Connect with us

Opini

Konflik Baru di Suriah, Tishreen Jadi Medan Tempur

Published

on

Malam kembali direnggut oleh suara tembakan di Aleppo, di dekat Bendungan Tishreen yang menjulang di tepi Sungai Efrat. Menurut televisi nasional Suriah, mengutip sumber militer, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) melancarkan serangan langsung ke posisi tentara pemerintah, memicu bentrokan sengit. Tentara berhasil merebut kembali dua pos yang sempat dikuasai SDF, namun luka baru telah tercipta di tubuh Suriah yang sudah lama compang-camping. Mengapa damai terasa begitu sulit digapai? Di negeri yang bertahun-tahun menangis darah, setiap peluru terdengar seperti pengingat bahwa perdamaian masih merupakan janji yang rapuh.

Bendungan Tishreen bukan sekadar infrastruktur vital; ia adalah nadi kehidupan bagi Aleppo—menyuplai air dan listrik bagi jutaan jiwa. Namun laporan Al Mayadeen (20 Mei 2025) menyiratkan bahwa bendungan ini kini juga menjadi ajang bentrokan kepentingan, tempat ambisi bersinggungan dengan ketidakpercayaan. Perjanjian 10 Maret antara SDF dan pemerintah transisi Suriah menjanjikan integrasi otonomi Kurdi ke dalam struktur negara, disertai gencatan senjata nasional serta pengelolaan bersama aset strategis. Tetapi insiden ini, sebagaimana juga dilaporkan oleh Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), mencerminkan betapa rapuhnya perjanjian itu. SOHR mencatat bahwa ketegangan lokal, termasuk sengketa atas distribusi pendapatan bendungan, menjadi pemantik kekerasan. Apakah ini sekadar miskomunikasi, ataukah pertanda bahwa SDF dan pemerintah transisi masih berjauhan dalam visi?

Saya teringat seorang pedagang tua di pasar Aleppo yang pernah berkata lirih, “Kami tidak butuh lebih banyak senjata, kami butuh roti dan keamanan.” Perjanjian Maret seharusnya menjadi setitik harapan baginya. Namun, kabar tentang bala bantuan besar yang dikerahkan tentara Suriah ke sekitar Tishreen setelah pertempuran mengirim pesan sebaliknya. SDF, yang mendapat dukungan logistik dan militer dari Amerika Serikat, memilih diam. Hingga kini belum ada pernyataan resmi, seperti dicatat Reuters (20 Mei 2025). Keheningan ini menimbulkan tanda tanya besar. Dukungan AS kepada SDF, termasuk suplai senjata dan pelatihan senilai miliaran dolar (laporan Pentagon 2024), sering kali memicu tuduhan bahwa SDF lebih condong ke arah kepentingan Washington ketimbang integrasi nasional. Mengapa SDF yang mengklaim memperjuangkan otonomi justru terlibat dalam eskalasi konflik saat Suriah tengah mencari titik temu?

Di sisi lain Aleppo, kekerasan kembali mencuat. Al Mayadeen melaporkan bentrokan antara Pasukan Keamanan Umum Suriah dan kelompok yang diduga afiliasi ISIS di Haydariya dan Jisr al-Jazmati. Tiga personel keamanan ditawan, satu tewas, dan seorang militan meledakkan diri dalam baku tembak. Operasi balasan berhasil menetralkan satu militan dan menyita senjata, namun harga yang dibayar—darah dan trauma—kembali mengingatkan bahwa meskipun melemah, ISIS tetap mengintai di celah kekacauan. Laporan Human Rights Watch (HRW, April 2025) mencatat bahwa sel-sel ISIS terus mengeksploitasi instabilitas politik dan ekonomi, terutama di kawasan yang dilanda kemiskinan. Aleppo, yang pernah dikenal sebagai kota perdagangan dan kebudayaan, kini tampak seperti mozaik yang retak—terhantam dari berbagai sisi dan kepentingan.

Sementara di ranah politik, badai tak kalah keras bertiup. Dewan Islam Alawit Tertinggi menyatakan penolakan terhadap Komisi Nasional untuk Keadilan Transisi yang dibentuk oleh Presiden Ahmad al-Sharaa. Mereka menyebut komisi itu “tidak sah” dan “batal demi hukum” karena dibentuk tanpa wewenang legislatif yang memadai (Al Mayadeen, 20 Mei 2025). Bukan hanya itu, mereka mengkritik pendekatan komisi yang terkesan hanya menyoroti pelanggaran masa lalu oleh rezim, sambil mengabaikan kekerasan yang dialami komunitas Alawit dan Druze setelah jatuhnya kekuasaan sebelumnya. Ini bukan sekadar soal prosedur administratif—ini adalah jeritan dari komunitas yang merasa dilupakan.

Amnesty International dalam laporan Maret 2025 mendokumentasikan serangan terhadap desa-desa Alawit di Tartous yang menewaskan puluhan warga sipil. Lalu, mengapa keadilan hanya diarahkan kepada satu sisi luka, sementara luka lainnya dibiarkan berdarah tanpa pengakuan?

Dewan Alawit menuntut pendekatan keadilan yang lebih luas: rujukan ke Mahkamah Pidana Internasional atau pembentukan komisi internasional yang melibatkan hakim dari semua pihak, disertai referendum nasional. Tuntutan ini mencerminkan satu hal: bahwa keadilan tidak bisa selektif. Penunjukan Abdul Baset Abdul Latif, tokoh oposisi, sebagai ketua komisi, justru memicu kecurigaan akan politisasi proses rekonsiliasi. Laporan SOHR menunjukkan bahwa banyak warga Alawit memandang komisi ini sebagai alat pembalasan politik, bukan sarana penyembuhan luka. Saya membayangkan seorang ibu di Latakia, yang kehilangan putranya dalam kekerasan pasca-rezim. Bisakah ia percaya pada komisi yang dianggap memihak?

Janji rekonsiliasi yang disampaikan al-Sharaa di forum-forum internasional, seperti di Riyadh pada 15 Mei 2025 (Al Jazeera), terdengar indah. Ia berkomitmen menegakkan hukum internasional dan menyatukan Suriah. Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Bentrokan di Tishreen, serangan ISIS, dan penolakan terhadap komisi keadilan menjadi cerminan bahwa janji-janji diplomatik itu belum benar-benar menapak tanah Suriah.

Di balik semua ini, dinamika geopolitik memperkeruh air yang sudah keruh. Dukungan Amerika Serikat terhadap SDF tidak hanya ditujukan untuk memerangi ISIS, tetapi juga sebagai upaya menyaingi pengaruh Rusia dan Iran yang masih mendukung faksi-faksi pro-rezim (laporan Council on Foreign Relations, 2024). Turki, dengan kepentingannya sendiri terhadap kelompok Kurdi, menambah rumit lanskap konflik di Aleppo utara, sebagaimana diurai oleh Middle East Institute dalam analisis Mei 2025. Suriah telah menjadi papan catur kekuatan besar dunia, dan rakyatnya yang menjadi bidak.

Saya kembali teringat seorang anak pengungsi di Idlib yang menggambar rumah impiannya dengan krayon warna-warni. Ia tak bermimpi tentang politik atau kekuasaan; ia hanya ingin pulang. Namun rumahnya kini telah berubah menjadi medan tempur, baik secara fisik maupun politik. Konsolidasi militer yang diumumkan oleh Menteri Pertahanan Murhaf Abu Qasra adalah langkah yang dipandang strategis, tetapi loyalitas faksi bersenjata dan struktur lokal yang terfragmentasi tetap menjadi hambatan. Laporan International Crisis Group (ICG, April 2025) memperingatkan bahwa tanpa mekanisme penyelesaian konflik yang jelas dan disepakati, integrasi SDF dan faksi lainnya akan menemui jalan buntu. Bentrokan di Tishreen menjadi bukti nyata bahwa tanpa kepercayaan, setiap perjanjian hanyalah selembar kertas yang mudah sobek.

Keadilan dan perdamaian adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan—namun keduanya sangat rapuh di Suriah. Dewan Alawit menekankan bahwa keadilan sejati harus bersifat inklusif, mencakup reparasi, rekonsiliasi, dan reformasi struktural, bukan sekadar penghukuman sepihak. HRW menyarankan agar Suriah mempertimbangkan model keadilan transisi seperti Afrika Selatan, yang memadukan pengakuan kebenaran dan amnesti terbatas. Tapi, apakah model itu dapat diadaptasi di Suriah, yang lukanya masih menganga dan di mana suara senjata masih lebih nyaring daripada suara dialog?

Saya membayangkan kembali pasar Aleppo yang dulu dipenuhi aroma rempah dan tawa pembeli. Kini ia sunyi. Para pedagang, petani, dan ibu-ibu—mereka bukan sekadar korban; mereka adalah kunci masa depan negeri ini. Tanpa mendengarkan mereka, segala upaya diplomasi hanya akan menjadi pertunjukan elitis yang tak mengubah kenyataan.

Suriah hari ini adalah paradoks: penuh janji, tapi terus dibayangi kekerasan. Al-Sharaa mungkin berhasil meraih dukungan internasional, namun di dalam negeri, ia harus menghadapi kenyataan yang jauh lebih kompleks. Bentrokan di Tishreen, teror ISIS, dan penolakan terhadap Komisi Keadilan Transisi menjadi pengingat bahwa membangun perdamaian memerlukan lebih dari sekadar retorika. Ia memerlukan kepercayaan, keadilan yang adil, dan keberanian untuk mengakui semua suara—terutama suara-suara yang selama ini ditekan atau dilupakan.

Seperti Bendungan Tishreen, Suriah berada di persimpangan: bisa menjadi sumber kehidupan atau justru kembali tenggelam dalam pusaran konflik. Pilihan ada di tangan mereka yang memimpin. Dan bagi kita yang menyaksikan dari kejauhan, hanya satu harapan yang tersisa: semoga angin yang datang kali ini membawa damai, bukan debu pertempuran.

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *