Connect with us

Opini

Konflik Belum Usai, Aleppo Disulap Jadi Panggung

Published

on

Di Aleppo, kota yang luluh lantak oleh perang saudara selama 14 tahun, Ahmad al-Sharaa, Presiden Sementara Suriah, berdiri di hadapan rakyatnya pada Selasa malam, 27 Mei 2025. Dengan suara penuh semangat, ia mengumumkan bahwa masa rekonstruksi telah dimulai—sebuah seruan kepada seluruh warga Suriah untuk bersatu membangun kembali negeri yang porak-poranda. “Mari kita rebut kesempatan ini dan tunaikan tugas kita kepada-Nya,” ucapnya, mengajak rakyat bergandengan tangan demi masa depan yang lebih baik. Namun di balik gema kata-kata penuh harapan itu, kenyataan di lapangan berbicara lain: delapan orang tewas dalam serangan di Suluk, dan 20 lainnya luka-luka akibat bentrokan di Raqqa. Janji rekonstruksi terdengar megah, tapi darah masih menetes di tanah yang sama. Harapan dan kenyataan bersilangan dalam potret tragis negeri yang belum pulih.

Aleppo bukan sekadar tempat al-Sharaa berpidato. Kota ini adalah simbol luka yang dalam dalam sejarah Suriah modern. Bangunan yang pernah menjulang kini hanya tinggal puing-puing. Jalan-jalan yang dulu ramai berubah menjadi labirin kenangan pertempuran—antara oposisi dan rezim, antara masa lalu dan harapan yang belum pasti. Ketika al-Sharaa menyebut tentang “babak baru”, kita tak bisa menutup mata terhadap kenyataan yang dihadapi warga Aleppo: rumah-rumah hancur, sekolah runtuh, dan trauma yang masih mengendap di benak anak-anak dan orang tua. Menurut laporan Al Mayadeen, perang tak hanya menghancurkan infrastruktur fisik, tapi juga menghantam jantung kehidupan sosial—mengungsikan jutaan orang, melumpuhkan ekonomi, serta merusak layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Rekonstruksi, pada akhirnya, bukan hanya tentang membangun gedung, tapi membangkitkan kembali harapan yang telah lama padam. Tapi bagaimana menyalakan harapan ketika ledakan dan bentrokan masih terus terdengar dari Raqqa ke Suluk?

Bagi kita di Indonesia, mungkin sulit membayangkan skala kehancuran seperti di Suriah. Namun, jejak-jejak luka konflik bisa dikenali dari sejarah kita sendiri—di Poso, di Ambon. Konflik di masa lalu telah mengoyak jaringan sosial, memecah belah komunitas, memiskinkan keluarga, dan membuat masa depan tampak suram. Meski konteks dan skalanya berbeda, kita tahu betapa sulitnya menyatukan kembali masyarakat yang tercerai-berai oleh kekerasan. Maka ketika al-Sharaa mengajak rakyatnya untuk “bergandengan tangan,” kita mafhum betapa besar tantangan yang ia hadapi. Terlebih, laporan dari Manbij menunjukkan sisi lain dari Suriah pasca-pidato: bentrokan kembali terjadi antara pasukan keamanan dan kelompok bersenjata tak dikenal. Jalan menuju Bandara Internasional Aleppo bahkan diserang, menambah deretan kekerasan yang seolah tak kunjung usai. Ini bukan hanya tentang keamanan; ini adalah cerminan dari kompleksitas konflik yang belum selesai, dan bayang-bayang faksi bersenjata yang terus menghantui narasi persatuan.

Seruan al-Sharaa tentang membangun “negara yang layak untuk rakyat yang pantas” memang terdengar menggugah. Tapi apa arti dari kalimat itu bagi warga Suwayda, di mana dua anggota Pasukan Keamanan Umum tewas akibat ranjau di gurun Tulul al-Safa? Menurut Al Mayadeen, kejadian ini hanyalah satu dari banyak kekerasan yang masih terjadi di berbagai penjuru Suriah. Fakta ini menyodorkan kebenaran yang tak bisa dielakkan: stabilitas adalah fondasi rekonstruksi, dan hingga kini Suriah belum mencapainya. Tanpa keamanan, bagaimana mungkin investor—meski mungkin mulai tertarik pasca-pencabutan sanksi AS pada 13 Mei 2025—akan berani menanamkan modalnya? Dalam pertemuan yang diadakan antara al-Sharaa, Putra Mahkota Saudi Mohammad bin Salman, dan Presiden Trump, disebutkan bahwa sanksi akan dicabut. Langkah ini bisa membuka pintu bantuan kemanusiaan dan investasi asing. Namun, tanpa jaminan stabilitas, dana-dana itu hanya akan tersedot dalam pusaran konflik atau, lebih buruk, lenyap dalam jaringan korupsi.

Di titik ini, kita perlu mengajukan pertanyaan mendasar: apa sebenarnya yang paling dibutuhkan Suriah hari ini? Seruan untuk persatuan memang penting, tapi bagaimana membangun kesatuan di atas fondasi yang retak oleh perbedaan ideologi, loyalitas suku, dan kepentingan asing? Bentrokan di Raqqa antara faksi militer dan kelompok suku menunjukkan bahwa ketegangan horizontal masih kuat mencengkeram. Suriah menghadapi lebih dari sekadar reruntuhan fisik; ia juga harus menghadapi reruntuhan sosial: rusaknya kepercayaan antar-komunitas, memudarnya rasa aman, dan terkikisnya rasa saling memiliki. Pengalaman Indonesia pasca-konflik di Maluku menunjukkan bahwa rekonsiliasi sosial membutuhkan proses panjang: dialog lintas komunitas, reintegrasi mantan kombatan, dan kehadiran pemerintah yang aktif dan adil. Suriah, dengan lebih banyak aktor internal dan eksternal, tentu menghadapi tantangan yang jauh lebih besar. Maka, seruan al-Sharaa tidak cukup tanpa tindakan nyata—seperti inisiatif untuk melucuti senjata faksi-faksi bersenjata atau mengintegrasikan kelompok seperti Syrian Democratic Forces (SDF) ke dalam struktur negara yang sah.

Pencabutan sanksi Amerika Serikat memang membawa angin segar bagi perekonomian Suriah yang telah lama tercekik. Selama bertahun-tahun, sanksi membuat distribusi bantuan kemanusiaan terhambat dan mencegah masuknya investasi asing. Menurut data Bank Dunia, ekonomi Suriah telah menyusut lebih dari 60% sejak perang dimulai. Inflasi melonjak, mata uang merosot, dan kehidupan sehari-hari menjadi perjuangan berat bagi rakyat biasa. Namun, pencabutan sanksi hanyalah awal. Pertanyaan besar tetap menggantung: siapa yang akan mengelola dana rekonstruksi? Apakah struktur pemerintahan saat ini cukup transparan dan akuntabel? Negara-negara pasca-konflik rentan terhadap korupsi, dan Suriah tidak terkecuali. Tanpa pengawasan yang ketat dan kepemimpinan yang bersih, dana-dana rekonstruksi hanya akan memperkaya segelintir elit dan memperdalam ketidakpercayaan publik.

Kekerasan yang terus berulang di Suluk, Manbij, dan Raqqa adalah pengingat bahwa babak baru belum benar-benar dimulai. Serangan demi serangan terhadap pasukan keamanan, bentrokan antara faksi-faksi militer, serta ancaman dari kelompok bersenjata tak dikenal menandakan betapa rapuhnya situasi. Ini bukan hanya soal insiden terisolasi; ini adalah gejala dari sistem keamanan yang belum terbangun secara utuh. Indonesia pernah menghadapi tantangan serupa pasca-konflik di Aceh. Negosiasi panjang dan konsistensi dalam membangun kepercayaan menjadi kunci dalam melucuti senjata milisi dan membangun perdamaian. Namun, Suriah menghadapi dinamika yang lebih kompleks dengan keterlibatan aktor asing seperti Turki, Rusia, dan Iran, yang masing-masing membawa kepentingan berbeda.

Ada sesuatu yang menyayat dalam kontras antara retorika al-Sharaa dan kenyataan yang berlangsung. Ia berbicara tentang “menunjukkan Suriah baru kepada dunia,” namun dunia justru menyaksikan lanjutan kekerasan dan penderitaan. Warga Aleppo yang mendengar pidato itu mungkin terdiam dalam keraguan. Mereka yang kehilangan keluarga, rumah, dan harapan tentu ingin percaya pada perubahan, tapi bagaimana bisa percaya jika suara ledakan masih membelah malam? Rekonstruksi sejati tak bisa hanya mengandalkan proyek infrastruktur; ia harus menyentuh rasa aman, membangun kembali jembatan kepercayaan, dan menjamin bahwa hari esok lebih menjanjikan.

Pada akhirnya, kita tiba pada pertanyaan yang lebih dalam: mungkinkah Suriah benar-benar bangkit tanpa terlebih dahulu menyembuhkan lukanya? Kita di Indonesia tahu, melalui pengalaman panjang pasca-konflik, bahwa perdamaian tidak mungkin berdiri kokoh tanpa keadilan dan rekonsiliasi. Di Poso, inisiatif dialog antaragama dan penguatan peran masyarakat sipil menjadi bagian penting dalam membangun kembali tatanan sosial. Suriah membutuhkan pendekatan serupa, namun dengan keberanian politik yang lebih besar dan kapasitas negara yang lebih kuat. Al-Sharaa harus menghadapi kenyataan bahwa seruan simbolik tak akan mengubah keadaan jika kekerasan terus membara, jika komunitas merasa terabaikan, dan jika negara asing masih mengintervensi.

Di akhir pidatonya, al-Sharaa berkata, “Kita tidak akan berhenti sampai Suriah dibangun kembali.” Kalimat itu indah, dan kita berharap ia bukan sekadar ungkapan retoris. Sebab Suriah memerlukan lebih dari seremoni: ia butuh pemerintah yang mampu mengendalikan kekerasan, memulihkan kepercayaan rakyat, dan mengelola rekonstruksi dengan transparansi. Pencabutan sanksi Amerika adalah sebuah peluang, tapi tanpa langkah-langkah nyata untuk menegakkan stabilitas dan keadilan, impian tentang Suriah baru akan tetap tinggal sebagai impian. Dari jauh, kita hanya bisa berharap bahwa di balik reruntuhan Aleppo, benar-benar ada cahaya yang akan menuntun Suriah keluar dari kegelapan panjangnya.

 

 

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *