Connect with us

Opini

Mantra Klasik Solusi Dua Negara untuk Perdamaian Israel-Palestina

Published

on

Mantra Klasik Solusi Dua Negara untuk Perdamaian Israel-Palestina

Di tengah gemuruhnya dunia yang berharap konflik Israel-Palestina bisa segera berakhir dengan damai, wacana solusi dua negara kembali muncul di permukaan, dibawa oleh Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Lloyd Austin. Dengan penuh harapan dan keyakinan, Presiden Prabowo mengungkapkan dukungannya terhadap “two states solution” yang, menurutnya, juga disepakati oleh pihak-pihak terkait. Meskipun kenyataannya, perdamaian ini tampaknya sudah mulai menjadi cerita klasik yang berputar-putar tanpa akhir.

Solusi dua negara, sebuah wacana yang sudah didengung-dengungkan sejak bertahun-tahun lalu, seolah menjadi mantra sakti untuk menyelesaikan konflik yang telah mengorbankan ribuan jiwa dan menghancurkan harapan. Tetapi jika kita cermati lebih dalam, bisakah kita benar-benar menyebutnya sebagai solusi? Ataukah ini justru menjadi jalan panjang yang berkelok-kelok menuju penundaan yang tiada habisnya?

Mari kita pikirkan sejenak. Israel, negara yang dilindungi secara penuh oleh Amerika Serikat, satu-satunya kekuatan yang memiliki veto di Dewan Keamanan PBB dan tanpa malu-malu menggunakan hak tersebut untuk melindungi setiap kebijakan dan tindakannya, kini diajak untuk berbicara soal perdamaian yang adil. Berdialog dengan AS, yang menjadi sekutu utama Israel, seolah berbicara dengan pihak yang jelas-jelas telah mengabaikan suara Palestina selama puluhan tahun. Bukankah ini lebih mirip seperti berbicara dengan cermin yang selalu memantulkan wajah yang sama?

Ketika AS, sebagai negara yang secara langsung mendukung Israel dengan dana dan senjata, mengusulkan perdamaian, ini bisa kita anggap seperti seseorang yang terlibat dalam sebuah kebakaran, lalu menawarkan diri untuk menjadi pemadam api – sambil terus membawa galon bensin di tangan. Perdamaian versi AS, dengan segala kemegahan solusi dua negara, tampaknya lebih seperti bentuk perjanjian yang dimulai dengan premis bahwa Palestina hanya bisa “berdamai” dengan Israel jika mereka bersedia “dirantai” – yakni menerima kenyataan sebagai negara kecil dengan kekuatan yang terbatas dan hak-hak yang terabaikan.

Lalu, apa yang sebenarnya sedang kita bicarakan di sini? Perdamaian atau legalisasi penjajahan? Ini bukan hanya soal dua negara yang hidup berdampingan dalam kedamaian, tetapi soal Palestina yang harus menerima eksistensi Israel dengan syarat-syarat yang semakin membatasi ruang geraknya. Kita menyaksikan rakyat Palestina yang setiap hari berjatuhan, baik dari serangan militer atau akibat kebijakan yang tidak memberikan ruang bagi masa depan mereka. Sementara itu, dunia terus berputar dengan wacana perdamaian yang terasa semakin absurd, seolah berbicara tentang solusi yang hanya diterima jika disetujui oleh pihak yang tidak pernah benar-benar ingin berdamai.

Presiden Prabowo menyarankan gencatan senjata, berharap solusi ini bisa membawa kedamaian yang stabil di kawasan. Namun, bukankah sudah terlalu banyak gencatan senjata yang hanya berakhir dengan ketegangan yang meningkat setelahnya? Bukankah kita telah melihat gencatan senjata yang hanya menjadi jeda sementara sebelum kembali berlanjut ke kancah kekerasan? Jika kedamaian ini hanya akan terus dipaksakan dalam kerangka yang timpang, apakah kita benar-benar berharap dunia akan melihatnya sebagai langkah maju? Atau ini justru hanya menjadi upaya untuk “mendamaikan” penjajahan dengan cara yang lebih elegan, dengan dunia yang terus menunggu, tanpa pernah benar-benar memberikan solusi yang adil bagi Palestina?

Mengajak AS untuk berdialog soal perdamaian mungkin saja sebuah langkah diplomatik, tetapi meminta mereka untuk melakukan aksi nyata yang adil terhadap Palestina adalah hal yang tampaknya semakin jauh dari jangkauan. Karena kenyataannya, AS sudah lama memilih sisi dalam konflik ini, dan mungkin itulah yang membuat segala wacana perdamaian terasa semakin absurd. Dalam dunia yang penuh ketidakadilan ini, apa yang lebih penting dari sebuah solusi yang sebenarnya tidak ingin disepakati oleh mereka yang memiliki kekuatan terbesar? Mungkin kita semua hanya sedang bermain dalam sebuah sandiwara perdamaian, yang akhirnya hanya menjadi alasan untuk mempertahankan status quo.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *