Opini
Membedah Forum Kramat: Apa yang Tak Terucap?

Forum Kramat, sebuah forum diskusi yang digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Jumat, 23 Mei 2025, menghadirkan tema “Amerika dan Dunia Arab pasca Kunjungan Presiden Donald Trump.” Hadir sebagai narasumber adalah Gus Ulil Abshar Abdalla (Ketua PBNU) dan Muhamad Syaroni Rofi’i, PhD (dosen HI UI dan alumni Universitas Marmara, Turki), dipandu oleh Ahmad Rozali dari LTN PBNU. Forum yang disiarkan langsung dari Gedung PBNU ini membahas arah baru hubungan AS-Timur Tengah pasca kunjungan Trump ke Riyadh.
Namun, dari layar ponsel saya yang menyimak jalannya diskusi, justru muncul kegelisahan. Bukan karena kurangnya informasi, tapi karena narasi yang disampaikan terasa terlalu tenang untuk kawasan yang tengah bergolak.
Di balik semangat diskusi, saya menangkap penyederhanaan yang justru mengaburkan kompleksitas. Kerangka lama—Sunni versus Syiah, Saudi sebagai benteng Sunni, Iran sebagai musuh utama—masih saja dipakai. Ini seperti menonton film lama dengan skrip yang tak kunjung diperbarui. Padahal, pada April 2025, Saudi mengirim Menteri Pertahanannya ke Tehran, seperti dilaporkan Al Arabiya—sebuah langkah rekonsiliasi yang secara langsung menggoyahkan dikotomi tersebut. Bukankah ini menunjukkan bahwa peta politik Timur Tengah kini jauh lebih cair? Saudi menjalin kedekatan dengan Tiongkok dan Rusia, sementara hubungan dengan AS sempat mendingin di era Biden. Sayangnya, nuansa ini luput dibahas. Narasi sektarian tidak hanya kedaluwarsa, tapi juga menghalangi pemahaman terhadap dinamika aliansi lintas sekte yang mulai tumbuh.
Saya teringat obrolan di sebuah warung kopi Jakarta. Seorang teman berkata, “Politik itu kayak air; tampaknya tenang, padahal arusnya kuat.” Sayangnya, diskusi Forum Kramat tampaknya lebih memilih melihat permukaan yang tenang itu.
Label terhadap kelompok perlawanan seperti Houthi sebagai “pengacau” dengan Iran sebagai dalangnya juga terasa menyederhanakan persoalan. Ini membuat saya mengelus dada. Houthi bukan sekadar proksi Iran; mereka lahir dari kondisi sosial yang timpang dan intervensi asing yang berkepanjangan di Yaman. Perjuangan mereka punya akar lokal yang kuat. Melabeli mereka semata-mata sebagai milisi mengabaikan sejarah panjang ketidakadilan yang mereka alami. Seorang aktivis di platform X pernah menulis, “Perlawanan adalah ekspresi martabat, bukan sekadar gangguan.” Forum seharusnya memberi ruang untuk menggali motivasi perlawanan, bukan sekadar mengulang narasi dominan ala Barat.
Begitu pula dengan narasi dualisme Saudi-Iran: yang satu pro-Barat dan modern, yang lain anti-Barat dan konfrontatif. Dunia tidak sesederhana itu. Saudi kini bersiasat dengan menggandeng Tiongkok dalam kerangka Belt and Road Initiative, sementara Iran masih rutin membuka ruang dialog dengan Eropa. Kunjungan Saudi ke Tehran seharusnya cukup untuk menyadarkan kita bahwa mereka bukan sekadar pion AS. Ketika peta kekuatan global terus berubah, melihat negara-negara Timur Tengah hanya sebagai bidak hitam-putih adalah kekeliruan. Seorang mahasiswa di Jakarta mungkin akan bertanya, “Kalau dunia hanya punya dua kubu, kenapa Indonesia pusing menjaga netralitas?” Forum seharusnya melihat kawasan ini sebagai papan catur yang penuh manuver cerdas, bukan permainan dua warna.
Salah satu poin yang membuat saya makin resah adalah keyakinan terhadap jaminan keamanan dari AS. Ketergantungan ini dipotret seolah mutlak, padahal pengalaman Eropa saat AS menarik dukungannya dari Ukraina menunjukkan betapa cepat segalanya bisa berubah. Laporan The Washington Institute bahkan mencatat lonjakan serangan ISIS di Suriah pasca-penarikan pasukan AS—dari lima menjadi 14 serangan per bulan. Jika itu terjadi di Suriah, apa yang membuat kawasan Teluk merasa aman? Trump, dengan prinsip “America First”-nya, sangat mungkin mengabaikan sekutu demi kepentingan dalam negeri. Saya teringat ucapan sopir taksi Jakarta, “Negara besar mah cuma mikirin duit.” Sebuah ironi yang seharusnya menyadarkan kita untuk lebih kritis terhadap janji manis keamanan dari luar.
Pragmatisme Trump pun hanya disentuh sekilas dalam diskusi. Padahal, inilah lubang besar yang bisa meledak sewaktu-waktu. Teman saya di X pernah menulis, “Trump berdagang dengan siapa saja, asal untung.” Pertemuan dengan presiden transisi Suriah, Ahmad al-Sharaa, mantan jihadis, di Riyadh misalnya, dipuji sebagai langkah normalisasi Suriah. Namun, serangan ISIS yang terjadi di Mayadin hanya sepekan setelahnya menunjukkan bahwa langkah ekonomi jangka pendek ini bisa membawa konsekuensi jangka panjang. Diskusi di Forum Kramat tidak mempertanyakan apakah keuntungan instan ini sebanding dengan harga ketidakstabilan yang harus dibayar.
Pujian terhadap pencabutan sanksi dan peluang ekonomi dalam normalisasi dengan Suriah juga terasa terlalu tergesa. Latar belakang Ahmad al-Shaara yang kontroversial sebagai pemimpin transisi mestinya cukup untuk menimbulkan kewaspadaan. Laporan yang sama dari The Washington Institute mencatat masih maraknya serangan ekstremis—sebuah pengingat bahwa stabilitas masih ilusi. Saya teringat kalimat dari seorang teman di X: “Perjanjian itu kertas, tapi damai itu rasa.” Forum seharusnya tidak sekadar menghitung potensi ekonomi, tapi juga mengkritisi fondasi rapuh dari “stabilitas” yang dibanggakan itu.
Saya menyimak Forum Kramat dari jauh, dan yang saya rasakan bukan sekadar ketidaksepakatan, tapi kekecewaan. Diskusi itu seperti kapal yang berlayar tanpa kompas, tak menyadari badai di cakrawala. Narasi tentang stabilitas, investasi, dan perdamaian terasa mengabaikan kenyataan pahit: Timur Tengah adalah mozaik yang kompleks, penuh luka sejarah, dan dinamika yang tak bisa direduksi menjadi dikotomi belaka. Sementara suara-suara dari kawasan, termasuk mereka yang memilih jalan perlawanan, terus diredam oleh narasi dominan yang mengabaikan akar persoalan.
Kita butuh cara pandang baru yang tak terus-menerus terjebak dalam narasi usang: blok Timur lawan Barat, Sunni lawan Syiah, stabilitas lawan kekacauan. Dunia sedang berubah, dan Timur Tengah bukan lagi papan catur bagi adu strategi kekuatan luar—mereka punya agensinya sendiri, sejarahnya sendiri, dan luka yang tak bisa dibungkam dengan investasi miliaran dolar atau perjanjian simbolik.
Sudah waktunya kita berhenti menafsir dunia lewat kacamata pihak ketiga. Kita harus mulai menggali narasi dari suara-suara yang selama ini dituding sebagai pengganggu, padahal mereka hanya menuntut keadilan dan hak untuk hidup bermartabat.
Kalau diskusi masih terperangkap dalam blok dan dikotomi, maka yang lahir bukan perdamaian, tapi ilusi damai yang rapuh.
Forum seperti Kramat seharusnya tak sekadar memantulkan gema kekuasaan, tapi menjadi ruang tempat lahirnya cara pandang yang lebih berani—yang tak takut menyelisik akar, melampaui sekat, dan menggugat nalar lama.
Karena tanpa itu, kita hanya akan terus mengulang kebisingan, tanpa pernah benar-benar bicara.