yang sulit ditepis dengan pidato heroik.

Namun, kita tidak bisa gegabah. Netanyahu adalah pemain lama. Ia paham bahwa dalam politik, waktu bisa mengubah segalanya. Ia bisa saja membiarkan protes memuncak, lalu menyalakan api ketakutan lebih besar dengan memprovokasi eskalasi militer baru. Taktik klasik: ciptakan musuh bersama agar rakyat melupakan amarah terhadap pemimpin. Di sinilah letak keraguan saya—bukan karena protes ini kecil, melainkan karena kita sudah berkali-kali melihat Netanyahu memanfaatkan krisis untuk memperkuat posisinya, bukan melemahkannya.

Tapi sekali lagi, kali ini tampaknya tak sama. Opsi eskalasi bukan lagi jalan aman. Mengapa? Karena setiap langkah militer justru berpotensi membunuh tawanan yang masih ditahan. Dan publik tahu itu. Saat seorang ibu seperti Anat Angrest dengan lantang mengatakan bahwa keputusan menyerbu Gaza sama saja membahayakan nyawa anaknya, narasi heroik perang langsung runtuh. Apakah Netanyahu bisa memutarbalikkan suara para ibu yang kehilangan anaknya? Sulit. Karena jeritan seorang ibu jauh lebih kuat daripada teriakan seorang perdana menteri di televisi.

Saya rasa di sinilah letak rapuhnya Netanyahu. Ia memang piawai mengelak dari serangan politik, tapi kali ini serangan datang dari ranah moral dan emosional. Bagaimana ia bisa menjawab ketika rakyat menuduhnya tidak hanya gagal, tetapi juga tega mengorbankan warganya demi mempertahankan kursi kekuasaan? Pertanyaan itu bukan sekadar politik, itu tuduhan moral yang menggerogoti fondasi legitimasi seorang pemimpin.

Mari kita tarik ke konteks yang lebih dekat. Di Indonesia, kita semua tahu bagaimana keluarga korban bencana atau konflik sering menjadi suara paling tulus dan paling sulit dibantah. Mereka mungkin tidak punya kekuatan politik, tapi suara mereka mengiris nurani. Ketika mereka bersuara, publik ikut merasakan. Sama halnya di Tel Aviv hari ini: suara keluarga tawanan menggema jauh lebih keras daripada seruan partai politik. Jika suara ini terus meluas, Netanyahu bisa saja mendapati dirinya berada di persimpangan jalan yang lebih berbahaya daripada skandal apa pun yang pernah ia hadapi.

Namun, apakah ini berarti Netanyahu pasti jatuh? Belum tentu. Ingat, ia masih punya senjata andalan: waktu, retorika, dan kemampuan memecah lawan. Selama oposisi tidak solid, selama protes tidak berubah menjadi gerakan politik terorganisir, ada peluang ia kembali selamat. Kita sudah melihat polanya: ia sering selamat bukan karena ia kuat, melainkan karena lawannya terpecah dan publiknya mudah dialihkan dengan isu baru.

Tetapi mari kita jujur: setiap “selamat” yang diraih Netanyahu hanyalah perpanjangan waktu, bukan kemenangan sejati. Ia semakin kehilangan legitimasi moral. Ia mungkin masih bisa bertahan di kursi perdana menteri, tapi dengan harga yang sangat mahal: masyarakatnya tercerai-berai, ekonominya terguncang, dan citranya sebagai pemimpin yang melindungi rakyat terkoyak habis. Bertahan dalam arti literal, mungkin iya. Bertahan sebagai simbol kepemimpinan yang dihormati? Hampir mustahil.

Pada akhirnya, pertanyaan apakah Netanyahu bisa selamat kali ini sebenarnya lebih dalam dari sekadar “apakah ia masih menjabat atau tidak.” Pertanyaan yang sesungguhnya: apakah sebuah rezim bisa selamat ketika kehilangan kepercayaan dari rakyatnya sendiri, terutama dari mereka yang paling terluka? Kita tahu jawabannya. Kursi bisa dipertahankan dengan intrik, tapi hati rakyat yang hancur tak mudah dipulihkan. Dan ketika seorang pemimpin hanya bergantung pada taktik bertahan hidup, cepat atau lambat tali yang ia genggam akan putus juga.

Namun ada sisi lain yang tak kalah gelap. Skenario paling berbahaya justru bukan jika Netanyahu kalah, melainkan jika ia memilih untuk selamat dengan cara menyeret Israel ke jurang yang lebih dalam: perang dengan Iran. Kita sudah melihat buktinya pada Perang 12 Hari Juni 2025, ketika ia berani menarik pelatuk dan memicu bentrokan langsung dengan Teheran. Perang itu memang berakhir dengan gencatan senjata rapuh, tetapi hingga kini tak ada kata final yang menutupnya. Artinya, bom waktu masih berdetak. Netanyahu hanya perlu satu alasan, satu momentum, untuk menggunakannya lagi.

Berbahaya? Jelas. Tapi bukankah Netanyahu sudah berkali-kali membuktikan bahwa ia lebih memilih membakar rumah seluruh tetangganya daripada mengakui dirinya kalah? Dalam logikanya, lebih baik Tel Aviv hancur bersama dirinya daripada ia runtuh sendirian. Itulah mentalitas yang membuatnya berbeda: bukan sekadar haus kekuasaan, tetapi meyakini bahwa dirinya dan Israel adalah satu tubuh. Jika ia jatuh, maka Israel harus ikut jatuh. Jika ia terbakar, maka seluruh Tel Aviv harus ikut terbakar.

Inilah risiko sesungguhnya dari Netanyahu: bukan hanya bagi lawan-lawannya, tetapi bagi Israel itu sendiri. Setiap kali ia merasa terpojok, ia akan mengangkat taruhan. Dari Gaza ke Iran. Dari isu tawanan ke perang regional. Dari krisis domestik ke ancaman global. Dan dunia harus sadar, bahwa di tangan seorang pemimpin yang menganggap dirinya identik dengan negara, bahkan potensi perang dunia pun bisa dijadikan sekadar kartu penyelamat kursi kekuasaan.

Jadi, ketika kita bertanya apakah Netanyahu bisa selamat kali ini, mungkin kita keliru menempatkan persoalannya. Pertanyaan yang lebih tepat adalah: berapa besar harga yang siap dibayar Israel, bahkan dunia, hanya untuk menyelamatkan seorang Netanyahu? Jika jawabannya adalah perang regional atau bahkan Perang Dunia Ketiga, maka kita sudah tahu betapa rapuh dan berbahayanya sebuah sistem politik yang dibiarkan digerakkan oleh ego satu orang.

Netanyahu bisa saja kembali selamat. Tetapi jika jalannya adalah dengan menyeret seluruh negerinya ke jurang kehancuran, maka sejarah akan mencatat bahwa ia tidak hanya menghancurkan dirinya sendiri, tetapi juga bangsa yang ia klaim lindungi. Dan pada titik itu, selamat bukan lagi berarti hidup—selamat hanyalah sinonim lain dari mati bersama-sama.

1 Comment

1 Comment

  1. Pingback: Netanyahu Membakar Gaza dan Israel Demi Kekuasaan

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer