Connect with us

Opini

Kini Perang Tak Lagi Ditutupi, Dunia Harus Menentukan Sikap

Published

on

“Peristiwa pagi ini sangat keterlaluan dan akan memiliki konsekuensi yang kekal.”

Pernyataan ini datang dari Menlu Iran, Abbas Araghchi, tak lama setelah tiga fasilitas nuklir Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan—dibombardir oleh Amerika Serikat. Serangan dilakukan secara langsung oleh pesawat B2 stealth bomber, menembus wilayah udara Iran dan menjatuhkan bom penghancur bunker ke situs-situs yang selama ini berada di bawah pengawasan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Dunia menyaksikan, tapi belum bersuara.

Pagi itu, Iran tidak langsung membalas. Tapi sebuah kalimat lain segera menyusul dari pernyataan resmi Garda Revolusi Islam (IRGC): “Sekarang perang telah dimulai bagi kami.” Seruan ini bukan sekadar reaksi emosi. Ia lahir dari sebuah rasa yang membusuk sejak lama: penghinaan atas kedaulatan, pelanggaran atas kesepakatan, dan kesewenang-wenangan yang terus-menerus dibungkus sebagai diplomasi.

Di Teheran, mereka tahu bahwa dampak dari membalas bisa mengarah pada bencana yang lebih besar. Namun, mereka juga sadar bahwa diam berarti tunduk. Maka, rudal balistik pun menghantam Haifa dan Tel Aviv. Laporan media menyebut 27 rudal diluncurkan, salah satunya menghancurkan The Institute for Biological Research—salah satu fasilitas paling sensitif milik Kementerian Pertahanan Israel. Serangan ini tak lagi simbolik. Ia strategis.

Di balik klaim keberhasilan dari Donald Trump yang menyebut serangan itu sebagai“spektakuler”* dan menyatakan bahwa semua fasilitas nuklir Iran “sudah dihancurkan total,” muncul bantahan dari Iran. Salah satu anggota parlemen, Manan Raeisi, menyebut bahwa “Trump sedang membual.” Ia mengatakan bahwa yang terkena hanyalah sebagian kecil dari fasilitas Fordow, dan itu pun bisa dipulihkan. Yang lebih penting lagi, seluruh uranium yang diperkaya telah dipindahkan lebih dulu.

Apa yang terjadi hari itu adalah titik balik. Bukan hanya bagi Iran atau AS, tapi bagi tatanan internasional yang telah lama dijaga melalui diplomasi, perjanjian, dan institusi multilateral. Fasilitas nuklir Iran diserang, padahal selama ini mereka berada di bawah verifikasi IAEA berdasarkan kesepakatan Non-Proliferation Treaty (NPT). Apakah serangan itu dibenarkan secara hukum internasional? Tidak. Tapi apakah PBB atau Dewan Keamanan bergerak? Belum.

Kita hidup di dunia yang dikontrol oleh kekuatan veto. Ketika negara yang melakukan pelanggaran adalah pemilik hak veto, maka mekanisme keadilan internasional lumpuh. Iran menyebut serangan itu sebagai “tindakan biadab dan ilegal.” Tapi dunia, termasuk negara-negara yang selama ini menyuarakan multilateralisme seperti Eropa Barat, masih diam atau memberi pernyataan kabur semacam “semua pihak harus menahan diri.”

Di Indonesia, kita menyaksikan ini dari jauh. Tapi jaraknya hanya fisik. Secara moral dan geopolitik, kita berada di tengah pusaran. Kita adalah negara yang meratifikasi NPT, mendukung diplomasi nuklir damai, serta menolak segala bentuk kolonialisme dan agresi militer. Maka pertanyaannya: sampai kapan kita bisa bersikap netral ketika institusi yang menjadi fondasi perdamaian global dirusak begitu saja oleh negara-negara besar?

Iran sebelumnya telah memperingatkan bahwa jika AS menyerang wilayahnya, maka semua pangkalan AS di kawasan akan menjadi target. Ada ratusan ribu pasukan dan belasan pangkalan AS di Timur Tengah—di Bahrain, Kuwait, Irak, Qatar, dan UEA. Balasan Iran bisa datang kapan saja, tapi satu hal pasti: ia tidak akan datang secara sembrono. Iran memiliki tradisi perlawanan yang terukur, melalui strategi bertahap dan perhitungan jangka panjang.

Amwaj Media melaporkan bahwa Iran bahkan telah menerima pemberitahuan dari AS sebelum serangan. Ini bisa dibaca dua arah. Pertama, sebagai upaya AS untuk menunjukkan bahwa mereka “tidak menginginkan perang besar.” Kedua, sebagai pengakuan bahwa mereka tahu serangan ini bisa memicu perang besar, dan mereka mencoba mengendalikan narasi dengan komunikasi tertutup. Tapi apakah tindakan ini membenarkan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional? Tidak.

Balasan Iran yang menyasar Israel, bukan pangkalan AS, menunjukkan bahwa mereka tidak ingin terburu-buru memperluas konflik. Tapi jika AS menyerang lagi, atau jika Israel melakukan provokasi lanjutan, maka skenario penyerangan langsung ke pangkalan AS hampir tak terhindarkan. Dan ketika itu terjadi, perang ini akan berubah bentuk—dari konflik lokal menjadi krisis internasional yang menular ke seluruh kawasan.

Sementara itu, masyarakat sipil menjadi korban diam-diam dari semua ini. Ketika rudal menghantam Haifa dan Tel Aviv, warga sipil terluka. Ketika bom dijatuhkan di Isfahan, masyarakat sipil hidup dalam ketakutan. Dan jika perang meluas ke pangkalan militer AS di Qatar atau Irak, jutaan penduduk sipil di kawasan akan terdampak—termasuk para pekerja migran dari negara-negara Asia, termasuk Indonesia.

Kita patut bertanya: apakah dunia akan terus membiarkan kekuatan besar bertindak sekehendak hati? Apakah kita masih percaya pada sistem internasional yang dibangun pasca Perang Dunia II, jika institusi seperti PBB gagal bertindak tegas dalam krisis sebesar ini? Ataukah dunia sedang memasuki fase baru, di mana hukum internasional hanya berlaku untuk negara lemah?

Pernyataan Iran bahwa “perang telah dimulai bagi kami” bukan retorika kosong. Ini adalah pengingat bahwa jika pelanggaran seperti ini tidak dicegah, maka kekerasan akan menjadi norma baru dalam menyelesaikan konflik internasional. Dan ketika itu terjadi, tidak ada negara yang benar-benar aman—tidak juga kita yang berada ribuan kilometer jauhnya dari Timur Tengah.

Dalam ketegangan seperti ini, keheningan bukanlah netralitas. Ia bisa menjadi bentuk pembiaran. Dunia harus bersuara, dan Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kedaulatan harus mengambil sikap moral yang jelas. Kita tidak bisa selamanya diam ketika dunia mulai terbakar.

Sumber:

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *