Opini
Membongkar Keterlibatan India dalam Operasi Mossad di Iran

Ada sesuatu yang mengguncang di balik berita operasi Mossad di Iran. Sebuah ketegangan merembes dari laporan-laporan yang menyebutkan 20 warga negara India ditangkap di Iran, diduga terlibat dalam operasi rahasia Mossad, badan intelijen Israel yang terkenal kejam dan licin dalam menjalankan misi-misi hitamnya. Sebagai penulis, saya menyoroti bagaimana operasi semacam ini bisa melibatkan siapa saja, tak peduli asal negara, bahkan dari bangsa yang secara resmi tidak terlibat konflik. Maka kita di Indonesia perlu belajar dari kasus ini—untuk waspada, agar jangan sampai warga kita ikut terseret dalam pusaran yang sama.
Hati siapa yang tak bergetar membaca kabar itu? Bagaimana mungkin orang-orang biasa—mungkin buruh migran, teknisi, atau profesional yang hanya mencari nafkah—bisa terseret ke jantung konflik global, jauh dari tanah kelahiran mereka? Dari unggahan akun X [@ShaykhSulaiman](https://x.com/ShaykhSulaiman) hingga laporan The Telegraph tanggal 16 Juni 2025, narasi ini terus bergulir, mengungkap penangkapan di Teheran, Alborz, dan Isfahan. Polisi Iran menemukan drone eksplosif dan lebih dari 200 kilogram bahan peledak. Ini bukan sekadar kabar biasa—ini adalah potret bagaimana jaringan operasi intelijen internasional menembus batas negara dan identitas.
Sebagai negara yang berada jauh dari Iran dan Israel, mungkin kita merasa aman di balik selimut samudra. Namun, kasus ini menunjukkan bahwa konflik global bisa menyeret siapa pun yang dianggap “berguna”—dari insinyur migran hingga teknisi kontrak. Dunia ini semakin terhubung, dan semakin rapuh. Apa yang terjadi di Iran bukan semata urusan mereka; bisa jadi itu cermin dari kerentanan kita sendiri.
Iran secara resmi mengklaim bahwa mereka telah menggagalkan operasi Mossad dari dalam negeri—melibatkan pembunuhan pejabat militer senior seperti Hossein Salami pada 13 Juni 2025 dan sabotase sistem pertahanan udara yang memungkinkan serangan Israel menembus langit Iran. Di tengah situasi genting itu, muncul nama India. Bukan sebagai dalang utama, melainkan sebagai bagian dari jaringan global yang kompleks.
Akun X seperti [@SprinterObserve](https://x.com/SprinterObserve) melaporkan bahwa sebagian besar agen yang ditangkap di Iran adalah warga negara India. Bahkan akun lain, [@kalsoom97](https://x.com/kalsoom97), mengklaim jumlah mereka bisa mencapai 73 orang. Angka itu mengejutkan. Bagaimana bisa begitu banyak warga negara India terlibat? Apakah ini hanya rekrutmen individu semata, atau ada skenario yang lebih luas?
Di Indonesia, kita sering cemas soal nasib para pekerja migran di luar negeri. Banyak dari mereka yang jadi korban eksploitasi, perdagangan manusia, bahkan terjerat kasus hukum tanpa perlindungan. Maka, tak berlebihan jika kita bertanya: apakah warga India itu benar-benar agen intelijen, atau sekadar pekerja profesional yang tak sadar sedang digunakan?
The Telegraph menyebut bahwa ini mungkin pelanggaran keamanan terburuk Iran sejak Revolusi 1979. Penangkapan dilakukan di wilayah selatan Iran dan di sekitar Teheran. Bukti yang ditemukan meliputi perangkat komunikasi terenkripsi, drone kamikaze, dan rencana pembunuhan ilmuwan nuklir. Namun pertanyaannya tetap: mengapa India?
Salah satu jawabannya mungkin ada di diaspora mereka. Data dari The Hindu menunjukkan bahwa terdapat sekitar 3,4 juta warga India di Uni Emirat Arab dan 2,6 juta di Arab Saudi. Di Teluk, warga India dikenal luas sebagai tenaga kerja dengan keterampilan tinggi, terutama di bidang teknologi dan teknik. Jumlah mereka di Iran sendiri kecil—sekitar 4.337 orang—sehingga kemungkinan besar perekrutan dilakukan di luar Iran, terutama dari negara-negara Teluk.
Jika hal ini benar, maka mereka bukan agen dari badan intelijen India (RAW), melainkan rekrutan sipil yang bekerja untuk Mossad secara tidak langsung. Mungkin mereka terperangkap dalam tawaran proyek teknologi, atau dijanjikan pekerjaan bergaji besar. Sebagian besar dari mereka mungkin bahkan tak tahu bahwa apa yang mereka rakit adalah senjata pembunuh.
Sebagai penulis, saya tidak ingin serta-merta menyalahkan para individu ini. Tapi saya juga ingin mengangkat kenyataan pahit: bahwa operasi-operasi intelijen modern seperti Mossad kini tak hanya merekrut dari kalangan militer atau agen terlatih, melainkan juga dari rakyat biasa—mereka yang memiliki keahlian teknis, mereka yang terdesak kebutuhan ekonomi, mereka yang percaya bahwa pekerjaan mereka tak lebih dari kontrak profesional. Hal ini harus menjadi peringatan serius bagi kita di Indonesia.
Kita memiliki jutaan pekerja migran, termasuk yang bekerja di sektor teknologi, maritim, dan industri strategis. Mereka bekerja di negara-negara yang juga menjadi medan geopolitik global. Jika India saja—dengan kekuatan diplomatik dan jaringan diaspora global—bisa kecolongan sedemikian rupa, apakah Indonesia benar-benar kebal?
Operasi Mossad bukan hal baru. Kita tahu bagaimana mereka menargetkan tokoh-tokoh seperti Ismail Haniyeh pada Juli 2024 dengan bom berbasis AI, serta serangan pada 13 Juni 2025 yang menewaskan ilmuwan nuklir seperti Fereydoon Abbasi. Laporan akun X seperti [@MintPressNews](https://x.com/MintPressNews) menyebut bahwa truk berisi drone bunuh diri berhasil dicegat di Teheran, sementara akun [@AryJeay](https://x.com/AryJeay) mengungkap penangkapan van penuh peralatan drone di Lorestan.
Dalam banyak laporan itu, warga India disebut-sebut sebagai bagian dari tim teknis—mereka yang bertugas merakit, memrogram, atau menguji peralatan. Jika benar demikian, maka jumlah mereka yang mencapai 20 hingga 73 orang bisa dijelaskan secara logis. Bukan karena mereka agen aktif, tapi karena mereka dibutuhkan sebagai operator terampil berbiaya murah. Ini bukan semata konspirasi, ini adalah logika kejam dari perang modern.
Hubungan India-Israel dalam teknologi militer juga bukan rahasia. Mereka memiliki kerja sama dalam pengembangan drone Heron dan sistem pengawasan udara. Maka tak sulit membayangkan bagaimana warga India yang bekerja di Teluk, dengan akses pada teknologi dan jaringan komunikasi, bisa menjadi target perekrutan atau bahkan tekanan.
Namun demikian, saya berpendapat bahwa kecil kemungkinan ada keterlibatan resmi dari pemerintah India melalui RAW. Mengingat proyek strategis seperti pelabuhan Chabahar di Iran, keterlibatan terbuka akan berisiko merusak kepentingan geopolitik India sendiri. Maka, kemungkinan besar ini adalah skenario infiltrasi personal, bukan desain institusional.
Namun tetap saja, angka 73 bukan angka kecil. Apalagi jika melihat kompleksitas operasi Mossad yang membutuhkan banyak elemen teknis: dari pengintaian, sabotase, pengiriman alat, hingga pelatihan. Laporan [@AryJeay](https://x.com/AryJeay) soal bengkel eksplosif di Alborz menunjukkan bahwa Mossad membangun ekosistem logistik di dalam Iran. Maka peran warga India, jika memang terbukti, harus dilihat sebagai bagian dari sistem pendukung teknis, bukan inisiator.
Apa yang bisa kita pelajari dari semua ini?
Pertama, kita harus menyadari bahwa globalisasi bukan hanya tentang perdagangan dan pertukaran budaya, tapi juga tentang risiko yang mengintai. Dunia kerja hari ini memungkinkan siapa pun bekerja di bidang berisiko tinggi tanpa mengetahui dampaknya.
Kedua, negara seperti Indonesia yang punya banyak pekerja migran terampil harus mulai membangun sistem perlindungan dan pengawasan yang lebih baik, termasuk literasi geopolitik dan keamanan digital. Jangan sampai warga kita direkrut tanpa sadar oleh kekuatan asing hanya karena tergiur kontrak yang tampak sah.
Ketiga, kita harus melatih empati dan berpikir kritis. Warga India yang ditangkap itu bukan sekadar angka—mereka punya keluarga, punya cita-cita, dan mungkin tak tahu apa yang sedang mereka hadapi. Tapi mereka juga bisa menjadi cermin dari kita semua: bahwa dalam dunia yang penuh intrik, siapa pun bisa jadi pion dalam permainan besar.
Pada akhirnya, dunia ini memang tak lagi terkotak oleh batas negara. Ketika konflik terjadi di Iran, pekerja dari India bisa ikut terseret. Lalu, siapa yang bisa menjamin bahwa warga Indonesia tak akan bernasib sama di masa depan?
Refleksi ini tidak hanya tentang India atau Iran. Ini tentang semua kita yang hidup dalam dunia global yang saling terhubung tapi juga rentan. Dunia di mana identitas bisa disamarkan, niat bisa dimanipulasi, dan keahlian bisa disalahgunakan. Maka, pada pukul 11.41 WIB, 18 Juni 2025 ini, izinkan saya mengetuk kesadaran kita bersama: mari waspada, sebelum kita ikut diperalat oleh kekuatan yang tak peduli siapa kita, selama kita bisa dimanfaatkan.